MEMAHAMI FATWA MUI TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
Dalam
Musyawarah Nasional VII, yang diadakan pada 26 – 29 Juli 2005, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang perkawinan beda agama. Keputusan,
yang dituangkan dalam fatwa no. 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 (teks lengkapnya dapat
dibaca di sini) itu, ditetapkan di
Jakarta pada 28 Juli 2005. Dalam keputusan itu ditetapkan 2 keputusan, yaitu:
1. Perkawinan
beda agama adalah haram dan tidak sah.
2. Perkawinan
laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ada
3 poin penting yang diambil MUI sebelum sampai pada keputusan fatwa.Yang pertama adalah pertimbangan (menimbang).
Sekalipun pada poin ini ada 4 faktor yang ditampilkan, namun keempat faktor
tersebut sebenarnya dapat disederhanakan menjadi 2 saja, yaitu fakta adanya
perkawinan beda agama, yang muncul karena situasi plural dan juga hak asasi
manusia namun kemunculannya membuat perdebatan dan keresahan; serta dibutuhkan pedoman
untuk menyikapi hal ini.
Ada
2 hal yang perlu dikritisi di sini, yaitu soal efek keresahan (poin b dalam
teks fatwa) dan soal dalih HAM (poin c dalam teks fatwa). MUI mengatakan bahwa
perkawinan beda agama “sering mengundang keresahan di tengah-tengah
masyarakat.” Dapatkah MUI memberi bukti sejauh mana keresahan yang timbul? Adakah
data-datanya? Bagaimana prosentasenya? Masyarakat mana saja dan dimana saja
yang resah? Hal ini harus dibuktikan agar pernyataan MUI tersebut bukan lahir
dari asumsi atau praduga saja. Sangatlah ironis jika keputusan, yang
ditandatangani oleh 2 orang profesor, lahir bukan dari data fakta, melainkan
asumsi. Selain itu, perlu dikritisi juga, siapa atau apa yang sebenarnya
membuat resah masyarakat. Apakah perkawinan beda agama-nya atau malah ajaran
agama-lah yang justru membuat masyarakat resah.
Pada
poin c dari teks fatwa, dikatakan “telah muncul pemikiran yang membenarkan
perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia.” Kutipan ini (dalam
konteks keseluruhan) mengisyaratkan bahwa MUI menolak pendapat yang mengatakan
adalah hak seseorang untuk menikah. Dengan kata lain, MUI tidak mengakui bahwa
menikah adalah hak asasi manusia. Sadisnya, hal ini berdasarkan pada
hukum/perintah Allah. Padahal, terkait dengan perkawinan adalah hak setiap
manusia untuk memilih menikah dengan siapa. Namun islam menegaskan lain.
Sekedar perbandingan, Allah melarang umat islam untuk berteman dengan orang
kafir; nah, berteman saja sudah
dilarang, apalagi menikah. Inilah ajaran islam.
Poin
penting yang kedua adalah pengingatan
(mengingat). Di sini MUI menampilkan 3 pendasaran, yaitu dari Al Quran, Hadis
dan Qa’idah Fiqh. Dari Al Quran, ada 7 teks yang dijadikan dasar untuk fatwa
(melarang) perkawinan beda agama. Ketujuh teks Al Quran itu adalah QS al-Nisa:
3; QS. al-Rum: 21; QS. al-Tahrim: 6; QS. al-Maidah: 5; QS. al-Baqarah: 221; QS.
al-Muntahana: 10; QS. al-Nisa: 25. Dari 7 teks Al Quran ini beberapa di antara
sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkawinan beda agama (kenapa MUI
menggunakannya sebagai dasar fatwanya?). Misalnya QS al-Nisa: 3, yang lebih
pada soal poligami; dan surah al-Tahrim:
6 lebih merupakan nasehat untuk menjaga diri dan keluarga, sama sekali tidak
ada larangan untuk menikah dengan orang yang berbeda agama (mungkin
“peliharalah dirimu” ditafsirkan ke sana).
Berikut
ini adalah catatan kritis tentang 5 surah
lainnya. QS. al-Rum: 21 dijadikan dasar untuk mengharamkan perkawinan beda
agama karena di sana dikatakan bahwa Allah telah “menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri.” Kata “jenis” pada frase “jenismu sendiri”
mungkin ditafsirkan dengan agama. Selanjutnya dapatlah dikatakan bahwa
perkawinan sesama agama akan menumbuhkan rasa kasih dan sayang. Dari surah ini dapat dikatakan bahwa menikah
dengan sesama muslim itu sudah dikehendaki Allah; atau dengan kata lain, Allah
sudah menyiapkan jodoh yang seagama. Karena itu, perkawinan beda agama tidak
dikehendaki Allah. Persoalannya, ada banyak orang yang tidak menemukan jodoh
dari seagama. Dan ada fakta yang menunjukkan ada pasangan nikah beda agama
hidup keluarganya harmonis, penuh kasih dan sayang. Apakah kasih sayang dan
keharmonisan itu bukan berasal dari Allah?
Dalam
surah al-Maidah: 5, tampak jelas
bahwa pria islam boleh menikah dengan wanita Ahlu Kitab, yang menjaga
kehormatan. Tapi kenapa MUI dalam keputusannya menetapkan bahwa perkawinan
laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab adalah haram dan tidak sah? Untuk
bisa memahami hal ini terlebih dahulu perlu diketahui siapa yang dimaksud
dengan Ahlu Kitab atau “orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” Banyak
ahli menafsirkannya sebagai orang Kristen dan Yahudi. Lantas kenapa mereka juga
haramkan? Hal ini terkait dengan pernyataan bahwa orang yang percaya bahwa
Yesus itu Allah dan percaya akan trinitas (ini menjadi dasar iman orang
Kristen) adalah kafir (QS al-Maidah: 72, 73). Orang musyrik saja dilarang
untuk dinikahi (bdk.QS. al-Baqarah: 221) apalagi orang kafir. Tapi, menjadi
pertanyaan, kenapa dalam surah yang
sama di satu sisi dikatakan ahlu Kitab, di lain sisi kafir?
Surah al-Baqarah:
221 melarang untuk menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman. Artinya,
pria islam boleh menikah dengan wanita musyrik bila mereka sudah memeluk islam.
Kiranya surah inilah yang agak tegas
dan jelas berbicara soal larangan perkawinan beda agama. Selanjutnya dikatakan,
lebih baik menikahi budak (mungkin sekarang dapat dimaknai pembantu rumah tangga)
yang beragama islam. Jadi, jika di luar tidak ketemu wanita islam yang dapat
dinikahi, yah nikahi saja pembantu
yang ada di rumah, yang beragama islam. Ini adalah perintah Allah. Yang menarik
lainnya dari surah ini adalah
pernyataan bahwa wanita-wanita musyrik “mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga.” Perbandingannya adalah antara wanita-wanita musyrik dengan
Allah, bukan dengan wanita-wanita mu’min. Allah
diperbandingkan dengan wanita (manusia). Betapa rendahnya Allah SWT itu. Lagi
pula, kenapa wanita-wanita musyrik diperbandingkan
dengan Allah, dan bukannya dengan wanita-wanita mu’min? Jadi, jika
wanita-wanita musyrik membawa pria islam ke neraka, kemana wanita-wanita mu’min
membawa pria islam yang menikahinya?
Tafsiran
atas QS. al-Muntahana:
10 dapat diterapkan pada pelarangan atau pengharaman perkawinan beda agama.
Salah satu poin dari surah ini mau
menyatakan bahwa bila ada wanita islam menikah dengan orang kafir, namun ketika
datang kepada pria islam, maka pria islam ini harus menyelamatkannya dengan
tidak mengembalikan wanita itu ke suaminya. Teks ini sering dijadikan dasar
untuk menarik kembali wanita-wanita islam yang telah menikah dengan orang non
islam sekalipun rumah tangga mereka bahagia. Sebagai contoh, ada seorang wanita
islam menikah dengan seorang pria katolik. Mereka menikah di Gereja Katolik
dengan ritus nikah beda agama, sehingga yang islam tetap islam. Rumah tangga
mereka harmonis, bahagia dan sejahtera. Tapi ketika bertemu dengan pria islam,
maka pria islam akan berusaha untuk memisahkan mereka. Bila perlu menikahi
wanita itu. Hal ini dikehendaki dan merupakan perintah Allah.
Surah al-Nisa:
25 kurang lebih senada dengan surah al-Baqarah
di atas, yaitu lebih baik menikahi budak yang beragama islam ketimbang menikahi
wanita non islam, alias kafir. Dari nada inilah, MUI yakin bahwa perkawinan
beda agama haram dan tidak sah. Menjadi persoalan, adakah pria islam yang
bersedia menikah dengan budak atau pembantu rumah tangganya yang islam?
Bagaimana dengan pria islam yang tidak memiliki budak?
Demikianlah
7 dasar Al Quran, dengan telaah kritisnya, yang diambil sebagai dasar keputusan
fatwa MUI tentang perkawinan beda agama. Selain dari Al Quran, dasar dari
keputuasn fatwa MUI diambil juga dari hadis. Ada satu hadis yang ditampilkan,
yaitu HR. muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a. Kata-kata “hendaklah kamu
berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam” dipahami sebagai larangan
atas perkawinan beda agama. Kita tak perlu mengkritisi kata-kata tersebut,
karena memang demikianlah maksudnya. Namun yang menarik adalah kalimat awal
dari kutipan hadis tersebut, yaitu tentang 4 kriteria wanita yang boleh
dinikahi:
1. Hartanya
(tentulah harus kaya atau memiliki harta yang banyak).
2. Keturunannya
(tentulah harus dari keturunan yang baik atau status sosial yang tinggi; tapi
bagaimana dengan perintah Allah untuk menikahi budak? [bdk. al-Baqarah: 221;
al-Nisa: 25)
3. Kecantikannya
(tentulah harus cantik. Bagaimana jika dikaitkan dengan surah al-Baqarah: 221 bahwa lebih baik budak mu’min dari pada
wanita musyrik sekalipun mereka menarik hati?)
4. Agamanya
(tentulah harus yang beragama islam).
Dari
4 kriteria di atas dapatlah dikatakan bahwa soal akhlak, moral dan kepribadian
(inner beauty) wanita yang akan
dinikahi tidak telalu penting, bahkan tak perlu diperhatikan. Yang penting
kaya, cantik, dari keluarga berada dan baik serta beragama islam. Mungkin ada
yang mengatakan bahwa inner beauty sudah
masuk dalam poin 2 (keturunan) dan poin 4 (agama). Perlu disadari, keluarga
baik belum tentu anaknya juga baik; demikian pula tak selamanya yang beragama
itu adalah orang baik. Teroris mengaku dirinya beragama islam, tapi dunia
(bahkan umat islam sendiri) menyatakan mereka itu jahat.
Untuk
qa’idah fiqh, yang dijadikan dasar
putusan MUI untuk mengharamkan perkawinan beda agama adalah “Mencegah
kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.”
Fiqh ini mirip dengan peribahasa, “Sedia payung sebelum hujan” atau “mencegah
lebih baik daripada mengobati.” Di sini dapat dilihat bahwa perkawinan beda
agama lebih banyak mendatangkan keburukan daripada kebaikan.
Hal
penting yang ketiga adalah
memerhatikan. Ada 2 hal yang dijadikan dasar untuk diperhatikan, yaitu
Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II 1980 tentang Perkawinan Campuran, dan
Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005. Dengan
memerhatikan dua hal inilah MUI sampai pada keputusan final mengharamkan
perkawinan beda agama.
DEMIKIANLAH
tinjauan kritis atas Fatwa MUI tentang Perkawinan Beda Agama. Dari sana
dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, pertama,
agama islam tidak menghargai hak asasi umatnya atau islam tidak melihat
menikah itu sebagai suatu hak. Artinya, menikah bukan sebagai pilihan, tetapi
sebagai kewajiban; dan kewajiban itu tidak hanya sebatas menikah tetapi juga
menikah dengan sesame islam. Kedua, terlihat
jelas tidak adanya toleransi dalam islam atau kurang menghargai perbedaan dan
kemajemukan. Ketiga, apakah fatwa MUI
ini langsung dapat meredakan keresahan dalam masyarakat perihal perkawinan beda
agama?
Komentar
Posting Komentar