UMAT ISLAM YANG BERSEKUTU DENGAN KAFIR JENASAHNYA TIDAK DISHALATKAN
Umat
islam sering menyatakan agamanya sebagai sempurna, sedangkan yang bukan islam
dianggap tidak sempurna. Hal ini didasarkan pada wahyu Allah SWT, “Sesungguhnya
agama di sisi Allah hanyalah islam.” (QS Ali Imran: 19; bdk. QS Al-Baqarah:
193). Bagi umat islam, orang non muslim akan dibinasakan Allah dan masuk
neraka. Untuk menjaga kesempurnaan itu, umat islam dilarang untuk bersentuhan
dengan sesuatu yang ada di luar islam. Ada banyak konsekuensi yang diterima
jika umat islam bersekutu dengan orang di luar islam, yang biasa disebut kafir.
Salah satunya adalah tidak menshalatkan jenasah mereka.
Hal
ini pernah terbukti pada masa kampanye Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Saat itu
terjadi persaingan ketat antara petahana, Basuki Tjahaya Purnama, dan calon
baru, Anies Baswedan. Sebagaimana sudah diketahui umum, Basuki adalah seorang
kristiani, dan sebagai orang kristen dia adalah kafir. Pada waktu itu, tak
sedikit umat islam mendukung pasangan Basuki dan Djarot Saiful Hidayat, seorang
muslim. Namun sayangnya, dua orang pendukung mereka meninggal dunia sebelum
pemilihan. Karena diketahui mereka mendukung Basuki, maka jenasah mereka
ditolak untuk dishalatkan. Dua jenasah itu adalah jenazah Hindun bin Raisan (77
tahun) dan Ulfie Supiati binti Muhammad Undu (73 tahun.
Aksi
umat islam tidak hanya berhenti pada penolakan jenasah 2 pendukung Basuki untuk
dishalatkan. Mereka juga membuat spanduk-spanduk berisi peringatan bagi umat
islam yang mendukung Basuki; atau dengan kata lain peringatan bagi umat islam
yang bersekutu dengan orang kafir. Jenasah mereka tidak akan dishalatkan.
Itulah ancamannya.
Apakah
ini sudah sesuai dengan ajaran islam?
Pertama-tama
keyakinan orang akan hal itu datang dari tidak adanya reaksi dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Sama sekali tidak ada suara dan tindakan dari MUI. Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan umat islam itu, atau isi dari spanduk itu
sudah sesuai dengan ajaran islam. Dengan kata lain, MUI terkesan menyetujui apa
yang dilakukan umat islam untuk menolak menshalatkan jenasah orang yang
bersekutu dengan kafir. Jika tidak sesuai, tentulah MUI akan bertindak, karena
bisa saja hal itu mencoreng nama baik islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Jika
perbuatan menolak menshalatkan jenasah orang yang bersekutu dengan kafir sudah
sesuai dengan ajaran islam, tentulah ada pendasarannya. Salah satu inti dasar
ajaran islam adalah Alquran, yang diyakini sebagai wahyu Allah langsung (QS As-Sajdah: 2, dan QS Az-Zumar: 1 – 2, 41). Umat islam diperintahkan
untuk mengikuti apa yang tertulis di dalamnya (bdk QS Al-Qiyamah: 18).
Pendasaran
untuk menolak jenasah orang yang bersekutu dengan kafir dishalatkan ada dalam QS
At-Taubah: 84. Di sana Allah SWT berfirman, “Dan janganlah engkau (Muhammad)
melaksanakan salat untuk seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang
munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas
kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati
dalam keadaan fasik.”
Memang
bunyi ayat itu ditujukan kepada Muhammad, namun karena umat islam wajib
mengikuti teladan nabi, maka wajar bila sekarang pun umat islam tidak akan
menshalatkan orang yang mati di antara orang-orang munafik. Nabi saja tidak
menshalatkan, kenapa umat islam menshalatkan? Sepertinya lebih baik dan jauh
lebih terhormat menshalatkan seorang teroris (baca: jihadis) daripada
menshalatkan orang yang mendukung kaum kafir.
Pendasaran
surah At-Taubah di atas ternyata masih ditunjang atau didukung oleh surah
lainnya. Dalam QS Al-Mumtahanah: 9 tertulis, “Sesungguhnya Allah hanya melarang
kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam
urusan agama ..... Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah
orang yang zalim.” Bila memperhatikan ayat ini, kata “mereka” mempunyai dua
maksud, yaitu (1) orang yang memerangi umat islam dalam urusan agama, dan (2)
orang yang mendukung orang yang memerangi umat islam.
Jika
surah Al-Mumtahanah ini diterapkan dalam kasus kampanye Pilgub DKI Jakarta,
maka Basuki masuk kategori orang yang memerangi umat islam. Hal ini terbukti
dengan fatwa MUI bahwa Basuki telah melakukan penistaan agama dan ulama.
Sedangkan Hindun bin Raisan dan Ulfie Supiati binti Muhammad Undu masuk
kategori kedua. Di mata Allah kedua orang ini masuk golongan orang zalim. Dan
Allah telah berfirman “Sungguh, Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maidah: 51). Nasib orang-orang zalim adalah
neraka (QS Al-Hasyr: 17). Karena sudah pasti masuk neraka, untuk apa lagi
dishalatkan.
Nah,
seperti itulah logikanya. Jadi, tidak menshalatkan jenazah orang yang telah
bersekutu dengan orang kafir sudah sesuai dengan ajaran agama islam. Ini adalah
perintah Allah SWT. Umat islam wajib untuk melaksanakannya.
Karena
itu, kejadian yang menimpa Ulfie Supiati binti Muhammad Undu dan Hindun bin Raisan serta spanduk-spanduk yang
berisi ajakan untuk tidak mendoakan janazah pendukung Basuki adalah SESUAI
DENGAN AJARAN AGAMA ISLAM. Dengan kata lain, agama islam melarang umatnya untuk
menshalatkan para pendukung Basuki. Bisa juga disimpulkan bahwa agama islam
mengajarkan umatnya untuk tidak menshalatkan atau mendoakan orang islam yang
mendukung orang kafir.
Itulah
ajaran islam yang dikenal dengan agama rahmatan
lil alamin. Menjadi pertanyaan: bila demikian akankah bisa terwujud
toleransi? Dan bisa dipastikan, sampai kapan pun orang non islam (baca: kafir)
tidak akan punya tempat menjadi pemimpin di negeri ini, karena pemimpin islam
akan “mengancam” umat islam yang mendukungnya untuk tidak dishalatkan. Sungguh
sangat menyedihkan.
Komentar
Posting Komentar