TERNYATA BAKSO JUGA HARAM
TERKAIT dengan produk makanan, hanya agama islam yang sibuk dengan sertifikasi halal. Semua produk makanan yang bersifat publik harus melalui proses untuk mendapatkan sertifikasi halal. Selalu dikatakan bahwa hal ini bertujuan untuk melindungi umat islam. Secara sederhana dapat dikatakan adalah tugas dan tanggung jawab otoritas islam untuk melihat apakah produk makanan yang ada memenuhi standar islam terkait kehalalannya atau tidak. Kehalalan suatu produk makanan selalu dikaitkan dan dikonfrontasikan dengan keharamannya. Artinya, produk makanan yang tidak mendapat sertifikasi halal bisa dikatakan bahwa produk itu haram bagi umat islam.
Apa yang membuat suatu produk dinyatakan halal atau haram? Setidaknya ada
dua hal pokok yang menentukan kehalalan suatu produk, yaitu bahan dan cara
pengolahannya. Bahan-bahan yang terkandung dalam produk makanan haruslah bebas
dari bahan yang diharamkan dalam agama islam. Misalnya seperti babi. Cara
pengolahannya pun harus memenuhi standar islam. Misalnya cara memotong ayam,
kambing atau sapi. Sekalipun bahannya halal (misalnya ayam) namun cara
memotongnya tidak sesuai standar islam, maka produk itu bisa dinyatakan tidak
halal alias haram.
Akan tetapi, ternyata kehalalan suatu produk makanan tidak hanya ditentukan
oleh bahan dan cara pengolahannya saja, melainkan juga NAMA-nya. Dalam acara
Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, yang dipandu oleh Sofie Sarief, Direktur
Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah, menyatakan bahwa nama suatu
produk bisa menentukan kehalalan suatu produk makanan (cuplikan acaranya dapat
ditonton di sini). Nama produk makanan yang mengarah kepada kekufuran dan
kebatilan dapat menyebabkan produk tersebut tidak akan diberi sertifikasi
halal. Dengan kata lain, produk tersebut haram bagi umat muslim.
Bapak Ikhsan Abdullah memberi contoh RAWON SETAN. Dikatakan bahwa rawon
setan tidak akan dikeluarkan sertifikasi halal, sekalipun hal tersebut
hanya sekedar gimmick marketing. Untuk mendapatkan sertifikasi
halal, maka tidak boleh menggunakan nama-nama yang berkaitan dengan rawon
setan, tahu kuntilanak. Meski bahan dan cara pengolahannya sudah sesuai dengan
ajaran islam, tetap saja tidak akan mendapat sertifikasi halal, alias produk
tersebut haram. Bagi Bapak Ikhsan Abdullah kalau mau diberi label halal (atau
kalau mau tidak dikatakan haram), haruslah ikut kemauan islam, bukan pasar.
Logika Bapak Ikhsan Abdullah ini, memaksakan kehendak atau ajaran agamanya jadi
tolok ukur, sudah lazim dalam dunia islam. Terbukti hingga kini tidak ada ralat
dari otoritas islam Indonesia, yaitu Mejelis Ulama Indonesia (MUI).
Jadi, kehalalan suatu produk makanan dalam islam tidak lagi hanya
ditentukan oleh bahan dan cara pengolahannya saja, tetapi juga namanya. Rawon
setan dinyatakan haram bagi umat islam, atau tidak diberi sertifikasi halal,
lantaran ada kata “setan”. Meski nama itu hanya sekedar daya tarik konsumen,
namun jika nama itu terkait dengan hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan
kebatilan, maka produk tersebut dianggap haram, khususnya bagi umat islam.
Berangkat dari sini, dan dengan menggunakan logika berpikir Bapak Ikhsan
Abdullah, bahwa nama bisa menentukan halal – haramnya sebuah produk, maka BAKSO
juga seharusnya tidak boleh diberi sertifikasi halal. Dengan kata lain, bakso
harus dinyatakan haram bagi umat islam, sekalipun bahan dan cara pengolahannya
sudah memenuhi standar islam. Alasannya karena kata ‘bakso’ aslinya berasal
dari bahasa Cina, dari kata Bak, yang berarti daging babi, dan So, yang
berarti kuah. Karena itu, arti asli bakso adalah kuah dengan daging babi atau
daging babi berkuah. Dalam islam babi merupakan sesuatu yang jelas-jelas haram.
Komentar
Posting Komentar