NILAI ORANG KAFIR DI MATA MUSLIM
Sebuah Kisah
Seorang pemuda datang menghadap pastor di sakristi usai perayaan
ekaristi. Dia meminta waktu untuk bincang-bincang. Sang gembala segera
mempersilahkannya duduk di kursi yang ada. Kemudian dimulailah pembicaraan.
Ketika merantau di Jakarta, dia bertemu dengan seorang gadis
Sunda. Dia tertarik dan lalu melamarnya. Tuntutan dari si gadis dan juga pihak
keluarga gadis adalah agar dia masuk islam dulu. Hal ini wajar, karena islam
tidak mengenal perkawinan campur. Karena didorong keinginan untuk mendapatkan
gadis itu, dia pun akhirnya mengucapkan kalimat syahadatin. Dan dia menjadi
mualaf.
Setelah sekian lama hidup di Jakarta, mereka akhirnya memutuskan
untuk kembali ke kampung halamannya. Hingga lahir anak keempat, hatinya selalu
diliputi kegelisahan. Dia tidak pernah shalat. Puasa di bulan ramadhan juga
tidak (tak jauh beda dengan istrinya). Setiap kali melihat umat katolik berdoa
atau misa di samping rumahnya, hatinya seakan bergejolak; seolah-olah ada yang
menarik-narik dirinya. Peristiwa ini terus menerus terjadi, membuat dia
berpikir “Mungkin saya harus kembali.”
Memang keluarganya, yang semuanya katolik, selalu meminta dia
untuk kembali ke katolik. Dia selalu berkelit bahwa sang isteri tak mau jadi
katolik. Karena itulah, akhirnya dia memutuskan untuk meminta pendapat dari
pastor. Dengan santai, pastor hanya menyebut dua kata saja, yaitu kembali dan
konvalidasi. Pastor menyadari bahwa kegelisahan yang dirasakan dan dialaminya
berpangkal dari penyangkalan imannya. Dia masuk islam karena dipaksa atau
terpaksa. Beriman itu harus merupakan keputusan bebas. Karena itu, Gereja
Katolik tidak akan memaksa orang masuk katolik hanya karena perkawinan atau
alasan lain selain memang keputusan pribadi yang bersangkutan.
Setelah kembali ke katolik, dia harus mengesahkan perkawinannya
dalam Gereja Katolik agar dia tidak dikenai sanksi Gereja. Pengesahan
perkawinan dalam Gereja Katolik tidak menuntut pihak non katolik harus masuk
katolik. Malah ditegaskan pastor itu bahwa salah satu tujuan pengesahan ini
adalah menyelamatkan iman pemuda itu. Jadi, setelah pengesahan itu si pemuda
bisa menghayati iman katoliknya, demikian pula si gadis menghayati iman
islamnya. Bagaimana dengan anak-anak? Semua itu diserahkan kepada keputusan
suami isteri.
Menutup pembicaraan, karena pastor harus ke stasi lain lagi untuk
merayakan ekaristi, pastor meminta kepada pemuda itu agar dia membicarakan
baik-baik persoalan ini dengan isterinya. Sang isteri harus memahami situasi
batinnya sehingga memutuskan untuk kembali ke Gereja Katolik. Dia harus
meyakinkan isterinya bahwa pengesahan ini tidak menuntut dia menjadi katolik.
Pengesahan baru dapat dilaksanakan bila ada persetujuan dari isteri.
Dua minggu kemudian dia dan isterinya datang ke pastoran untuk
bertemu dengan pastor itu. Mereka menyampaikan niat mereka untuk mengesahkan
perkawinan mereka dalam Gereja Katolik. Soal anak-anak, mereka sudah sepakat,
anak pertama tetap mengikuti ibunya, sedangkan yang lain ikut bapaknya.
Alasannya, sang isteri mau supaya kelak dia meninggal ada yang mendoakannya.
Dengan kata lain, anak pertama dipertahankan tetap islam agar bisa mendoakan
jenasah ibunya.
Doa Orang Kafir Sia-sia
Mendengar penjelasan singkat itu, pastor itu menjadi kaget. Satu
pertanyaan kecil, apakah anak-anak yang lain tak boleh mendoakan ibunya
lantaran mereka itu katolik? Kekagetan pastor itu dapat dimaklumi, karena orang
katolik boleh mendoakan siapa saja, bahkan yang tidak seiman dengannya. Dalam
rumusan Doa Syukur Agung, dapat dijumpai doa Gereja untuk saudara-saudara yang
sudah meninggal dunia, sekalipun mereka bukan katolik. Ini beberapa contoh
kutipannya:
1.
Dari Doa Syukur Agung II: “Ingatlah akan saudara-saudari kami, kaum
beriman, yang telah meninggal dengan harapan akan bangkit, dan akan semua orang
yang telah berpulang dalam kerahiman-Mu.” Di sini tidak disebut secara khusus
orang katolik, tapi semua orang beriman.
2.
Dari Doa Syukur Agung III: “Terimalah dengan rela ke dalam kerajaan-Mu,
saudara-saudari kami dan semua orang yang berkenan pada-Mu, yang telah beralih
dari dunia ini.” Di sini juga tidak disebut secara khusus orang katolik, tapi
semua orang yang berkenan pada Allah.
3.
Dari Doa Syukur Agung IV: “Ingatlah juga saudara-saudari kami yang telah
berpulang dalam damai Kristus dan semua orang yang meninggal, hanya Engkaulah
yang mengenal iman mereka.” Di sini tidak disebut secara khusus orang katolik;
semuanya diserahkan kepada Allah yang mengenal orang beriman.
Karena itu, hanya umat islam saja yang boleh mendoakan umat islam
saja menjadi sesuatu yang baru, yang jauh berbeda dengan kebiasaan Katolik.
Dalam hati kecilnya pastor itu bertanya, apakah ini pendapat pribadi atau
memang sudah menjadi ajaran islam. Karena sumber ajaran islam itu ada pada
Alquran dan Hadis, maka pastor itu memulai mencoba pencariannya.
Pastor itu mulai membaca Alquran. Akhirnya dia menemukan satu
kutipan dalam surah ar-Ra’d: “Dan do’a orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia
belaka.” (ayat 14). Pastor itu menjadi tertegun sejenak menatap teks suci itu.
Ternyata, pernyataan ibu itu, yang meminta satu anaknya untuk tetap menjadi
islam agar bisa mendoakan dirinya, bukanlah pendapat pribadi. Pernyataan itu
memang benar-benar merupakan ajaran islam, karena berdasarkan pada ayat suci
Alquran. Jadi, hanya umat islam yang dapat mendoakan umat islam, sementara yang
lain tidak boleh. Seandainya pun tetap berdoa, maka doanya itu sia-sia.
Siapa yang dimaksud orang kafir itu? Umat islam sepakat bahwa yang
bukan islam adalah kafir. Alquran jelas-jelas menyebut orang Kristen itu kafir
karena pengakuan iman mereka akan keallahan Yesus dan juga Tritunggal
Mahakudus. Karena itu, semakin jelas kalau doa-doa orang Kristen untuk
saudara-saudarinya yang muslim akan menjadi sia-sia. Tapi ini di mata umat
islam; tidaklah demikian di mata umat Katolik.
Sebuah Akhir …
Satu pertanyaan kecil, bagaimana nilai seorang kafir di mata
islam. Pertanyaan ini penting diajukan mengingat kehidupan manusia yang plural.
Dalam alam lingkungan dewasa kini, umat islam akan hidup berdampingan dengan
umat beragama lain, yang di matanya adalah kafir. Dalam hidup bermasyarakat
yang majemuk ini, perjumpaan, dialog dan komunikasi sudah tak terhindar lagi.
Umat islam mau tidak mau akan bersentuhan dengan kaum kafir. Tapi, bagaimana
nilai mereka di mata umat islam?
Dari sepenggal kisah di atas dapatlah disimpulkan bahwa orang
kafir sama sekali tidak punya nilai di mata umat islam. Doa-doa mereka sia-sia
belaka. Dan ternyata bukan hanya doa saja yang sia-sia, melainkan juga amal
kebaikan. Dikatakan bahwa amal kebaikan orang-orang musyrik (kafir) oleh Allah
dijadikan seperti debu alias sia-sia (bdk. QS al-Furqan: 23). Di mata umat
islam kaum kafir adalah penghuni neraka (bdk. QS al-Baqarah: 24 dan QS al-Maidah: 10). Dengan dasar ini, sulit membayangkan terjalinnya relasi antara
umat islam dengan umat kafir, karena mana mungkin penghuni sorga berhubungan
dengan penghuni neraka?
Jadi, nilai seorang kafir di mata kaum islam adalah sangat rendah,
hina, bahkan tak bernilai sama sekali. Penilaian ini langsung dari Allah
sendiri. Karena itu, Al-quran mengajarkan untuk memerangi orang-orang kafir
(bdk. QS at-Tahrim: 9, QS at-Taubah: 73). Alquran juga mengajarkan bahwa Allah
hendak memusnahkan orang kafir sampai ke akar-akarnya (QS an-Anfal: 7 dan 17).
Karena begitu rendah dan hinanya, maka orang-orang kafir ini boleh dibunuh (QS an-Nisa: 89).
Dengan memahami ajaran islam ini, satu pertanyaan kecil:
mungkinkah terjalin kerukunan dan toleransi dalam masyarakat? Silahkan jawab
sendiri.
Komentar
Posting Komentar