WISATA HALAL, PENGHINAAN AGAMA DAN INTOLERANSI
Mendengar kata “halal” umumnya orang langsung mengasosiasikannya dengan
islam. Selain produk makanan, destinasi wisata dewasa kini sudah menggunakan
label “halal”. Sekarang ini jamak ditemukan istilah wisata halal. Baik pada produk makanan maupun pada daerah wisata, istilah
“halal” yang dipakai sama-sama bertujuan melindungi umat islam. Pada produk
makanan, agar umat islam terhindar dari yang haram, yang bisa menjerumuskannya
ke dalam dosa. Pada daerah wisata, supaya kepentingan dan kebutuhan umat islam
diperhatikan sehingga umat islam bisa menikmati liburan dengan nyaman dan
terhindari dari perusakan aqidah.
Karena itu, istilah wisata halal yang
tren dewasa ini semata-mata untuk menjawab kepentingan umat islam. Dengan
“wisata halal” dimaksudkan bahwa tempat wisata tersebut, sekalipun bukan
merupakan daerah islam, layak dan ramah
bagi umat islam. Dengan memberi label “wisata halal” hal ini menunjukkan
bahwa tempat-tempat wisata tersebut layak bagi umat islam dan penduduknya ramah
terhadap umat islam. Misalnya, tersedianya rumah makan yang menyediakan makanan
yang boleh dikonsumsi umat islam, tersedia rumah ibadah sehingga umat islam
dapat menjalani kewajiban sholatnya, dan hal-hal lainnya yang menjawab
kebutuhan umat islam.
Dapatlah dikatakan bahwa daerah wisata yang mau dikunjungi wisatawan islam,
sehingga dapat menambah pendapatan daerah, harus memasang label “wisata halal”
pada daerahnya. Umat islam akan bangga dengan daerah-daerah wisata yang
mempunyai label “wisata halal”. Mereka merasa dirinya diperhatikan. Tak sedikit
juga umat islam yang mengecam tempat-tempat wisata yang tidak bersedia memakai
label “wisata halal” untuk destinasi wisatanya. Mereka mencap daerah dengan pendudukanya
sebagai islam phobia, intoleran dan
salah paham soal wisata halal. Secara implisit, daerah yang menolak label
“wisata halal” dianggap sebagai daerah yang tidak ramah dan tidak layak bagi
umat islam. Lebih kasar lagi, daerah tersebut dianggap memusuhi umat islam.
Siapa sebenarnya yang tidak toleran? Mencermati permasalahan wisata halal, orang dapat mengetahui
siapa yang sebenarnya tidak toleran. Toleransi dapat dipahami suatu sikap saling menghormati dan menghargai
antarkelompok atau antarindividu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya.
Kata kunci dari toleransi adalah sikap
saling. Dengan kata saling di sini dimaknai dengan timbal balik, dua arah,
bukan satu arah saja.
Penggunaan kata “halal” pada daerah wisata, yang hanya dikhususkan pada
islam saja sudah menunjukkan adanya intoleransi pada agama islam. Dengan
melabeli “wisata halal” pada suatu destinasi wisata, yang berarti daerah itu
layak dan ramah pada wisatawan islam, maka destinasi wisata yang tidak punya
label itu dianggap tidak layak dan ramah pada wisatawan islam. Kalau mau
dianggap layak dan ramah pada wisatawan islam, maka harus pasang label “wisata
halal”. Di sini terlihat adanya pemaksaan kehendak. Sesuatu itu harus menurut
dan menjawab kepentingan umat islam. Ada kesan arogan dalam agama, yang
memaksakan kehendaknya. Jika orang tidak percaya pada ajaran islam maka ia akan
dilabeli kafir, atau jika suatu daerah wisata tidak
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan/kepentingan umat islam maka daerah itu,
secara tak langsung, dilabeli haram.
Padahal terdengar pernyataan dari banyak tokoh islam bahwa islam itu agama
toleran dan menghormati perbedaan.
Mereka biasa mengutip firman Allah SWT, “Dan sekiranya Allah
menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan
orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya.” (QS 42: 8). Menjadi
pertanyaan, apakah Allah memasukkan orang-orang yang Dia kehendaki ke dalam
rahmat-Nya agar supaya umat islam dapat mengkafir-kafirkan dan
mengharam-haramkan? Karenanya, benarlah apa yang dikatakan slogan ini: “Bagimu
agamamu, bagiku agamaku; tapi engkau harus ikut aturan agamaku.”
Batu uji toleransi ada pada sikap
saling. Kita dapat menguji itu pada daerah-daerah wisata yang mayoritas
penduduknya beragama islam dengan menggunakan cara pandang islam sendiri. Jika
“halal” dikaitkan dengan islam, maka “haram” dikaitkan dengan non islam. Nah, bolehkah daerah-daerah wisata yang ada
di sana diberi label “wisata haram”, yang dapat dimaknai daerah itu layak dan
ramah bagi wisatawan non muslim, baik wisatawan dalam maupun luar negeri.
Artinya, kebutuhan bagi wisatawan yang non muslim tersedia. Jika umat islam
menuntut kepentingan dan kebutuhannya dipenuhi, maka umat islam di daerah
wisata yang mayoritas beragama islam harus bisa memenuhi kebutuhan umat non
muslim. Misalnya, tersedia rumah makan yang menyediakan masakan daging babi
atau anjing, ada rumah ibadahnya, ada dijual minuman beralkohol dan ada jaminan
umat non muslim menikmati kenyamanan tanpa diganggu kebisingan suara TOA
masjid.
Dapat bisa dipastikan bahwa semua itu TIDAK mungkin ada. Jangankan meminta
dibangunkan rumah ibadah bagi wisatawan, orang kristen yang ada di sana saja
sulit untuk membangun gereja. Jangankan meminta tersedianya masakan daging
babi/anjing bagi wisatawan, warga non muslim di sana saja tak boleh masak
daging babi. Jangankan menuntut bebas dari kebisingan suara TOA masjid, warga
setempat yang meminta volume suara TOA dikecilkan saja malah dipidana karena
penistaan agama.
Di daerah tujuan wisata, yang penduduknya mayoritas beragama islam, tidak
mungkin menyediakan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan wisatawan non muslim.
Malah mereka akan “memaksa” wisatawan non muslim untuk mengikuti ketentuan yang
berlaku di daerah itu. Karena itu, adilkah bila kita meminta pihak lain
memperhatikan dan memenuhi kebutuhan kita sementara kita sendiri tidak bisa
melakukannya? Adilkah bila kita menuntut orang lain menghargai dan menghormati
kita sementara kita sendiri tak bisa menghargai dan menghormati mereka?
DENGAN demikian pada label “wisata halal” terkandung pesan bahwa agama
dan/atau umat islam intoleran terhadap umat agama lain. Hal ini semakin
mempertegas label islam sebagai agama intoleran. Selain itu, label “wisata
halal” justru menimbulkan penilaian ketidak-adilan dan arogansi agama islam.
Terlihat jelas islam tidak menghargai perbedaan, sekalipun Al Quran mengajarkan
untuk menghormati perbedaan. Karena itu, tampak jelas bahwa label “wisata halal” merusak citra islam. Dengan kata
lain, secara tidak langsung label tersebut telah melecehkan agama islam. Namun
sayang, umat islam tidak menyadarinya. Malah mereka bangga dengan label itu.
Jika memang label tersebut sungguh menjelekkan
agama islam, masihkah umat islam ngotot dengan label “wisata halal”?
Komentar
Posting Komentar