CARA UMAT KRISTIANI SIKAPI FATWA HARAM UCAP SELAMAT NATAL
Setiap
pemeluk agama di muka bumi ini tentulah mempunyai hari-hari istimewa keagamaan.
Umat muslim memiliki Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Umat Hindu ada Hari
Raya Nyepi dan Galungan. Hari Raya Waisak merupakan hari istimewa bagi umat
Buddha. Orang Kristen punya Hari Raya Natal dan Paskah. Konghucu atau etnis
Tionghoa merayakan imlek.
Adalah kebiasaan umum bila menjelang atau pada saat
hari raya yang bersangkutan sering terdengar ucapan selamat hari raya antar
manusia. Bagi masyarakat plural, adalah wajar dan biasa jika ucapan selamat itu
diucapan. Ketika orang islam merayakan Hari Raya Idul Fitri, ucapan selamat
hari raya itu tidak hanya diucapkan oleh umat muslim saja, melainkan juga oleh
umat agama lain. Demikian pula bila orang Buddha merayakan Waisak, maka akan
ada ucapan selamat dari rekan, kenalan atau keluarga yang non Buddha.
Pengalaman pribadi sudah membuktikan hal itu.
Sekalipun kami bukan muslim, namun ketika Idul Fitri atau Idul Adha, kami sudah
terbiasa berkunjung dan mengucapkan selamat kepada salah satu anggota keluarga,
rekan, kenalan dan sahabat. Adalah suatu kebahagiaan saat mengucapkan hal itu,
apalagi bila ucapan itu dilakukan secara langsung dengan salaman dan seuntai
senyum. Sungguh dunia terasa damai. Demikian saat Hari Raya Waisak (kepada
kenalan) atau Imlek.
Karena itu, kami sedikit kaget membaca berita bahwa
ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Banda Aceh,
Abdul Karim Syeikh, mengeluarkan fatwa haram bagi ucapan selamat Natal.
Artinya, umat muslim Aceh dilarang mengucapkan selamat Hari Raya Natal kepada
umat kristiani. Dikatakan bahwa larangan tersebut merupakan aqidah. Bahkan
baru-baru ini (17/12), Jamaah Ansharus Syariah di Mojokerto
sempat menyebarkan dan membawa spanduk berisi larangan mengucapkan selamat
natal bagi umat muslim.
Sebenarnya, soal fatwa haram mengucapkan Selamat Hari
Raya Natal bukanlah merupakan hal yang baru. Pada level nasional pun sebenarnya
fatwa ini sudah ada. Pada Maret 1981, Majelis Ulama Indoesia, yang saat itu
dipimpin oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang
biasa dikenal Buya Hamka, mengeluarkan fatwa haram ucapan selamat Natal. Konon,
sekalipun mendapat tekanan dari penguasa saat itu, Presiden Soeharto, yang
memintanya untuk mencabut fatwa itu, Buya Hamka bersikukuh. Ia tidak mau
mencabut fatwanya. Beliau malah lebih memilih mundur dari MUI ketimbang menarik
kembali fatwa haram tersebut. Di sini terlihat bahwa Buya Hamka lebih taat pada
ajaran agama ketimbang kekuasaan politik sekular.
Sampai saat ini fatwa haram tersebut belum pernah
dicabut oleh MUI. Ini menunjukkan bahwa fatwa itu masih berlaku. Jadi, fatwa
haram yang dikeluarkan oleh ulama Aceh atau pernyataan dari Jamaah Ansharus
Syariah hanya sekedar menegaskan atau mengingatkan kembali umat muslim akan
fatwa lama. Artinya, umat islam di Indonesia dilarang mengucapkan Selamat Hari
Raya Natal kepada umat kristiani yang merayakannya.
Seperti yang telah dikatakan di atas, reaksi awal kami
adalah kaget. Namun kami berusaha memahami. Salah satu pemahaman sederhana adalah,
fatwa haram tersebut lahir dari seorang dengan “jabatan” sebagai ulama. Bagi kami,
ulama adalah sosok orang yang ahli dalam bidang agama. Mereka bukanlah orang
sembarangan. Segala keputusan mereka selalu berdasarkan pertimbangan ajaran
agama. Oleh karena itu, fatwa haram ini lahir dengan pertimbangan ajaran agama.
Dengan kata lain, agama mengajarkan umatnya untuk tidak mengucapkan Selamat
Hari Raya Natal kepada umat kristiani.
Dari sinilah akhirnya muncul sikap menghargai. Kami
menghargai keputusan tersebut. Kami menghormati fatwa haram itu, karena ia
lahir dari ajaran agama. Agama Islam melarang umat islam memberi ucapan Selamat
Natal kepada umat kristen. Karena itu, kami dapat memaklumi bila pada Hari Raya
Natal nanti, kami tidak menerima ucapan salam dari saudara, kenalan, rekan dan
sahabat.
Kami mengajak umat kristiani untuk bisa juga
memakluminya. Umat kristen hendaknya memahami situasi yang dihadapi oleh rekan,
kenalan, keluarga atau sahabatnya yang muslim, karena mereka terikat oleh fatwa
haram tersebut. Umat kristiani tidak boleh merasa bingung dan aneh, karena
fatwa itu bukan lahir dari orang yang tidak paham akan agamanya, melainkan
orang yang benar-benar mengerti. Bahkan bisa dikatakan bahwa fatwa itu
merupakan ajaran agamanya. Jika agama sudah mengajarkan demikian, maka sebagai
umat muslim terikat untuk menaatinya. Sementara umat non muslim hanya bisa
memahaminya saja. Dengan memahami, maka kita akan bisa menghargai. Yang
dihargai bukan hanya orangnya, tetapi juga agamanya.
Semoga fatwa haram ini tidak mengurangi rasa hormat
umat kristiani kepada umat muslim, sehingga benih toleransi tetap terjaga dan
terpelihara di bumi Indonesia yang bhineka ini. Yesus, yang pada natal ini
diperingati kelahiran-Nya, mengajarkan kita untuk memberkati, bukan mengutuk,
mereka yang membenci dan memusuhi kita.
Komentar
Posting Komentar