KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-FATIHAH
Di kalangan ulama dan pakar islam, surah al-Fatihah ini dikenal sebagai mother of the qur’an, ibunya Alqur’an. Salah satu peran atau fungsi ibu adalah melahirkan. Karena itu, mother of the qur’an dimaknai sebagai surah yang melahirkan surah-surah lain yang ada dalam Alqur’an. Mungkin artinya bahwa wahyu-wahyu Allah yang ada di surah ke-2 hingga ke-114 merupakan penjabaran dari isi surah al-Fatihah. Atau dengan perkataan lain, surah al-Fatihah menjadi dasar pijak surah-surah lainnya.
Pemahaman
seperti ini bukan tanpa konsekuensi. Dengan pemahaman seperti ini maka
diandaikan bahwa surah al-Fatihah merupakan wahyu Allah yang pertama turun.
Menjadi pertanyaan, benarkah demikian? Kepastian akan hal ini bukan didasarkan
pada pengakuan sepihak, melainkan harus ditunjang dengan bukti ilmiah, seperti
penelitian-penelitian. Konsekuensi lain adalah bila dikaitkan dengan turunan
cacat bawaan. Ibu yang mempunyai gen buruk atau cacat bawaan, tentulah akan
melahirkan anak dengan cacat bawaan juga. Demikian pula halnya dengan Alqur’an. Jika ada “cacat”
dalam surah al-Fatihah, maka “cacat” itu terdapat pula dalam surah-surah
lainnya. Berhubung yang “melahirkan” surah al-Fatihah adalah Allah SWT, maka
bisa dikatakan juga terdapat “cacat” pada Allah itu. Inilah konsekuensi
berikutnya.
Akan
tetapi, dalam tulisan ini kami tidak akan membahas persoalan konsekuensi
tersebut. Di sini kami lebih fokus pada kajian ayat-ayat surah al-Fatihah
berdasarkan akal sehat. Sebelum menyampaikan kajian islam atas surah
al-Fatihah, terlbih dahulu kami ingin memberi pemahaman sedikit soal Alqur’an. Umat islam meyakini dengan pasti kalau Alqur’an merupakan wahyu Allah. Apa yang tertulis di dalam Alqur’an dipastikan merupakan kata-kata Allah
sendiri. Dalam arti lain, Alqur’an itu berasal dari Allah. Kepastian ini didasarkan pada wahyu Allah
sendiri, yang banyak dijumpai dalam ayat-ayat Alqur’an. Dengan pemahaman ini, maka haruslah diterima bahwa ayat-ayat yang
ada dalam surah al-Fatihah (7 ayat) merupakan perkataan langsung dari Allah.
Karena yang menerima wahyu Allah itu HANYA Muhammad, maka bisa dikatakan bahwa
perkataan itu ditujukan kepada Muhammad.
Berikut ini adalah kutipan terjemahan ayat surah al-Fatihah. Terjemahan ini
kami ambil dari “ALQUR’AN DAN TERJEMAHANNYA, Departemen Agama RI, Edisi Terkini
Revisi Tahun 2006”.
(1)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (2) Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, (3) Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
(4) Pemilik hari pembalasan. (5) Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (6) Tunjukkan kami jalan yang lurus, (7) (yakni) jalan orang-orang yang
telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Pertama-tama
harus dipahaman bahwa kutipan ayat-ayat di atas adalah kata-kata Allah yang
disampaikan kepada Muhammad, kecuali yang ada dalam tanda kurung, seperti
‘yakni’, ‘jalan’ dan ‘pula jalan’. Tiga kata ini dapat dipastikan berasal dari
manusia kemudian. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat di atas, kita bisa
mengatakan bahwa wahyu terdiri dari 4 kalimat, yaitu ayat 1, ayat 2 – 4, ayat
5, dan ayat 6 – 7. Ayat 3 dan 4 merupakan penjelasan atas Allah yang disebut pada ayat 2. Kedua ayat ini menunjukkan esensi
atau sifat dari Allah. Berhubung esensi atau sifat Allah ini sudah jelas, maka
dalam tulisan ini kedua ayat itu tidak masuk dalam kajian.
Kajian Ayat 1 dan 2
Karena
Alqur’an diyakini sebagai
perkataan Allah, yang disampaikan kepada Muhammad, maka dengan membaca dua ayat
ini tentulah kita bisa mengatakan bahwa waktu itu Allah berkata kepada
Muhammad, “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji
bagi Allah, Tuhan seluruh alam.” Setelah mendengar itu, Muhammad lantas
menyuruh juru tulisnya untuk menulis apa yang dikatakan Allah kepadanya. Dan
jadilah teks ini di hadapan umat islam.
Jika
kita membaca kembali teks tersebut dengan akal sehat yang jernih, maka akan
ditemukan kejanggalan. Allah berkata, “Dengan nama Allah ….. Segala puji bagi
Allah …” Tampak jelas Allah menyebut kata ‘Allah’.
Kata ‘Allah’ ini tentulah tidak merujuk kepada Allah yang berbicara, karena
kalau demikian Allah akan menggunakan kata ‘Aku’ atau ‘Kami’. Karena itu, kita
bisa mengatakan bahwa pada waktu itu Allah sedang menyebut Allah lain, yang
bukan Allah yang berbicara. Allah yang lain ini tentulah berbeda dari Allah
yang berbicara. Allah lain yang disebut Allah ini memiliki sifat atau esensi
sebagai maha pengasih, maha penyayang, Tuhan seluruh alam, pemilik hari
pembalasan sehingga segala puji dialamatkan kepada-Nya.
Pertanyaan
kecil yang bisa diajukan di sini adalah apakah Allah yang sedang berbicara
waktu itu juga memiliki sifat atau esensi yang sama seperti yang dimiliki oleh
Allah lain yang disebut itu? Tentulah patut diragukan Allah yang berbicara
mempunyai sifat yang sama dengan Allah yang disebut-Nya itu. Karena jika Allah
yang berbicara itu juga memiliki sifat atau esensi yang sama, maka dapat dikatakan
ada 2 Allah yang setara. Dan tentulah ini bertentangan dengan konsep tauhid
islam. Akan tetapi, sekalipun tidak setara, tentulah akal sehat akan mengatakan
bahwa dalam dua ayat ini terdapat 2 Allah, yang berbeda dalam sifat dan tentu
juga derajat. Dapat dikatakan bahwa derajat Allah yang sedang berbicara lebih
rendah dari Allah yang disebut dalam wahyu-Nya.
Kajian Ayat 5
Sekali
lagi kita harus pahami bahwa pada waktu itu Allah berkata kepada Muhammad, “Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan.” Setelah mendengar perkataan Allah ini, Muhammad lantas meminta
juru tulisnya untuk menulis apa yang dikatakan Allah kepadanya. Dan jadilah
teks ini di hadapan umat islam, yang dalam perjalanan sejarah islam diberi
nomor (5). Demikianlah ayat 5 surah al-Fatihah. Jadi, perlu ditegaskan bahwa
ayat 5 ini merupakan kata-kata Allah sendiri.
Namun,
jika kita membaca kembali teks tersebut dengan akal sehat yang jernih, maka
akan ditemukan kejanggalan. Allah berkata, “Hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Dalam kutipan
ayat 5 ini terdapat 2 jenis kata ganti orang, yaitu ‘engkau’ dan ‘kami’. Dapat
dipastikan bahwa penulisan huruf kapital pada kata ‘engkau’ merupakan tafsiran
kemudian, karena waktu Allah berbicara hal itu tidak jelas sama sekali. Jika
kita mengabaikan penulisan huruf kapital, maka ayat 5 ini merupakan bentuk
komunikasi antara dua orang, yaitu Allah dan Muhammad. Allah yang berbicara
berperan sebagai orang pertama dan Muhammad sebagai orang kedua. Kenapa
kemudian bisa ditulis dengan menggunakan huruf kapital? Pada saat berbicara,
lawan atau kawan bicara Allah adalah Muhammad.
Dalam
ilmu bahasa dan juga komunikasi, penggunakan kata ganti ‘engkau’ itu merujuk
pada orang sebagai lawan atau teman bicara. Tidak akan mungkin kata ‘engkau’
itu merujuk kepada orang yang sedang berbicara, dan tak akan mungkin pula
mengacu pada orang lain, yang bukan lawan bicara. Berdasarkan ilmu bahasa dan
juga komunikasi, orang yang sedang berbicara dikenal sebagai orang pertama.
Statusnya bisa tunggal (saya, aku), bisa juga jamak (kami, kita). Sementara
lawan atau kawan bicara dikenal sebagai orang kedua, yang bisa tungga (kamu,
engkau) atau juga jamak (kalian). Sedangkan orang yang sedang tidak terlibat
dalam pembicaraan, namun masuk dalam pembicaraan dikenal sebagai orang ketiga.
Statusnya bisa tungga (dia, ia), bisa juga jamak (mereka).
Berangkat
dari penjelasan ilmu bahasa dan juga pemahaman turunnya wahyu Allah, maka
dapatlah dikatakan bahwa kata ‘engkau’ dalam ayat 5 itu mengacu pada Muhammad.
Karena pada waktu itu, dan diyakini oleh umat islam, Allah sedang berbicara
dengan Muhammad, dan wahyu Allah hanya disampaikan Allah kepada Muhammad. Akan
tetapi, penerapan ilmu bahasa ini bukan tanpa masalah. Apakah Muhammad disembah
dan dimintai pertolongan? Jika mengikuti ilmu bahasa, dimana kata ‘engkau’ itu
mengacu pada lawan bicara, yang berarti adalah Muhammad, maka sosok Muhammad
itu disembah dan dimintai pertolongan. Dan berdasarkan ilmu bahasa juga, dimana
kata ‘kami’ itu bisa mengacu pada orang yang sedang berbicara, dalam hal ini
adalah Allah, maka Allah menyembah Muhammad dan meminta pertolongan kepadanya.
Tentulah
hal ini sangat tidak mungkin. Karena itulah, umat islam kemudian menafsirkan
kata ‘engkau’ itu dengan Allah sehingga penulisannya pun memakai huruf kapital.
Akan tetapi, apakah masalah sudah selesai? Sama sekali persoalan ayat 5 ini
tidak selesai hanya dengan pemakaian huruf kapital pada kata ‘engkau’. Masih
ada keanehan di sana. Jika kalimat “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan
hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” merupakan perkataan Allah, maka Muhammad tidak
masuk dalam pembicaraan dan bukan pula bagian dari dialog. Bisa dikatakan waktu
itu Muhammad ibarat patung, bukan lawan atau kawan bicara Allah, sementara
Allah berbicara kepada Allah yang lain, yang disapa sebagai ‘Engkau’. Allah
yang lain inilah yang disembah dan dimohonkan pertolongannya oleh Allah yang
sedang berbicara. Kata ganti ‘kami’ dalam kalimat itu bisa dalam bentuk tunggal
(sebagai bentuk hormat), bisa juga dalam bentuk jamak. Jika kata ‘kami’ dalam
bentuk tunggal, maka itu mengacu pada Allah yang berbicara, tapi jika dalam
bentuk jamak, siapa lagi yang masuk dalam bagian ini selain Allah yang
berbicara? Apakah ada allah-allah lain lagi? Bila seandainya begitu, betapa
banyaknya Allah dalam islam; tidak hanya sebatas dua.
Kajian Ayat 6 – 7
Perlu
ditegaskan sekali lagi agar kita benar-benar pahami bahwa pada waktu itu Allah
berkata kepada Muhammad, “Tunjukkan kami jalan yang lurus, (yakni) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Setelah mendengar
perkataan Allah ini, Muhammad lantas meminta juru tulisnya untuk menulis apa
yang dikatakan Allah kepadanya. Di kemudian hari ada tangan manusia menambahkan
kata dalam wahyu Allah ini, dan ini terlihat dalam kata-kata yang ada dalam
tanda kurung. Dan jadilah teks ini di hadapan umat islam, yang dalam perjalanan
sejarah islam diberi nomor (6 dan 7). Demikianlah ayat 6 dan 7 surah
al-Fatihah. Jadi, perlu ditegaskan bahwa kedua ayat ini merupakan kata-kata Allah sendiri.
Sama
seperti ayat-ayat sebelumnya, jika kita membaca kembali teks tersebut dengan
akal sehat yang jernih, maka akan ditemukan kejanggalan. Dalam dua ayat ini
terdapat 4 kata ganti orang, yaitu ‘kami’, ‘engkau’, ‘-nya’ dan ‘mereka.
Keanehan dan kejangalan ayat ini terkait dengan kata ganti ‘kami’ dan ‘engkau’ tak jauh beda dengan kajian ayat 5 di atas.
Karena itu, kami merasa tak perlu lagi mengulasnya. Yang pasti, Allah yang
berbicara meminta kepada Allah yang lain agar ditunjukkan jalan. Sungguh lucu.
Kami
hanya ingin membahas penggunaan kata ganti yang lain, yaitu ‘-nya’ dan
‘mereka’. Kata ganti ‘-nya’ merupakan kata ganti orang yang menyatakan
kepemilikan. Bentuknya adalah tunggal. Sedangkan kata ganti ‘mereka’ dalam ayat
di atas, khususnya ayat 7, menunjukkan kata ganti orang yang menyatakan
kepemilikan. Bentuknya adalah jamak. Apa yang aneh di sini? Penggunaan kata
ganti biasanya selalu diawali dengan kata yang akan diganti. Artinya, kata
ganti orang digunakan bila sebelumnya sudah ada kata orang tersebut. Dalam ayat
7 surah al-Fatihah ini, kata ‘mereka’ ini menggantikan kata apa? Penelusuran
dari ayat pertama hingga ayat 6 sama sekali tidak ditemukan kata apa yang
diganti dengan kata ‘mereka’. Hal yang sama dengan kata ganti kepunyaan ‘-nya’.
Hal
ini menjadi aneh dan janggal karena Alqur’an
selalu diklaim sebagai kitab yang jelas, dan Allah selalu diyakini sebagai maha
mengetahui. Akan tetapi, berhadapan dengan ayat 7 ini, yang ditemui adakan
ketidak-jelasan. Dan karena tidak jelas, maka gelar Allah yang maha mengetahui
haruslah diragukan. Ataukah keaslian ayat ini sebagai wahyu Allah patut
dipertanyakan.
Kesimpulan
Demikianlah
kajian islam atas surah al-Fatihah. Dari kajian tersebut kita dapat menemukan
beberapa butir kesimpulan.
1. Jika
surah al-Fatihah ini diyakini sebagai wahyu Allah, dalam arti Allah yang
berbicara saat itu, maka haruslah diakui adanya Allah yang lain. Dengan
demikian, islam mempunyai DUA Allah. Ini merupakan konsekuensi logis.
2. Jika
umat islam tetap bersikukuh bahwa Allah hanya ada SATU, maka haruslah dikatakan
bahwa surah al-Fatihah ini bukan wahyu Allah. Artinya, yang berbicara waktu itu
bukanlah Allah. Dengan kata lain, perkataan-perkataan dalam surah ini bukan
berasal dari Allah.
3. Jika
umat islam percaya bahwa Alqur’an
itu adalah kitab yang jelas karena berasal dari Allah, maka haruslah dikatakan
bahwa surah al-Fatihah bukan berasal dari Allah, karena adanya ketidak-jelasan.
4. Berangkat
dari butir kedua dan ketiga, karena bukan dari Allah, maka dapatlah dikatakan bahwa
surah al-Fatihah merupakan rekayasa manusia.
Dari
empat butir kesimpulan logis ini, kita akhirnya bisa mengajukan pertanyaan
refleksi tentang surah al-Fatihah, yang dikenal sebagai mother of the qur’an. Seperti yang telah kami jelaskan di atas,
pemahaman sebagai mother of the qur’an
mengandung konsekuensi logis yang harus diterima bila dikaitkan dengan turunan
cacat bawaan. Empat butir kesimpulan di atas bisa dijadikan sebagai “cacat”
yang ada dalam surah al-Fatihah. Karena surah ini sebagai “ibu” yang melahirkan
surah-surah lainnya, maka “cacat” ini pun bisa terdapat surah-surah lain. Dan percaya
atau tidak, hal itu memang terbukti.
Komentar
Posting Komentar