PUASA DAN KENAIKAN HARGA BARANG
Pada
hari Jumat lalu (13 Juli, pukul 16:08), mengikuti gaya penulisan Mang Usil di
pojok Kompas, saya menulis di status facebook saya begini:
Beberapa hari terakhir banyak pejabat bilang bahwa
persediaan sembako aman selama ramadhan.
Harganya yang gak nyaman, bos!!!
Harganya yang gak nyaman, bos!!!
Satu jam kemudian, persisnya pukul 17: 09, seorang
teman menanggapi status saya tersebut dengan menulis: “Biasanya harga
sembako naik seputar lebaran ..... Why?”
Saya tidak langsung menjawab, karena memang saya tidak
membaca tanggapan sahabat facebook itu. Tentu karena disebabkan saya
lagi tidak online. Saya baru membuka internet di laptop saya pada pukul
21:45. Ketika saya membuka facebook, saya langsung membaca tanggapan
teman saya itu. Lalu saya membalasnya dengan menulis singkat: hukum ekonomi:
permintaan banyak, barang sedikit = harga tinggi. Tercatat dalam facebook,
tanggapan saya terkirim pada pukul 21:48.
Meski mendasarkan jawaban pada hukum ekonomi, bukan
berarti saya ini ahli dalam ilmu ekonomi. Apa yang saya ungkapkan itu merupakan
sisa-sisa pelajaran ekonomi yang pernah saya dapat waktu SMA dulu (tahun 1988).
Lebaran dan Hukum Ekonomi
Ketika menanggapi tulisan saya di status facebook
saya, mungkin teman saya itu belum terlalu memahami hukum ekonomi. Atau dia
sudah tahu tapi punya maksud lain. Saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah bahwa
dia bingung menghadapi realitas menjelang dan selama lebaran. Setiap kali
menjelang dan sepanjang lebaran, dia selalu melihat, menyaksikan dan mendengar
bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya.
Sebenarnya bukan cuma menjelang lebaran. Setiap
memasuki imlek atau Natal, harga-harga barang juga naik. Jadi, bukan hanya
lebarannya saja.
Akan tetapi kebingungan teman saya terletak pada harga
naik. Bukankah lebaran itu selalu dirayakan setiap tahun? Koq masih
tetap naik harga barangnya. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang
lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya?
Mungkin teman saya ini mengambil pepatah,
“Sebodoh-bodohnya keledai, tak jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua
kalinya.” Nah, dengan prinsip ini, sebenarnya masalah kenaikan harga barang
tidak perlu terjadi berkali-kali. Cukuplah satu atau dua kali. Ataukah kita
bodoh melebihi keledai?
Kepadanya saya hanya memberikan sedikit jawaban. Saya
hanya mengatakan bahwa apa yang terjadi sudah sesuai dengan hukum ekonomi.
Dalam hukum ekonomi (pasar), di mana persediaan barang sedikit dan permintaan
akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan naik.
Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar.
Karena itu, hukum ekonomi (pasar) ini bisa diterapkan
dalam fenomena harga naik pada saat lebaran, baik mennyongsong maupun sepanjang
lebaran. Bisa dikatakan bahwa menjelang lebaran persediaan barang yang
dibutuhkan sangat sedikit, sementara para pamakainya banyak (atau pemakainya
sedikit tapi barang yang akan dipakainya banyak). Hal ini membuat harga-harga
barangnya menjadi naik. Sebagai contoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur
1.000, sementara yang membutuhkannya hanya 10 orang, di mana tiap orang cuma
butuh 1 atau 2 butir telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis.
Tapi pada saat lebaran, di mana persediaan telur tetap 1.000, sementara yang
butuh lebih dari 500, di mana tiap orang butuh 1 atau 2 butir, maka pedagang
dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang butuh tetap 10
orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah pedagang juga akan
menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.
Haruskah Mengalah
pada Hukum?
Mungkin inilah yang menjadi pergumulan teman saya itu.
Mengapa harus naik setiap lebaran? Memang kenaikan itu merupakan suatu
keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Menjadi
persoalan adalah apakah keharusan itu sebagai sesuatu yang mutlak-absolut?
Manusia berhadapan dengan berbagai macam hukum. Kita
dapat membagi hukum ini dalam dua bagian besar, yaitu hukum natural dan hukum
positif. Hukum natural adalah buatan alam, sedangkan hukum positif adalah
buatan manusia atau hasil pemikiran manusia.
Ketika manusia berada di atap gedung, dan ketika tidak
ada pijakan kakinya, maka ia akan terjatuh ke bawah. Burung bisa terbang,
manusia tidak bisa terbang seperti burung. Ini hukum natural. Alam sudah
menentukannya demikian. Manusia tidak bisa mengubahnya. Manusia hanya bisa
menerimanya.
Berbeda dengan hukum positif. Karena dia merupakan
buatan manusia, tentulah rumusan hukumnya bisa diubah demi kepentingan manusia.
Yang termasuk hukum positif adalah hukum pidana/perdata, norma-norma dan
termasuk juga hukum ekonomi. Jadi, bisa dikatakan bahwa hukum ekonomi itu bisa
diubah. Karena itu, setiap menyongsong dan selama lebaran harga barang BISA
DIBUAT AGAR TIDAK NAIK. Dengan kata lain, kita bisa
mengubah hukum ekonomi itu sehingga tidak ada kenaikan harga saat lebaran.
Mungkinkah?
Tentu saja mungkin. Bukankah hukum ekonomi itu merupakan
hukum positif yang dapat diubah demi kepentingan umat manusia? Manusia tidak
boleh kalah dengan hukum yang dibuatnya sendiri. Seperti kata Yesus, “Hukum itu
untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur yang menyebabkan
harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas, peminat yang banyak
atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau pemakai sebenarnya tidak
terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang membutuhkannya. Tak mungkin
setiap lebaran jumlah penduduk kita bertambah banyak. Yang meningkat adalah
kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang dalam jumlah yang tidak
biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan harga barang ini ada
dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan.
Untuk mengendalikan harga pasar, tentulah dengan cara
mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama, persediaan barang harus
ditingkatkan jumlahnya. Kejadian lebaran ini sebenarnya bukan hanya sekali dua
kali saja terjadi, melainkan berkali-kali. Setiap tahun pasti orang mengalami
lebaran. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan akan
barang tertentu. Misalnya, kalau setiap lebaran kebutuhan akan telur sekitar
3000, maka menjelang lebaran harus sudah disediakan 3000-4000 butir telur.
Kedua, soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada
manusia, maka yang perlu dikendalikan adalah manusianya. Apa yang harus
dikendalikan dari manusianya? NAFSU! Nafsu manusialah yang harus
dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia untuk membeli barang
dalam jumlah yang sangat banyak. Jika seandainya nafsu itu dapat dikendalikan
atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam jumlah yang banyak.
Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya, dapatkah manusia mengendalikan
nafsunya itu?
Seharusnya dapat. Bukankah masa lebaran adalah masa
puasa. Puasa merupakan ibadah. Bulan puasa ini umat manusia diminta untuk
mengendalikan hawa nafsunya. Dan salah satu hawa nafsu itu adalah nafsu membeli
barang dalam jumlah yang banyak. Konsekuensi logisnya adalah di masa lebaran
ini manusia mengendalikan hawa nafsunya, termasuk membeli barang dalam jumlah
yang sangat banyak, sehingga dengan demikian harga barang tidak akan naik.
Yang Bertanggung Jawab
Pertanyaan kita sekarang adalah, siapa yang
bertanggung jawab akan semuanya ini?
Untuk pengendalian unsur yang pertama, yaitu
persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah pemerintah, para
produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengatur
ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya, pemerintah
dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah yang banyak
menjelang lebaran. Dan para produsen harus menyediakan hal itu. Jika produsen
memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat mendekati lebaran, tentulah
para pedagang tidak ada niat untuk melakukan penimbunan.
Memang pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian
harga pasar ini. Namun bukan berarti kesalahan atas naiknya harga barang dalam
masa puasa ini mutlak pada pemerintah. Tak pantaslah kita menyalahkan
pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan adalah konsumen,
yang merupakan unsur kedua.
Konsumen adalah pengguna atau pemakain barang. Ia
merupakan unsur kedua yang bertanggung jawab atas kenaikan harga barang.
Konsumen juga berperan penting dalam menstabilkan harga barang. Bagaimana
caranya?
Masing-masing orang hendaknya mengendalikan hawa
nafsunya untuk membeli barang dalam jumlah sangat banyak. Sebenarnya saat puasa
(lebaran) adalah momen yang sangat tepat. Inti dari puasa adalah pengendalian
hawa nafsu, bukan keserakahan yang terlihat dari naiknya porsi makanan. Orang
selalu heran, kenapa di saat lebaran (bulan puasa) orang justru makan lebih
banyak daripada biasanya. Bukankah puasa itu mengajak orang untuk menahan diri?
Bukankah pada saat puasa (lebaran) orang hanya makan dua kali sehari?
Dengan adanya pengendalian dua unsur ini, tentulah
kejadian naiknya harga barang menjelang dan sepanjang lebaran tidak akan
terjadi lagi. Lebaran atau bukan kebutuhan orang akan barang tetaplah sama
saja. Malah seharusnya di saat lebaran kebutuhan akan barang mesti turun,
karena orang makan cuma 2 kali sehari (pagi dan malam). Semua ini bisa terjadi
jika ada kemauan politik dari unsur-unsur yang berkaitan dengan kenaikan harga
tadi.
Komentar
Posting Komentar