INJIL SUDAH DIPALSUKAN
Dalam
sebuah tulisan di www.kesalahanquran.wordpress.com
ada seorang bernama Otori Mitsuke (mungkin bukan nama asli) menulis sebuah
komentar. Demi Bahasa Indonesia yang baik dan benar, saya mengedit tulisan
tersebut tanpa menghilangkan pesannya sedikitpun. Pesan komentator itu adalah
sebagai berikut:
“Al-Qur’an terjaga
keasliannya, sebagaimana janji Allah. Kalau tidak percaya, coba kalian:
1. Palsukan Al-qur’an dan kalian
terbitkan Al-Qur’an itu ke seluruh Indonesia dan semua toko buku.
Dan kalian bakal mendapatkan efek
yang teramat sangat jauh berbeda dari kedua hal yang kalian lakukan, yaitu:
1. Kalau kalian palsukan Al-Qur’an,
kalian pasti akan diprotes besar-besaran, didemo, diburu polisi dan masuk
tv…..masuk penjara
2. Kalau kalian palsukan Injil,
kalian pasti tidak kenapa-napa, tak ada protes besar-besaran, karena
Injil sekarang memang sudah dipalsui…. Injil sekarang berbeda dengan jamannya
nabi Isa a.s…. masih original.
Dan di Injil, nabi Isa pernah bilang
kalau Dia cuma utusan Allah, dia bukan Tuhan… tapi kok kalian yang pakai Injil
(sekarang) malah menyembah Dia …. Dan Injil itu sudah banyak direvisi” (lih: http://kesalahanquran.wordpress.com/2011/11/11/kumpulan-kesaksian-para-murtadin-islam/)
Sebuah Kebenaran
Kita harus jujur bahwa apa
yang dikatakan Otori Mitsuke tidak sepenuhnya salah. Ada kebenaran di dalam
pernyataannya. Kebenaran dari pernyataan Mitsuke adalah bahwa jika Quran
dipalsukan akan menimbulkan reaksi besar, bukan saja di Indonesia melainkan
seluruh dunia. Berbeda dengan Injil atau Kitab Suci orang kristen.
Jadi, adalah benar apa
yang dikatakan Mitsuke bahwa umat islam akan marah, protes dan melakukan
tindakan anarki lainnya bila ada orang yang memalsukan Quran. Ini adalah fakta.
Jadi kebenarannya berdasarkan fakta. Kita bisa katakan bahwa pendapat Misuke
ini mewakili pendapat umum umat islam, karena ada banyak ditemui orang islam
yang berpikiran demikian.
Akan tetapi, apakah
kemarahan, protes dan tindakan anarki merupakan tolok ukur keaslian Quran?
Harus disadari juga bahwa reaksi marah, kekerasan bahkan sikap anarkis umat
islam ini bukan hanya muncul bila terjadi sesuatu pada Quran yang tidak benar,
melainkan juga pada atribut agama. Misalnya, jika ada “pelecehan” atau
informasi yang tidak disukai berkaitan dengan Nabi Muhammad, maka umat islam
seluruh dunia akan demo, protes, marah bahkan bertindak brutal. Tentu kita
masih ingat akan kasus pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia”
oleh Toko Buku Gramedia pada 14 Juni 2012. Gramedia takut menghadapi ancaman
umat islam (baca ulasannya dalam http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/15/mengapa-gramedia-memusnahkan-buku-%E2%80%9C5-kota-paling-berpengaruh-di-dunia%E2%80%9D-464760.html).
Atau ketika ada video dengan nabi Muhammad, umat islam sedunia marah.
Jadi, sifat suka marah
yang dapat berujung pada tindakan anarkis sepertinya menjadi karakter umat
islam, bukan merupakan tolok ukur keaslian sebuah naskah. Mungkin sifat ini
mendapat pendasarannya dalam Quran sendiri. Demi membela (atribut) agama,
apapun boleh dilakukan. Karena itu wajar bila bulan September lalu Pemerintahan
Rusia memerintahkan untuk memusnahkan Al-Quran, karena dinilai menciptakan
ekstremisme.
Amat sangat menyedihkan
jika keaslian sebuah naskah ditentukan oleh selera. Dan yang terjadi selama ini
adalah demikian. Semua tulisan atau karya apapun yang bersinggungan dengan
keislaman, harus sesuai dengan selera umat islam. Jika tidak maka akan muncul
kemarahan.
Dalam buku “5 Kota Paling
Berpengaruh di Dunia” di sana hanya ditulis bahwa untuk menghidupi kelompoknya
Muhammad merampok. Umat islam tidak suka dengan kata merampok. Hal itu seakan
mengurangi citra luhur sang nabi. Padahal, fakta sejarah memang demikian.
Injil Dipalsukan?
Dengan pola pikir di atas,
maka wajar bila orang islam berkesimpulan bahwa Injil sudah dipalsukan. Karena
sama sekali tidak ada kemarahan apalagi tindakan anarki dari orang kristen bila
terjadi sesuatu pada Injil. Jangankan pada Injil, pada atribut keagamaan
lainnya, jarang sekali terdengar. Kalaupun terjadi, itu pasti di tingkat lokal
saja. Misalnya, ketika terjadi pelecehan Yesus oleh Neymar, hanya umat Brasil
yang protes. Itupun tidak seluruhnya. Protes itu disuarakan oleh Konferensi
Waligereja Brasil. Tidak ada kerusuhan, tidak ada demo atau penutupan majalah
yang memuat gambar pelecehan tersebut.
Lalu, apakah itu berarti
Injil dipalsukan? Apakah Injil sekarang berbeda dengan Injil waktu jaman Yesus?
Harus diingat bahwa pada
waktu Yesus hidup belum ada Injil seperti yang ada sekarang ini. Pada waktu itu
hidup, perkataan dan perbuatan Yesus itulah Injilnya. Setelah Yesus naik ke
surga, kisah hidup Yesus ini berkembang dari mulut ke mulut dalam tradisi
lisan. Dan setelah puluhan tahun ada usaha beberapa orang untuk menuliskan
kembali kisah hidup Yesus (perbuatan dan perkataan-Nya).
Jadi, tidak benar bila
dikatakan bahwa Injil sudah dipalsukan hanya dilihat dari tidak adanya reaksi
protes pada umat kristen. Kenapa umat kristen diam saja? Mungkin orang kristen
sudah bisa membedakan mana yang asli dan tidak. Atau mungkin karena tidak ada
pendasaran dalam Injil untuk marah atau melakukan tindak kekerasan demi membela
kebenaran. Bukankah Injil memerintahkan umat kristen untuk berlaku kasih,
bahkan kepada mereka yang menghina, mencela, memfitnah atau memusuhi.
Tolok Ukur Keaslian
Pertanyaan kita sekarang,
apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keaslian tulisan (Quran dan Injil)?
Untuk menguji keaslian
sesuatu, kita membutuhkan pembanding yang juga sama dengan sesuatu itu.
Pembanding inilah yang menjadi tolok ukurnya, bukan soal selera. Misalnya,
untuk menguji keaslian emas, kita harus punya pembandingnya. Emas yang kita uji
itu kita bandingkan dengan emas murni sebagai pembandingnya; jika sama maka
emas yang diuji itu asli. Jadi bukan karena saya suka, maka emas itu asli.
Atau sebuah keaslian
berita dapat diketahui bila kita punya pembanding. Misalnya, tentang peristiwa
Perang Padri (1803 – 1838). Kita tidak bisa mengandalkan informasi Perang Padri
ini dari buku yang ditulis tahun 1900-an, tanpa sumber-sumber pendukung yang
mendekati tahun kejadian. Kita tidak bisa mengandalkan selera untuk menyatakan
bahwa informasi dalam buku itulah yang benar. Kita harus membutuhkan pembanding
untuk mengetahui fakta yang terjadi pada Perang Padri. Pembanding itu dapat
kita temukan pada buku atau manuskrip-manuskrip yang ditulis sekitar tahun
kejadian. Buku atau manuskrip yang ditulis sekitar tahun kejadian inilah yang
harus diakui kebenaran peristiwanya.
Contoh lain tentang
eksorsis. Ada film yang mengisahkan tentang eksorsis dengan judul “The Rite”.
Dikatakan bahwa film ini didasarkan dari kisah nyata yang ditulis dalam buku
dengan judul “Ritual
Pengusiran Setan: Pencarian keyakinan seorang eksorsis di zaman modern”
karya Matt Baglio. Jika kita hanya berdasarkan selera, maka kita akan
mengatakan bahwa informasi dalam film itulah yang benar, meski ada perbedaan
jauh antara film dan buku. Buku mendekati kebenaran karena ia langsung dari
sumber utama, sedangkan film yang dibuat jauh setelah buku diterbitkan, sangat
jauh dari sumber utama.
Demikianlah dengan Injil.
Sebenarnya ada banyak kitab yang disebut ‘injil’. Umumnya diketahui ada sekitar
20 injil. Dari ke-20 kitab injil itu, Gereja hanya mengakui 4, yaitu Matius,
Markus, Lukas dan Yohanes. Alasannya, pertama penulisnya tidak jauh dari
sumbernya. Misalnya, Injil Matius dan Yohanes diyakini ditulis oleh Rasul
Matius dan Yohanes; sedangkan Injil Markus dan Lukas ditulis oleh murid rasul
Yesus (Markus, murid rasul Petrus; dan Lukas, murid rasul Paulus). Jika
membandingkan keempat tulisan Injil itu terdapat kesamaan pesan.
Hal ini berbeda dengan
injil-injil lainnya. Sekalipun memakai nama rasul (misalnya, injil Petrus,
injil Thomas, injil Filipus, injil Yudas dan injil Keduabelas rasul), sangat
diragukan keasliannya. Ini dapat dilihat dari tahun penulisan serta bahasa dan
gaya penulisan. Selain itu, keberadaan keempat Injil itu sudah diakui oleh
Bapa-bapa Gereja yang hidup di abad-abad awal, seperti Papias, St. Hieronimus,
St. Irenaeus, Origenes dan Eusabeus. Mereka hidup antara tahun 150 – 250.
Kesaksian mereka memberi peneguhan atas keaslian keempat Injil, yang berbeda dengan
injil lainnya. Ini bisa terjadi karena Gereja tidak memusnahkan karya-karya
lainnya yang bertentangan dengan keempat Injil. Dengan ini orang bisa menguji
keasliannya dengan cara membandingkan dan dengan cara lainnya.
Berbeda dengan Al-Quran.
Kita sama sekali tidak punya naskah pembanding, karena naskah-naskah yang
dinilai tidak menyenangkan dimusnahkan. Karena itu, yang ada dalam Quran
hanyalah yang baik-baik saja menurut ukuran umat islam. Karena semuanya
menjawab selera. Dan orang pun “dipaksa” untuk menulis yang baik-baik saja
(sesuai selera umat) tentang keislaman. Tulisan yang tidak sesuai dengan selera
umat, tentulah akan segera dimusnahkan (contoh buki lima kota atau ayat-ayat
setan). Orang tidak diperkenankan untuk beda pendapat, sekalipun untuk berbeda
itu ada dasarnya. Misalnya penulis buku lima kota punya data yang bukan
sembarangan.
Hal ini berdampak pada
penerbit dan toko buku. Penerbit dan toko buku tidak berani menerbitkan atau
memajang buku bernuansa islam yang tidak sesuai selera umat islam. Resikonya
sangat besar.
Jadi, keaslian sebuah
naskah tidak ditentukan oleh selera atau ada tidaknya aksi demo yang bisa
berujung pada tindak anarkis. Keaslian sebuah naskah ditentukan oleh naskah
lain sebagai pembanding. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya
adalah tahun penulisan. Seorang sejarahwan, ketika hendak menulis sebuah naskah
sejarah, ia akan mencari sumber buku yang tahun penulisannya mendekati
peristiwa sejarah yang akan ditulisnya.Inilah yang berlaku dalam tradisi
kristen.
Berbeda dengan tradisi
islam yang menilai kebenaran dan keotentikan sebuah naskah dari selera. Wujud
tampilannya adalah demo, protes dan amuk. Semakin besar demo dan protesnya; dan
semakin hebat amukannya, semakin otentik dan benarlah sebuah naskah.
Komentar
Posting Komentar