TERORISME: DARI #kamitidaktakut KE #kamisudahmuak
Dalam
waktu 1 minggu bangsa Indonesia diguncang teror oleh para pelaku terorisme,
yang terkait dengan Negara Islam Irak Suriah atau biasa disebut ISIS. Teror
pertama terjadi di rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, pada Rabu, 9 Mei, menewaskan
4 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris. Selang sehari terjadi lagi di
lokasi yang sama, yang menewaskan 1 orang anggota brimob dan 1 anggota teroris.
Sebuah ironisme bahwa kejadian, yang melenan lebih banyak anggota polisi ini,
justru terjadi di markas kepolisian yang memiliki kemampuan tempur.
Pada
hari Minggu, 13 Mei, terjadi aksi terorisme di tiga kejadian. Pada sekitar
pukul 02.00 dini hari, tim Densus 88 berhasil mencegat sekelompok teroris di
Cianjur. Anggota teroris ini berhasil dilumpuhkan. Pada pagi hari, di saat umat
kristiani hendak beribadah, aksi teroris terjadi di 3 lokasi berbeda di
Surabaya, yaitu Gereja St. Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia dan
Gereja Pentakosta Pusat Surabaya. Aksi teror bom bunuh diri ini, yang dilakukan
oleh 1 keluarga (ayah, ibu dan 4 anak), menewaskan lebih dari 10 orang,
termasuk para teroris, dan lebih dari 41 korban luka. Dan sekitar pukul 22.00
ada aksi teroris di daerah Sidoarjo, yang sekali lagi dilakukan oleh sebuah
keluarga, namun aksi ini terbilang gagal karena bom keburu meledak.
Jika
kita fokus pada aksi terorisme pada hari Minggu ini, terlihat pola gunung. Aksi
terorisme di Cianjur dan Sidoarjo merupakan kaki Gunung Teror Minggu, karena
kedua aksi ini merupakan aksi yang gagal. Sementara aksi terorisme di tiga
gereja merupakan puncak Gunung Teror Minggu. Karena itu, di beberapa akun media
sosial jaringan teroris juga di media sosial lainnya, aksi tersebut
dipuji-puji.
Menghadapi
aksi terorisme, mulai tanggal 9 Mei hingga 13 Mei, langsung muncul taggar #kamitidaktakut, yang bertebaran
di media sosial. Beberapa tokoh nasional, termasuk Bapak Presiden Jokowi, juga
mengeluarkan seruan “Kami tidak takut”. Sasaran seruan ini ada dua, yaitu
kepada kaum teroris dan juga kepada warga Indonesia. Kepada kaum teroris,
seruan ini mau mengatakan kepada mereka bahwa aksi teror yang mereka buat tidak
akan menimbulkan efek ketakutan. Ketakutan merupakan salah satu tujuan utama
aksi teror, karena orang yang takut akan mudah dikendalikan.
Sasaran
kedua seruan “Kami tidak takut” adalah warga Indonesia. Warga diajak untuk
tidak takut, bukan hanya kepada teror itu sendiri, tetapi juga kepada pelaku
teror. Seruan ini berguna untuk tetap menjaga dan mengendalikan situasi
sehingga tidak warga terpecah belah. Target lain dari terorisme adalah terpecah
belahnya kesatuan suatu bangsa. Karena itu, seruan tersebut membuat warga
Indonesia, dari segala eleman bangsa bersatu. Bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh.
Akan
tetapi, ada satu hal yang menarik ketika menyaksikan acara breaking news dari beberapa stasiun televisi tentang aksi Teror
Minggu Pagi. Salah seolah wartawan sebuah televisi, ketika menunggu sikap tegas
pemerintah, mengungkapkan bahwa warga tidak lagi hanya membutuhkan pernyataan
“Kami tidak takut” ketika menghadapi aksi teror ini. Kemudian wartawan itu
mengatakan adanya kemunculan taggar #kamisudahmuak.
Kenapa rasa muak ini muncul? Muak terhadap apa dan siapa?
Ada
dua kemungkinan penyebab munculnya rasa muak ini. Pertama, warga benar-benar sudah muak dengan segala bentuk
terorisme yang ada di negeri ini. Warga ingin hidup tenang. Karena itu, warga
tak puas hanya sekedar slogan kami tidak
takut, apalagi teror Minggu pagi hanya berselang tiga hari dari pernyataan
Presiden Jokowi bahwa negara tidak takut.
Teror Minggu pagi seakan-akan mempermainkan bangsa Indonesia. Karena sudah
muak, warga ingin “berperang” melawan terorisme.
Kedua, warga
benar-benar sudah muak dengan pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh agama, yang
seolah-olah mencari pembenaran. Pernyataan-pernyataan yang membuat muak warga
sudah lazim muncul setiap kali ada aksi teror, bukan hanya di Indonesia saja
melainkan juga di belahan dunia lainnya. Pernyataan-pernyataan itu nadanya
kurang lebih seperti “Terorisme itu bukan islam”, “Terorisme itu bertentangan
dengan islam”, “Islam tidak mengajarkan kekerasan”, “Islam agama damai dan
toleran”, dll. Masih banyak pernyataan senada yang dilontarkan tokoh-tokoh
agama. Intinya, dengan pernyataan tersebut seolah-olah islam mau cuci tangan atas
darah yang ditimbulkan dari aksi teror.
Mengapa
warga muak dengan pernyataan-pernyataan tersebut? Yang jelas,
pernyataan-pernyataan yang selalu muncul setiap ada aksi teror sebagai bentuk
pembelaan diri tersebut, membuat warga binggung. Jelas-jelas bahwa pelaku teror
itu beragama islam (terlihat dari nama dan juga atribut yang dipakainya,
misalnya seperti pelaku teror Minggu pagi), masih juga dikatakan “Terorisme itu
bukan islam”, dan “Terorisme itu bertentangan dengan islam”. Di sini terkesan
bahwa para tokoh yang membuat pernyataan tersebut seolah-olah membodohi dan
membohongi warga.
Belum
lagi jika dikaitkan dengan dasar dari gerakan terorisme ini, yang ada dalam
Al-Qur’an. Ada banyak warga yang tidak melek Al-Qur’an, sekalipun dia bukan
islam. Setidak-tidaknya, dia membaca dari beberapa literatur atau media. Sudah
jamak ditemui pernyataan para teroris bahwa mereka adalah islam sejati karena
melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Warga juga sudah tak asing lagi
dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yang biasa dijadikan pendasaran aksi
terorisme. Karena itulah, ketika mendengar pernyataan beberapa tokoh agama
bahwa “Terorisme itu bukan islam”, atau “Islam tidak mengajarkan kekerasan”,
warga bertanya apakah Al-Qur’an itu bukan sumber islam.
Tentulah
di sini terdapat dua perbedaan pendapat terkait teks Al-Qur’an. Tafsiran kaum
teroris berbeda dengan tafsiran sebagian besar tokoh agama islam. Masing-masing
saling menegasikan pendapat lawan dan menyatakan pendapatnya yang benar.
Bagaimana hal ini disikapi?
Tentu
kita masih ingat pernyataan Tuah Aulia
Fuadli, seorang mahasiswa tingkat lima Jurusan Ahwal Al Syakhshiyah
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara pada sekitar
September 2015 di akun facebook-nya,
yang membuat dirinya dikeluarkan dari kampus. Fuadli menulis begini:
“Penafsir
tunggal itu hanya rasul dan itu pun satu. Sekarang ia sudah mati jd penafsir
tunggal ga ada lg. ....”
Pernyataan
Fuadli itu bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang mahasiswa universitas islam,
tentulah dia sudah tak asing dengan Al-Qur’an. Dan bukan tidak mustahil, dia
mendapatkan pendasaran pernyataannya itu pada surah An-Nisa ayat 59, yang
berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul...”
Jadi,
siapa yang benar? Inilah yang membuat warga dihadapkan pada kebingungan.
Masing-masing pihak menganggap pihaknya yang benar, sedangkan yang lain salah.
Karena itulah, warga muak.
Semarang,
14 Mei 2018
Komentar
Posting Komentar