KDRT DALAM PANDANGAN ISLAM
Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan mempunyai Kitab Hukum Pidananya
sendiri. Selama ini, ketika menangani kasus-kasus pidana, pengadilan selalu
memakai produk hukum pidana yang berasal dari jaman Kolonial Belanda. Artinya,
sejak proklamasi kemerdekaan (17 Agustus 1945), bangsa Indonesia masih memakai
produk hukum pidana Belanda. Karena itulah, banyak suara miring mengkritisi
hukum pidana itu. Ada yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia masih dijajah secara
hukum, ada juga yang mengaitkannya dengan produk kafir. Tentu kritik yang
terakhir ini berasal dari kalangan islam.
Saat ini rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) sedang dalam
pengodokan badan legislasi. Tinggal menunggu waktu. Terbitnya KUHP ini
menandakan “kemerdekaan” bangsa Indonesia dari penjajahan hukum pidana Belanda.
Kalangan islam pun tak bisa lagi mengkritik KUHP ini sebagai produk produk
kafir, karena produk hukum ini dihasilkan oleh anak bangsa sendiri, yang
sebagiannya adalah muslim.
Akan tetapi, benarkah produk hukum ini sudah sesuai dengan ajaran islam?
Dalam RKUHP ada pasal yang mengatur soal kekerasan dalam rumah tangga. Masalah
ini diatur dalam pasal 595 – 599. Dari pasal-pasal ini, dapat diketahui bahwa
ada tiga kategori kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik (pasal
595), kekerasan psikis (pasal 596), dan kekerasan seksual (pasal
597 – 599). Perlu diketahui bahwa pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan
delik aduan. Artinya, tindak kekerasan tersebut baru akan diproses bila ada
laporan atau pengaduan dari korban. Jadi, selama tidak ada laporan, maka hukum
tidak dapat menjangkaunya.
Jika dicermati dan dikritisi dengan seksama, maka penerapan pasal ini akan
dapat bermasalah dengan umat beragama islam. Dapat dikatakan bahwa pasal
kekerasan dalam rumah tangga bertentangan dengan ajaran islam, atau tidak
sejalan dengan aqidah islam, yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an
diyakini sebagai wahyu Allah SWT, sedangkan Hadis merupakan perkataan, sikap
dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Allah telah berfirman, “Taatlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS an-Anfal: 1). Dengan
kata lain, umat islam harus mengikuti apa yang tertulis di dalam Al-Qur’an (QS
al-Qiyamah: 18). Berhubung tidak sesuai dengan ajaran islam, maka akan muncul
kendala dalam penerapan pasal ini di kehidupan masyarakat. Sekalipun merupakan
delik aduan, penegak hukum akan menghadapi dilema menegakkan hukum atau
mengkriminalisasi agama atau membiarkan adanya korban jiwa.
Seperti apa persoalan pasal kekerasan dalam keluarga ini bermasalah dalam
ajaran islam? Dalam hal ini kita perlu mengetahui pandangan islam tentang
kekerasan dalam rumah tangga sehingga kita bisa memahaminya. Namun, sebelumnya,
terlebih dahulu kita pahami dulu ketiga jenis kekerasan dalam RKUHP itu. Memang
dalam RKUHP tidak diberikan definisi tentang ketiga kekerasan tersebut. Akan
tetapi, publik diharapkan dan dipastikan sudah tahu.
Kekerasan fisik dapat dilihat seperti memukul, menampar, menyiksa atau
menendang. Memukul di sini bisa dengan menggunakan benda (kayu, tongkat, atau
benda lainnya), bisa juga dengan tangan (meninju). Orang yang mengalami
kekerasan fisik biasanya mengalami memar, lebam, luka, cacat fisik atau juga
cedera. Kekerasan psikis dapat dilihat seperti perbuatan menghina,
mencaci-maki, merendahkan, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri
agar memenuhi tuntutan suami. Efek kekerasan psikis adalah seperti ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, merasa diri hina, hilangnya kemampuan untuk
bertindak dan rasa tak berdaya. Sedangkan kekerasan seksual dapat disamakan
dengan perkosaan, yaitu memaksa berhubungan seksual tanpa ada persetujuan pihak
lawan main.
Dari uraian tentang kekerasan dalam rumah tangga di atas, jika dikaitkan
dengan ajaran islam, dapatlah dikatakan bahwa ketiga kekerasan dalam rumah
tangga itu tidak sejalan dengan ajaran islam. Hal ini bila dilihat dari sudut
pandang suami sebagai pelaku kekerasan. Artinya, jika pelaku kekerasan itu
adalah suami, maka penerapan hukum pidana itu akan menemui kendalanya dari
sudut pandang agama islam. Alasannya karena dalam agama islam para suami
mempunyai kelebihan di atas istri (QS al-Baqarah: 228).
Karena memiliki kelebihan atas istri, seorang suami boleh memukul istrinya.
Al-Qur’an, menulis “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.” (QS an-Nisa: 34). Wahyu
Allah SWT ini diperkuat oleh hadis, dimana Nabi Muhammad SAW memukul istri
favoritnya, yaitu Aisyah. Jadi, jika suami memukul istrinya, dalam pandangan
islam ia telah melaksanakan ajaran islam. Dengan kata lain, memukul istri
adalah sesuai hukum islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai dengan hukum islam
ini dipidana dengan hukum sipil? Mempidanakan suami yang melaksanakan hukum
islam dapat dilihat sebagai mempidanakan hukum islam. Dan hal ini bisa dilihat
sebagai bentuk kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai penghinaan agama.
Di atas sudah dinyatakan bahwa suami memiliki kelebihan atas istri. Dalam
hal seksual, suami punya hak mutlak atas tubuh istrinya. Allah telah berfirman,
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan
saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (QS al-Baqarah:
223). Artinya, seorang suami punya hak penuh atas tubuh istrinya, sehingga
kapan saja dia mau bersenggama istri wajib melayaninya. Hubungan seksual tidak
membutuhkan persetujuan istri atau memperhatikan kondisi dan situasi batin
istri. Adalah kewajiban istri untuk melayani shyawat suami. Menolak keinginan
suami untuk bersenggama membuat istri bisa dipukul dan juga dikutuk para
malaikat. Hadis Sahih Bukhari dan Muslim menulis perkataan Nabi Muhammad, “Jika
seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak
mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi.” Jadi, ketika
suami “memperkosa” istrinya, dalam pandangan islam ia telah melaksanakan ajaran
islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai dengan hukum islam ini dipidana dengan
hukum sipil? Mempidanakan suami yang melaksanakan hukum islam dapat dilihat
sebagai mempidanakan hukum islam. Dan hal ini bisa dilihat sebagai bentuk
kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai penghinaan agama.
Bagaimana dengan kekerasan psikis? Di atas telah dijelaskan bahwa kekerasan
psikis dapat terlihat dalam bentuk perbuatan menghina, merendahkan,
mencaci-maki, pelabelan negatif, membatasi atau mengontrol istri agar memenuhi
tuntutan suami. Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa suami memiliki kelebihan atas
istri. Ada kuasa untuk membatasi dan mengontrol istri oleh suami. Suami memaksa
istrinya untuk berias sesuai seleranya, memaksa agar tidak keluar rumah tanpa
izinnya atau wajib mengenakan pakaian muslimah. Jadi, ketika suami membatasi,
mengontrol atau memaksa istri melakukan sesuai keinginan suami, dalam pandangan
islam ia telah menjalankan ajaran islam. Haruskah perbuatannya yang sesuai
dengan hukum islam ini dipidana dengan hukum sipil? Mempidanakan suami yang
melaksanakan hukum islam dapat dilihat sebagai mempidanakan hukum islam. Dan
hal ini bisa dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama, atau bahkan sebagai
penghinaan agama.
Selain itu, soal kekerasan psikis, dalam pandangan islam wanita itu
memiliki posisi rendah atau bahkan hina. Ada hadis yang menyatakan wanita itu
bodoh dalam berpikir dan beragama. Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan
wanita adalah penghuni neraka. Ada pula hadis mengatakan bahwa wanita itu aurat
sehingga seluruh tubuhnya harus ditutupi agar orang lain tidak jatuh dalam
dosa. Dengan kata lain, wanita dilihat sebagai biang dosa. Karena itu, dengan
mengatakan istrinya bodoh, atau “kau memang pantas menghuni neraka jahanam,”
seorang suami sudah mengikuti ajaran islam. Akankah perbuatannya ini dipidana
dengan pasal kekerasan psikis? Mempidana suami yang melakukan kekerasan psikis
terhadap istrinya dapat dilihat sebagai bentuk kriminalisasi agama atau bahkan
sebagai penistaan agama.
DEMIKIANLAH kontradiksi hukum islam dan hukum sipil. Dalam pandangan agama
islam, kekerasan dalam rumah tangga seakan dihalalkan, sehingga suami boleh
memukul, menghina dan juga memperkosa istri. Tentulah penerapan pasal kekerasan
dalam rumah tanggal ini akan berbenturan dengan hukum atau ajaran islam. Ketika
suami memukul istrinya, dia melihat dirinya telah melaksanakan ajaran islam,
ketika suami “memperkosa” istrinya, dia menilai dirinya telah melakukan aqidah
islam, dan ketika suami merendahkan istrinya, yang memang hina, dia merasa
telah menjalankan ajaran islam. Haruskah dia dihukum lantaran telah menunaikan
ajaran agamanya?
Komentar
Posting Komentar