TERORISME: KAMI SUDAH MUAK
Terorisme tak bisa dipisahkan dari islam. Inilah kesan yang selalu muncul ketika muncul aksi
teror. Kalau tindakan tersebut dilakukan pihak lain, orang punya istilah lain.
Misalnya, aksi penembakan para pekerja jalan trans Papua bukan dilakukan oleh
para teroris melainkan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau biasa juga
disebut organisasi Papua merdeka (OPM).
Apakah ini suatu ketidak-adilan diksi? Di satu sini
dapat dikatakan memang demikian, namun di sisi lain tidaklah demikian karena
ada pembedanya.
Kelompok kriminal bersenjata, tak terkecuali di Papua saja, melakukan aksinya
atas dasar kepentingan politik atau ekonomi, sedangkan terorisme mendasarkan
perbuatannya pada ajaran agama (silahkan baca Agama sebagai Roh Terorisme).
Akan tetapi, setiap kali muncul aksi terorisme selalu
saja muncul aksi dari kelompok umat islam yang menyatakan bahwa aksi teror
tersebut bukanlah islam.
Mereka selalu mengatakan bahwa islam itu agama damai, bahwa islam itu indah
atau islam itu rahmatan lil alamin.
Aksi-aksi ini seakan mau membangun opini dalam benak umat non muslim bahwa
pelaku teror itu bukan umat islam. Di samping itu, dengan aksi-aksi ini, umat
non muslim diajak untuk tidak merasa takut menghadapi terorisme. Maklum, ketakutan
merupakan salah satu tujuan utama aksi teror, karena orang yang takut akan
mudah dikendalikan.
Kiranya aksi-aksi ini senantiasa mewarnai kehidupan
masyarakat seusai peristiwa terorisme. Warga non muslim seakan disuguhkan
dengan buaian-buaian indah tentang islam sehingga melupakan sisi buruk dari
islam. karena itulah, sudah saatnya kita harus jujur mengatakan bahwa kita
sudah muak dengan aksi terorisme.
Ada
dua kemungkinan penyebab munculnya rasa muak ini. Pertama, kita
muak dengan segala bentuk terorisme yang ada di negeri ini. Warga ingin hidup
tenang. Karena itu, warga tak puas hanya sekedar slogan kami tidak takut. Karena
sudah muak, warga ingin “berperang” melawan terorisme.
Kedua, warga
benar-benar sudah muak dengan buaian-buaian
kelompok islam, yang seolah-olah mencari pembenaran.
Pernyataan-pernyataan yang membuat muak warga sudah lazim muncul setiap kali
ada aksi teror, bukan hanya di Indonesia saja melainkan juga di belahan dunia
lainnya. Pernyataan-pernyataan itu nadanya kurang lebih seperti “Terorisme itu
bukan islam”, “Terorisme itu bertentangan dengan islam”, “Islam tidak
mengajarkan kekerasan”, “Islam agama damai dan toleran”, dll. Masih banyak
pernyataan senada yang dilontarkan. Intinya, dengan pernyataan tersebut
seolah-olah islam mau cuci tangan atas darah yang ditimbulkan dari aksi teror.
Mengapa
warga muak dengan pernyataan-pernyataan tersebut? Yang jelas,
pernyataan-pernyataan yang selalu muncul setiap ada aksi teror sebagai bentuk
pembelaan diri tersebut, membuat warga binggung. Jelas-jelas bahwa pelaku teror
itu beragama islam (terlihat dari nama dan juga atribut yang dipakainya), masih
juga dikatakan “Terorisme itu bukan islam”, dan “Terorisme itu bertentangan
dengan islam”. Di sini terkesan bahwa para tokoh yang membuat pernyataan
tersebut seolah-olah membodohi dan membohongi warga.
Belum
lagi jika dikaitkan dengan dasar dari gerakan terorisme ini, yang ada dalam
Al-Qur’an. Ada banyak warga yang tidak melek Al-Qur’an, sekalipun dia bukan
islam. Setidak-tidaknya, dia membaca dari beberapa literatur atau media. Sudah
jamak ditemui pernyataan para teroris bahwa mereka adalah islam sejati karena
melaksanakan perintah Allah dalam Al-Qur’an. Warga juga sudah tak asing lagi
dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an, yang biasa dijadikan pendasaran aksi
terorisme. Karena itulah, ketika mendengar pernyataan beberapa tokoh agama
bahwa “Terorisme itu bukan islam”, atau “Islam tidak mengajarkan kekerasan”,
warga bertanya apakah Al-Qur’an itu bukan sumber islam.
Tentulah
di sini terdapat dua perbedaan pendapat terkait teks Al-Qur’an. Tafsiran kaum
teroris berbeda dengan tafsiran sebagian besar tokoh agama islam. Masing-masing
saling menegasikan pendapat lawan dan menyatakan pendapatnya yang benar.
Bagaimana hal ini disikapi?
Tentu
kita masih ingat pernyataan Tuah Aulia
Fuadli, seorang mahasiswa tingkat lima Jurusan Ahwal Al Syakhshiyah
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara pada sekitar
September 2015 di akun facebook-nya,
yang membuat dirinya dikeluarkan dari kampus. Fuadli menulis begini:
“Penafsir tunggal itu hanya rasul dan itu pun satu.
Sekarang ia sudah mati jd penafsir tunggal ga ada lg. ....”
Pernyataan
Fuadli itu bukannya tanpa dasar. Sebagai seorang mahasiswa universitas islam,
tentulah dia sudah tak asing dengan Al-Qur’an. Dan bukan tidak mustahil, dia
mendapatkan pendasaran pernyataannya itu pada surah An-Nisa ayat 59, yang
berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul...”
Jadi,
siapa yang benar? Inilah yang membuat warga dihadapkan pada kebingungan.
Masing-masing pihak menganggap pihaknya yang benar, sedangkan yang lain salah.
Karena itulah, warga muak.
Komentar
Posting Komentar