REFLEKSI ATAS BUKU SEJARAH TEROR
CUKUP menarik kalau kita membaca buku “SEJARAH TEROR: Jalan Panjang Menuju 11/9”. Buku ini ditulis Lawrence Wright dengan mewawancarai langsung pelaku-pelaku sejarah tersebut, baik dari pihak teroris, Arab maupun Amerika. Ada lebih dari 500 narasumber yang diwawancarai. Karena itu benar apa yang dikatakan The Wall Street Journal bahwa buku ini “Didasari riset yang mendalam...”.
Membaca buku ini, kita akan dicengangkan betapa ajaran islam dijadikan dasar tindak terorisme. Di banyak halaman buku ini diungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan berdasarkan ajaran Al-Qur’an. Lawrence Wright menulis bahwa para tokoh sentral teroris ini adalah juga orang yang teguh berpegang pada agamanya. Mereka mengaku sebagai islami, karena menerapkan ajaran islam. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Osama bin Laden merupakan prototipe Muhammad. Karena itulah, menjadi pertanyaan kita: bagaimana bisa seseorang yang religius sekaligus juga teroris. Tapi itulah yang terjadi.
Dengan dasar Al-Qur’an
itu, para teroris ini bukan saja menebarkan ketakutan, melainkan juga
permusuhan kepada Barat (termasuk Amerika). Padahal Amerika tak pernah
menganggap islam sebagai musuh. Buktinya ketika al-Qaeda sudah merencanakan
aksinya menyerang Amerika, pihak Amerika sama sekali tidak punya pikiran jahat
terhadap mereka. Amerika tidak menganggap al-Qaeda sebagai musuh, kecuali pasca
11 September.
Selain Amerika, ada dua
lagi sasaran kebencian kaum muslim, yaitu kristen dan Yahudi. Sebenarnya
sasarannya hanya dua, yaitu Yahudi dan kristen. Barat/Amerika dimusuhi karena
dilihat sebagai pusat kekristenan. Kristen dan Yahudi sebagai sasaran menjadi
mendasar karena keduanya terdapat di dalam Al-Qur’an. Selain terdapat dalam
Al-Qur’an, kedua sasaran tadi juga masih dikaitkan dengan sejarah Perang Salib.
Di sini terlihat jelas bahwa kaum muslim belum bisa berdamai dengan sejarah
masa lalu.
Islam Agama Damai?
Selama ini umat islam selalu
mengklaim bahwa agama islam adalah agama damai. Terkenal dengan
istilahnya rahmatan lil alamin, agama membawa rahmat dan damai.
Akan tetapi, membaca buku ini dan ditunjang beberapa fakta-fakta yang ada sudah
sepantasnya klaim tersebut perlu dipertanyakan.
Untuk membela diri,
seringkali orang mengatakan bahwa aksi teroris itu bukanlah ajaran islam yang
sebenarnya. Tentu pernyataan ini sangat kontradiksi mengingat para pelaku
teroris mendasarkan tindakannya pada ajaran islam. Justru kelompok islam radikal
ini menilai kelompok lain melanggar ajaran islam atau tidak setia pada ajaran
islam. Pertanyaannya: yang mana ajaran islam yang sebenarnya?
Sekalipun kelompok non
radikal (baca: islam moderat) menilai bahwa kelompok radikal itu salah atau
keliru, namun jarang terdengar kecaman terhadap mereka (kecuali ketika muncul
peristiwa memalukan). Kebanyakan mereka memilih diam. Kita bisa lihat contohnya
di Indonesia. Inilah yang menjadi alasan kenapa teroris dapat merasa aman di
Indonesia. Umat muslim Indonesia menerima mereka secara pasif. Aksi pasif ini
membuat mereka bisa “cuci tangan” bila sang teroris tertangkap, namun secara
tersembunyi mereka mendukung tindakan teroris itu. Malah ada kelompok
membelanya; dan kelompok ini dibiarkan.
Karena itu, tentang
pernyataan “islam agama damai” kita dapat membuat satu kesimpulan. Islam
sebagai agama damai dapat terjadi jika orang tidak melaksanakan ajaran islam
secara setia, namun jika orang melakukan ajaran islam maka islam itu sebagai
agama kekerasan yang menakutkan.
Islam Agama Toleran?
Toleransi itu
mengandaikan adanya perbedaan. Toleransi bisa terwujud bila ada semangat saling
menghargai dan menghormati perbedaan. Dengan menghargai dan menghormati itu,
orang tetap akan melihat sesama yang berbeda itu sebagai teman, bukan musuh
atau ancaman yang harus dimusnahkan. Jadi, dalam toleransi itu perbedaan tetap
ada dan tidak dipaksakan supaya menjadi satu dan sama. Tanpa ada perbedaan maka
tidak akan ada toleransi. Adakah toleransi dalam islam?
Selain mengklaim sebagai
agama damai, umat islam juga mengatakan bahwa agama islam itu agama yang
toleran. Akan tetapi, sekali lagi, setelah membaca buku ini dan ditunjang
beberapa fakta-fakta yang ada, klaim tersebut sangat meragukan. Satu alasan
meragukan klaim itu adalah tidak adanya sikap menghargai dan menghormati
perbedaan. Yang ada adalah pemaksaan kehendak.
Pemaksaan kehendak
terlihat dalam sikap para teroris, yang mengaku sebagai orang yang islami
(melaksanakan ajaran islam dengan benar dan setia). Mereka ingin agar Arab itu
hanya punya satu agama saja. Ini didasarkan pada ucapan Nabi Muhammad sendiri,
“Jangan sampai ada dua agama di Arab.” Karena itu, orang asing yang non islam
wajib diusir. Mereka dilihat sebagai musuh dan acaman bagi islam.
Karena itu, kasus
intoleransi banyak ditemui di negara-negara yang penduduknya mayoritas islam.
Indonesia salah satu contohnya. Ada banyak kasus ketidakadilan yang diterima
oleh kelompok minoritas seperti kristen, syiah, ahmadiyah, dll. Umat islam
selalu melihat bahwa kelompok-kelompok minoritas ini sebagai sebuah ancaman
bagi islam. Karena itu, kelompok minoritas ini selalu ditekan dan ditindas.
Hanya Tuhan yang Tahu
Salah satu daya tarik
orang menjadi teroris adalah konsep mati syahid. Kelompok teroris menawarkan
masuk surga bagi mereka yang berjuang di jalan Tuhan dan membela agama Tuhan.
Gambaran surganya pun sangat memikat. Karena itu, orang pun berbondong-bondong
menyerahkan diri, bahkan untuk menjadi senjata mematikan dalam aksi bom bunuh
diri. Atas aksi mereka ini, belum ada institusi islam yang berani menyatakan
bahwa mereka itu masuk neraka, bukannya surga.
Kebanyakan orang
menyatakan tindakan teroris itu salah karena dilihat dari kacamata hukum
positif. Tapi, kalau dilihat dari hukum islam, mereka itu benar, malah layak
masuk surga. Bagaimana yang sebenarnya? Hanya Tuhan saja yang tahu.
Sebenarnya,
de-radikalisasi kelompok islam garis keras bisa dilakukan oleh institusi islam
(untuk Indonesia misalnya MUI) dengan mengeluarkan fatwa haram bagi teroris,
bagi aksi bunuh diri serta larangan menguburkan secara islami bagi para
pelakunya. Dan ini jangan hanya berlaku di satu tempat, melainkan di semua
negara. Dengan ini maka akan muncul islam sebagai agama damai.
Standar Ganda Dunia
Islam
Ada semacam “standar
ganda” dalam sikap terhadap kelompok islam garis keras ini, khususnya di
Indonesia. Ketika ada umat islam “tertindas”, maka akan muncul aksi demo. Tak
jarang aksi demo diikuti dengan aksi anarki yang ditujukan kepada obyek
simbolis. Misalnya, ketika Amerika menyerang salah satu negara islam, tak
jarang warga Amerika yang sedang berlibur atau obyek-obyek yang berbau Amerika
(KFC, misalnya) menjadi sasaran amuk massa. Atau ketika terjadi penindasan atas
umat islam Rohingya, tiba-tiba seorang biksu di Jawa Timur diserang sebagai
aksi balasan. Namun jika penindasan itu dilakukan oleh umat islam sendiri,
tidak ada aksi demo menentang. Belum pernah muncul aksi demo atau kecaman
menentang Taliban yang melakukan aksi terhadap umat islam sendiri.
Contoh lain, ketika
Sultan Bolkiah mengumumkan pemberlakukan hukum islam di Brunei, dimana hukum
itu tidak hanya berlaku bagi umat islam saja, melainkan juga yang non islam,
adakah protes dari kelompok islam? Protes hanya muncul dari kelompok hak azasi
manusia. Ini membuktikan bahwa Sultan melaksanakan ajaran islam, sekalipun
untuk itu membuat islam terlihat sebagai agama yang intoleran.
Satu hal yang menarik
adalah bahwa ternyata kekerasan tak bisa dipisahkan dari budaya Arab Saudi. Dan
selama ini orang menilai bahwa Islam tak bisa dilepaskan dari Arab. Karena itu
ada pendapat bahwa islamisasi itu identik dengan arabisasi. Menerima agama
islam selalu disertai juga dengan penerimaan budaya Arab. Salah satunya adalah
kekerasannya. Maka dari itu kita bisa maklum kenapa Indonesia, yang dulu
dikenal sebagai bangsa yang ramah berubah menjadi beringas. Ini bisa dilihat
pada kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI, HTI, dll. Hal ini
disebabkan karena mereka tidak hanya menerima agamanya saja melainkan juga
budayanya juga.
Komentar
Posting Komentar