TERNYATA IMAN BISA DIBELI DENGAN UANG
Tulisan ini jauh dari niat untuk
menjelek-jelekkan agama tertentu. Ini hanyalah ungkapan keprihatinan pada suatu
peristiwa. Dari keprihatinan ini lahirlah sebuah refleksi. Refleksi adalah
ibarat bercermin. Siapa saja bisa bercermin pada kaca yang sama, karena yang
dilihat adalah diri sendiri.
Berawal dari Cerita
Minggu, 19 Maret 2017, pukul 17.45 WIB.
Baru beberapa detik meninggalkan rumah umat menuju mobil, yang diparkir di
pinggir jalan depan rumah, saya kembali dipanggil. Kebetulan ada seorang ibu,
tetangga depan rumah, datang. Setelah tiba di hadapan mereka, mulailah mereka
bercerita. Ada kemarahan, kejengkelan dan juga kecemasan dalam cerita mereka.
Inti dari cerita mereka adalah: tentang
satu keluarga yang belum lama ini masuk islam. Isterinya orang Maumere dan
suaminya dari Kupang. Dua-duanya awalnya katolik. Mereka menikah sekitar bulan
Oktober lalu, diberkati oleh pastor paroki. Namun kini mereka sekeluarga (dua
anak) sudah masuk islam. Karena menjadi mualaf, mereka selalu mendapat uang
(entah dari mana dan dari siapa). Kepada salah satu ibu, yang bercerita itu,
dikatakan oleh isteri mualaf itu, bahwa enak jadi islam karena dapat duit
gratis.
Mendengar cerita tersebut, saya langsung
teringat akan rumor tentang dana mualaf dari Pemda Kabupaten Bangka Tengah.
Dana mualaf adalah dana yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir yang
memutuskan menjadi islam. Konon katanya, setelah selesai masa kampanye pilkada
lalu, di akhir Januari, Bupati Bangka Tengah, yang adalah juga kandidat
Gubernur Babel waktu itu, akhirnya mengesahkan dana mualaf itu. Artinya, dana
mualaf itu memang ada. Cerita dua ibu di atas seakan membenarkan keberadaan
dana mualaf itu.
Setelah tiba di pastoran, saya langsung
menuju kamar makan. Waktu menunjukkan saatnya untuk makan malam. Saya makan
malam hanya ditemani oleh bapak, yang sehari-harinya mengurus taman dan gereja.
Sambil makan saya mendengarkan cerita bapak itu, dan ceritanya sama seperti
cerita dua ibu di atas. Obyek ceritanya sama. Ada kemarahan, kejengkelan dan
juga kecemasan dalam ceritanya.
Saya dapat merasakan kesedihan dan
keprihatinan mereka atas peristiwa itu. Kepada mereka saya juga mengungkapkan
keprihatinan dan duka saya. Bagi saya umat katolik Paroki Koba sedang mendapat
ujian. Saya mengajak mereka untuk tetap setia dalam iman yang dikuatkan melalui
doa. Sambil berdoa, serahkanlah semua ini kepada Allah. Umat tidak perlu marah
kepada siapapun, termasuk keluarga mualaf itu. Juga tak perlu merasa malu. Saya
sampaikan bahwa yang harus malu adalah umat islam, karena ternyata iman bisa
dibeli dengan rupiah.
Iman dalam Lembaran Rupiah
Iman selalu dikaitkan dengan agama. Iman
adalah kebenaran, karena ia adalah “dasar dari segala sesuatu yang kita
harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11: 1).
Orang mengimani suatu agama karena menemukan kebenaran dalam agama itu.
Sebagai contoh, kita sebutkan beberapa
tokoh. Mereka menemukan sebuah kebenaran pada satu agama sehingga akhirnya
memeluknya. Guru besar sejarah islam dari Universitas Al Azhar Mesir yang
awalnya muslim tapi akhirnya menjadi kristen. Gulshan Esther, seorang muslimah
Pakistan, yang akhirnya masuk kristen setelah menemukan kebenaran dalam Yesus
Kristus. Di Indonesia kita kenal Saifuddin Ibrahim, seorang ahli Alquran di NII
Al-Zaytun Panji Gumilang, Indramayu.
Tiga tokoh di atas menjadi kristen bukan
lantaran lembaran uang (ekonomi) melainkan karena mereka menemukan kebenaran
dalam Yesus Kristus. Justru secara ekonomi mereka mengalami kerugian dan
penderitaan. Malah bisa dikatakan bahwa pada awal menjadi kristen hidup mereka
menderita: kekurangan duit, kehilangan pekerjaan, dihina, malah mau dibunuh.
Hal ini sesuai dengan sabda Yesus (Mat 5: 11 – 12, Luk 21: 12, Mrk 8: 34).
Namun, sekalipun menderita, mereka tetap berimankan pada Yesus Kristus. Ada
kebenaran dalam Alkitab dan kekristenan.
Dari kisah keluarga mualaf di atas,
terlihat jelas betapa murahnya harga sebuah iman. Mereka menjadi islam karena
ingin dapatkan uang (dan fasilitas ekonomi). Ternyata iman bisa dibeli dengan
uang. Keluarga itu tidak sadar bahwa dengan menjadi islam mereka sudah “diikat”
dengan aturan untuk tidak boleh keluar dari islam (kembali ke iman semula).
Murtad dari islam dan kembali ke agama semula berarti masuk neraka (QS
Al-Baqarah: 217), sebuah pernyataan arogan yang seolah-olah hanya islam yang
menawarkan sorga. Selain itu, ancaman kehilangan nyawa siap menanti jika
memutuskan untuk meninggalkan islam. Sebab ada ketentuan bahwa mereka yang
murtad boleh dibunuh. Darah mereka halal; malah yang membunuh mendapatkan
pahala (HS Al-Bukhari).
Seperti yang saya katakan di atas, bahwa
yang malu atas peristiwa ini seharusnya adalah umat islam. Perasaan ini muncul
jika memang peristiwa ini tidak sesuai dengan ajaran islam. Namun, jika
peristiwa ini sudah sesuai dengan ajaran islam, pastilah umat islam tak perlu
merasa malu. Malah adalah suatu kebanggaan dapat menjual iman dengan uang; atau
dengan kata lain, dapat mengajak umat agama lain untuk menjual imannya dan
membeli iman islam dengan duit.
Satu kesimpulan sementara yang dapat
diambil adalah bahwa islam adalah agama murahan. Makna murahan di sini tidak
hanya sebatas ekonomi saja, melainkan soal mudah dan gampangnya. Ada banyak hal
yang menunjukkan premis tersebut.
Banyak pria akhirnya memutuskan masuk
islam karena dengannya dia bisa mempunyai isteri banyak atau juga bisa
bercerai. Jadi, orang menjadi mualaf supaya dapat menikahi beberapa wanita
(Alquran menyebut angka 4, namun kalau mau mengikuti teladan nabi Muhammad,
bisa lebih dari empat). Selain itu, orang memeluk islam supaya bisa bercerai
dan menikah lagi dengan yang lain jika sudah bosan dengan isteri/suaminya.
Ada cara mudah untuk masuk sorga. Dulu ada
seorang ulama mengkritisi soal jihad karena murahnya harga sorga. Memang dengan
mati sahid dalam jihad, membuat orang cepat masuk sorga. Namun untuk ke sananya
butuh keberanian dan tantangan dan perjuangan; itu tidaklah mudah. Ada cara
yang jauh lebih mudah, yaitu dengan mengislamkan orang kafir. HS Al-Thabrani
menyebutkan sabda nabi Muhammad bahwa orang yang berhasil mengislamkan orang
kafir pasti masuk sorga. Bukan tidak mungkin, semangat ini ada di balik
peristiwa keluarga mualaf di atas.
Sering dijumpai slogan berikut ini: “Jika
bisa lebih mudah, kenapa dipersulit.” Slogan ini biasa dikaitkan dengan cara
masuk islam. Makanya lahir slogan lain: “Islam itu mudah.” Slogan ini didasari
pada HS Al-Bukhari. Aplikasi slogan “Islam itu mudah” ini didasarkan bahwa
memang masuk islam itu sangat mudah. Cukup dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat, orang sudah resmi menjadi islam. Begitu mudahnya.
Akhir Kata....
Sering saya jumpai iklan-iklan mini di
pinggir-pinggir jalan. Ukurannya tak lebih dari 30 cm x 15 cm. Hanya selembar
kertas yang ditempel pada kertas karton tebal atau tripleks lalu dipaku pada batang-batang
pohon di pinggiran jalan. Bunyi iklannya: “Butuh dana cepat dengan jaminan
BPKB? Hubungi: 08138764****”.
Membaca iklan ini, pikiran saya langsung
ke peristiwa keluarga mualaf dan juga rumor dana mualaf. Dari sini lahirlah
iklan: “Butuh uang cepat dengan jaminan masuk sorga? Jadilah islam.”
Komentar
Posting Komentar