PASAL PENGHINAAN AGAMA DLM RKUHP MENURUT ISLAM
Tujuan dasar diadakannya hukum atau undang-undang adalah supaya kehidupan masyarakat teratur sehingga tercapailah kehidupan yang harmonis. Di tengah masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia ini, tentulah keberadaan hukum atau perundang-undangan yang selaras dengan tujuan dasar itu sangat dibutuhkan. Dengan produk undang-undang tersebut masyarakat akan dapat saling menghormati dan menghargai. Tentulah segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan hal tersebut akan mendapat sanksi hukum.
Demikianlah dengan kehadiran Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Seyogiyanya, produk hukum ini akan
mengganti produk hukum yang berasal dari pemerintahan Belanda. Dapat dikatakan
bahwa produk hukum pidana yang akan dihasilkan ini merupakan hasil karya anak
bangsa. Dengan kata lain, kitab hukum pidana ini lahir dari pemikiran anak
bangsa yang didasarkan pada situasi konkret bangsa Indonesia.
Satu poin yang dibahas dalam RKUHP ini adalah soal
PENGHINAAN AGAMA. Sebagaimana diketahui, saat ini bangsa Indonesia mengakui
adanya 7 agama resmi, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha,
Hindu, Konghucu dan Aliran Kepercayaan. Dapatlah dipastikan pasal penghinaan
agama ini hendak mengatur masyarakat beragama untuk saling menghormati dan
menghargai sehingga terciptalah kerukunan dan kedamaian, seklipun sebenarnya
agama sudah mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan menghargai..
Akan tetapi, benarkah pasal-pasal yang membahas
penghinaan agama sudah sesuai dengan harapan?
Pasal penghinaan agama dalam RKUHP terdapat dalam Bab
VII “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”. Bab ini terdiri dari
8 pasal (pasal 341 – 348). Dari 8 pasal tersebut setidaknya ada 3 pasal yang
sedikit bermasalah dalam penerapannya. Pasal-pasal itu adalah Pasal 341, 343
dan 346 ayat 2. Mari kita tinjau satu per satu.
Pasal 341 berbunyi “Setiap orang yang di muka umum menyatakan perasaan atau melakukan
perbuatan yang bersifat penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak kategori III.”
Pasal ini akan menemukan masalahnya dengan umat
islam pada umumnya, khususnya para pemuka agama islam. Akan ada pertentangan
antara melaksanakan aqidah islam dengan hukum pidana ini. Sebagaimana
diketahui, setiap pemuka agama, yang memiliki peran untuk mengajar, terpanggil
untuk mewartakan ajaran agamanya. Nah, tentulah aturan hukum pidana
ini akan membatasi ruang gerak ulama, ustad, dai dalam mewartakan ajaran islam
karena dapat dijerat dengan pasal ini. Alasannya karena ada beberapa ajaran
islam yang menyinggung agama lain, yang dalam sudut pandang tertentu dapat
dinilai sebagai bentuk penghinaan agama.
Sebagai contoh, ketika membahas surah 4: 157,
dimana dikatakan bahwa yang mati di kayu salib itu bukan Yesus tetapi orang
yang menyerupai Yesus, bisa saja orang mengatakan bahwa orang kristiani sudah
dibohongi kitab suci. Dan bukan tidak mungkin orang mencari pembenaran akan
kebohongan itu dengan mengutip wahyu Allah dalam QS 5: 41; QS 7:
157 dan QS 2: 75 yang menyatakan bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Akankah
orang dipidana jika ia menyampaikannya di depan publik? Pemidanaan akan dapat
dilihat sebagai kriminalisasi ulama atau agama. Mana mungkin orang dilarang
menyampaikan ajaran agamanya kepada umatnya sendiri.
Kasus sama dapat dilihat pada kasus Ustad Abdul Somad
(UAS), hanya kasus UAS tak dapat dipidana karena ia menyampaikan aqidah islam
secara tertutup. Namun satu hal yang pasti, bisa saja orang menyampaikan aqidah
tersebut di hadapan banyak orang secara terbuka. Dasar ajarannya ada pada HS Muslim
24: 5250. Nah, akankah orang dipidana jika ia menyampaikannya di
depan publik, padahal penyampaian itu merupakan wujud melaksanakan ajaran
agamanya? Pemidanaan akan dapat dilihat sebagai kriminalisasi ulama atau agama.
Mana mungkin orang dilarang menyampaikan ajaran agamanya kepada umatnya
sendiri.
Ini baru dua contoh. Masih ada banyak lagi ajaran
islam yang bersentuhan dengan agama lain, yang dalam kacamata tertentu dapat
dinilai sebagai bentuk penghinaan agama. Akankah orang dipidana atau dihukum
lantaran mewartakan ajaran agamanya kepada umatnya sendiri, padahal setiap
orang beragama terpanggil untuk mewartakan ajaran agamanya itu.
Selain itu, bisa saja pelaku dan korbannya berasal
dari agama islam sendiri. Misalnya, seorang muslim mengatakan kepada sesama
islam yang mengenakan cincin emas atau pakaian warna kuning sebagai islam
abal-abal. Pelaku mendasarkan pernyataannya pada Hadis Sahih Muslim. Bisa saja
yang dikatakan abal-abal itu merasa tersinggung. Tapi apakah kasus ini dapat
dipidana, padahal yang menyatakan itu sebenarnya hendak mengingatkan rekan
islamnya akan aqidah islam. Atau, seorang muslimah (mungkin dari islam
Safi’i atau Hanbali) dapat saja menghina muslimah lain (dari aliran
Hanafi, misalnya) yang pakai jilbab tapi masih menampakkan wajah, apalagi
rambut. Contoh paling tampak adalah kasus ketika NU memproklamirkan Islam
Nusantara. Tak sedikit umat islam lainnya mencibir, bahkan menghina. Nah,
apakah mereka-mereka ini dapat dipidana?
Pasal 343 berbunyi “Setiap orang yang di muka umum mengejek, menodai, atau
merendahkan agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah
keagamaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV.”
Sama seperti pasal 341, pasal ini juga akan menemukan
masalahnya dengan tokoh agama islam. Akan ada pertentangan antara melaksanakan
aqidah islam dengan hukum pidana ini. Pasal ini akan membatasir uang gerak
ulama, ustad, dai dalam menyampaikan ajaran islam karena dapat kena sanksi
pidana. Jadi, sekali lagi pasal ini bermasalah dengan agama islam, karena
ajaran islam banyak bersentuhan dengan agama lain.
Sebagai contoh, seperti yang sudah dikutip di atas,
dapat saja pengajar agama islam (kyai, ulama, ustad, daidan guru agama)
mengatakan secara terbuka kepada umat islam bahwa kitab suci orang Kristen
sudah dipalsukan. Untuk mendukung argumen ini bisa saja ia akan mengutip wahyu
Allah dalam Alquran. Bagi umat islam, Alquran itu kebenaran yang meyakinkan (QS 69:
51), karena ia berasal langsung dari Allah (QS 32: 2 dan QS 39: 1 –
2, 41). Nah, akankah orang yang menyampaikan bahwa Alkitab
sudah dipalsukan dipidana dengan pasal ini, walau dia sedang mewartakan ajaran
agamanya.
Contoh lain adalah soal istilah kafir.
Perlu diketahui bahwa kata ‘kafir’ merupakan bentuk
penghinaan. Apakah salah jika umat islam mengatakan “kafir” kepada
orang Kristen, baik itu katolik maupun protestan. Umat islam mengatakan orang
Kristen sebagai “kafir” karena didasarkan pada ajaran agama
islam yang terdapat dalam surah al-Maidah: 17, 72 dan 73.
Dengan kata lain, dengan mengatakan orang Kristen itu “kafir” secara
tidak langsung umat islam telah melaksanakan ajaran agamanya atau aqidah islam.
Akan tetapi, hal ini berarti menyinggung ajaran agama Kristen, yang justru
menyebabkan mereka dikatakan “kafir”. Akankah orang dipidana
atau dihukum lantaran menjalankan ajaran agamanya?
Pasal 346 (2) berbunyi “Setiap orang yang membuat gaduh di dekat bangunan tempat untuk
menjalankan ibadah pada waktu ibadah sedang berlangsung, dipidana dengan pidana
denda paling banyak kategori II.”
Lagi-lagi, pasal ini akan bersentuhan dengan umat
agama islam. Dan hal ini sudah terjadi sekian lama, namun akan menjadi
tantangan dalam menerapkan pasal ini. Artinya, kegaduhan di dekat rumah ibadah,
dimana orang sedang beribadah, sudah lama dan sering terjadi.
Secara sederhana, hal ini dapat dilihat pada TOA
masjid. Ini sekedar contoh pengalaman hari raya Idul Adha, yang tahun ini jatuh
pada hari Minggu. Di saat umat kristiani sedang beribadah, pengurus masjid
menyampaikan pengumuman soal pembagian korban melalui pengeras suara (TOA).
Belum lagi soal suara adzan pada sekitar pukul 18.00 (saat shalat maghrib) dan
19.00 (saat shalat isya), dimana ada beberapa umat katolik merayakan misa hari
Minggu pada waktu-waktu tersebut. Atau sudah menjadi tradisi Gereja Katolik,
ibadah Jumat Agung dirayakan pada pukul 15.00, yang mau tak mau akan terganggu
dengan kumandang adzan shalat dzuhur. Sungguh suara yang keluar dari TOA itu
amat sangat menggangu kenyamanan dan ketenangan dalam beribadah umat agama
lain.
Akankah suara TOA itu dipidana karena melanggar pasal
346 ayat 2? Tentu kita ingat kasus ibu Meiliana di Tanjung Balai Asahan, yang
meminta agar volume suara TOA diperkecil, namun malah dipidana telah menghina
agama islam. Dapat dipastikan bahwa umat agama lain akan segan melapor karena
malah justru akan dipidana menghina agama islam.
DEMIKIANLAH persoalan 3 pasal penghinaan agama, yang
dalam praktek akan dapat menemukan kendala. Salah satu kendalanya adalah
pemidanaan pelaku penghina agama, yang sebenarnya sedang menjalankan ajaran
agamanya, dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan agama. Dengan kata lain,
hukum pidana akan dipidana oleh karena hukumnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar