TINJAUAN BUKU “KENAPA SAYA BUKAN MUSLIM”
Buku “Kenapa Saya Bukan Muslim”
ditulis oleh Ibn Warraq, seorang penulis kritik islam. Nama Ibn Warraq sendiri
bukanlah nama sebenarnya. Itu hanya nama yang selalu digunakannya untuk menulis
tulisan-tulisan yang mengkritisi islam. Dia tak pernah memunculkan identitas
sebenarnya, untuk menghindari ancaman dari umat islam (topik ini dibahas dalam bab
1). Semua itu dilakukannya supaya dia tidak menjadi Salman Rushdie kedua.
Warraq lahir dan tumbuh besar dalam keluarga islam yang taat. Awalnya
mereka tinggal di India, lalu bermigrasi ke Pakistan. Sejak usia muda Warraq
sudah mempelajari bahasa/budaya Arab dan membaca Al-Qur’an untuk menjadi orang
islam sejati. Untuk menguatkan keislamannya, ayahnya memasukkannya ke madrasah.
Pada usia 19 tahun, Warraq menempuh pendidikan di Universitas Edinburgh,
Skotlandia. Di sini dia belajar filsafat dan budaya Arab pada pakar keislaman
W. Montgomery Watt.
Pertemuannya dengan W. Montgomery Watt ini sepertinya membuka hati dan
budinya tentang islam yang selama ini diyakini. Pencerahan itu membuatnya
melahirkan beberapa karya kritis terkait islam, seperti Why I Am Not a
Muslim (1995), The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy
Book (1998), The Quest for the Historical Muhammad (2000). Masih ada
banyak lagi karya lainnya. Bukunya yang terakhir, yang ditulis tahun 2017
adalah The Islam in Islamic Terrorism: The Importance of Beliefs, Ideas, and
Ideology.
Dari uraian singkat mengenai biodata Ibn Warraq, dapat disimpulkan bahwa
penulis buku “Mengapa Aku Bukan Muslim” awalnya adalah seorang muslim. Bahkan
bisa dikatakan bahwa dia cukup mengenal tentang agama islam. Akan tetapi, kini
dia tidak lagi memeluk islam, alias murtad. Namun, ketika membaca ulasannya
tentang ‘kelemahan Tuhan’ (hlm 145 – 147; bdk. juga hlm 147 - 149), kita dapat
simpulkan bahwa penulis tidak punya agama. Apakah dia ateis atau agnotis, kita
tidak tahu.
Apa pun agamanya kemudian, itu tidaklah penting. Informasi agama yang
pernah dianutnya ini berguna sebagai pegangan orang dalam menilai tulisannya.
Patut dikatakan bahwa tinjauan kritisnya atas islam bukan tanpa dasar atau
mengada-ada, melainkan lahir dari refleksi kritis atas apa yang sudah diketahui
dan diyakini.
Buku ini dapat dilihat sebagai bentuk pertanggung-jawaban Ibn Warraq atas
keputusannya untuk meninggalkan iman islamnya. Tinjauan kritis atas islam bukan
dilakukan setelah Warraq tidak lagi sebagai orang islam. Sebagai seorang
muslim, Warraq menggunakan metode skeptisisme atas islam. Dengan skeptisisme
inilah akhirnya Warraq berteriak “eureka”, dan dia memutuskan untuk menjadi
murtad. Jadi, meninggalkan agama/iman islam bukan atas dasar selera atau
iming-iming kekayaan dan kenikmatan duniawi, melainkan atas dasar nalar dan
fakta. Kiranya hal ini bisa menjadi inspirasi bagi kaum islam lainnya.
Sekalipun buku yang kita dapat hanya memuat enam bab, namun kita sudah bisa
menemukan alasan kenapa Ibn Warraq memutuskan untuk hijrah meninggalkan islam
yang telah dia imani sejak kecil (lima bab pertama). Bagian pendahuluan (hlm
2 – 5) sudah sedikit menguak alasan tersebut, yaitu adanya pertentangan dalam
diri islam itu sendiri. Warraq mengawali tulisannya dengan memberikan dua
prinsip dasar untuk dapat memahami bukunya. Kedua prinsip itu adalah:
·
membedakan antara teori dan praktek;
antara apa yang harus dilakukan muslim dan apa yang mereka lakukan dalam
kenyataan; antara apa yang harus dipercayai dan lakukan dengan apa yang mereka
sebenarnya percayai dan lakukan.
·
ada tiga jenis islam. Islam 1 adalah apa
yang Muhammad ajarkan, yang terdapat dalam Al-Qur’an. Islam 2 adalah islam
setelah dipelajari, diartikan dan dikembangkan oleh ahli-ahli islam melalui
ahadis, termasuk hukum syariah islam. Sedangkan islam 3 adalah apa yang
sebenarnya dicapai muslim dalam kebudayaan islam.
Dalam bab 2 (hlm 19 – 60) Warraq mencoba mengkritisi asal
muasal islam, termasuk pernyataan bahwa Al-Qur’an berasal dari keabadian, yang
tertulis di surga, dengan menggunakan kritik historis. Dari hasil tinjauan
historisnya atas asal muasal islam, Warraq sampai pada kesimpulan bahwa
Muhammad bukanlah pemikir orisinil. Tidak ada prinsip etika moral baru yang
ditawarkan Muhammad. Malah harus jujur dikatakan bahwa Muhammad mencontek
nilai-nilai religius dari agama-agama yang sudah ada menjadi sebuah agama
islam. Dan sayangnya beberapa contekan itu ada yang keliru.
Warraq mengatakan bahwa islam mencontek banyak takhayul paganisme Arab,
terutama soal tata cara dan ritual ibadah haji (lih. QS 2: 150; 22: 26 – 28; 5:
1 – 4; 22: 34), juga terkait dengan nama-nama para dewa, soal jin, dll. Dengan
kata lain, harus diakui bahwa Muhammad mengadopsi sejumlah praktek dan
kepercayaan kaum berhala ke dalam agamanya, kadang memodifikasi tapi kebanyakan
menjiplak mentah-mentah.
Selain pengaruh dari praktek dan kepercayaan masyarakat pra-islam, Muhammad
juga mengambil dari Zoroastrianisme, Yudaisme, Hinduisme dan kekristenan untuk
membentuk agama islam. Bab 2 ini membeberkan contekan-contekan Muhammad atas
tradisi, nilai dan budaya dari Zoroastrianisme, Yudaisme, Hinduisme dan
kekristenan. Memang patut disayangkan bahwa kekristenan yang dijiplak Muhammad
kebanyakan dari kekristenan aliran sesat, seperti Nestorianisme. Hal inilah
yang membuat islam menyajikan kekristenan yang palsu kepada umatnya, misalnya
seperti kesalah-pahaman kisah Maria, Yesus dan doktrin trinitas (hlm. 56 – 58).
Dari data dan fakta historis ini, sepertinya Warraq sampai pada satu
kesimpulan bahwa Muhammad telah melakukan pembohongan dengan mengatakan bahwa
islam adalah agama asli yang diturunkan langsung oleh Allah. Secara implisit
mau dikatakan bahwa islam hanyalah ciptaan Muhammad, bukan agama wahyu seperti
agama lainnya.
Bab 3 (hlm 60 – 86) mengungkapkan permasalahan
sumber islam, yakni Al-Qur’an, hadis dan biografi Muhammad. Dengan telaah
ilmiah dan obyektif, harus diakui bahwa semua sumber islam ini diragukan
keotentikannya. Biografi Muhammad dinilai tak lebih dari sekedar tafsir
tendensius dan terkaan belaka dari beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang berisi
kehidupan Muhammad, yang dikarang dan diperinci oleh generasi-generasi muslim
kemudian. Sebagian besar hadis adalah hasil pengembangan religius, sejarah dan
sosial dari sistem selama dua abad pertama islam. Hadis tidak berguna sebagai
dasar historis sains dan hanya bisa berfungsi sebagai sebuah gambar
kecenderungan dari komunitas muslim awal.
Persoalan Al-Qur’an juga tak kalah pelik. Bab 5 (hlm 112 –
192) secara khusus membahas soal Al-Qur’an. Kesimpulan yang dapat diambil di
sini adalah bahwa Al-Qur’an bukanlah Kitab Allah, sebagaimana diyakini oleh
kaum muslim. Umat islam percaya bahwa Al-Qur’an adalah kata-kata Allah tanpa
kesalahan satu pun, langsung turun dari surga lewat perantaraan Malaikat Jibril
dengan menggunakan bahasa Arab murni dan sempurna; setiap titik koma di dalamnya
berlaku abadi dan bukan hasil ciptaan manusia.
Dengan menggunakan analisa bahasa, terlihat jelas ada banyak ayat dalam
Al-Qur’an yang bukan berasal dari Allah, melainkan dari Muhammad. Ada banyak
perbendaharaan kata asing dalam Al-Qur’an. Di samping itu, ada kekhasan dalam
Al-Qur’an ini, yaitu beda versi, beda bacaan. Persoalan lain
tentang Al-Qur’an ini adalah adanya ayat-ayat yang hilang dan ditambahkan.
Terkait dengan hal ini, sangat menarik membaca kisah Abdullah bin Sa’d Abi
Sarh, seorang yang ditugaskan untuk menulis wahyu-wahyu saat berada di Madinah.
Abdullah meningggalkan islam setelah tahu bahwa ternyata wahyu bisa diubah atas
usulannya.
Telaah atas Al-Qur’an ini menghasilkan kesimpulan bahwa Al-Qur’an bukanlah
langsung berasal dari Allah, melainkan karangan Muhammad belaka. Ada banyak
bukti untuk meyakinkan hal ini. Sekali lagi Warraq menemukan kebohongan yang
diciptakan Muhammad.
Bab 4 (hlm 86 – 112) membahas tentang sosok
sentral islam, yaitu Muhammad. Bab ini menghasilkan kesimpulan yang menolak
kenabian Muhammad. Sebenarnya penolakan ini sudah ada sejak sang nabi masih
hidup. Namun telaah akal budi dan suara hati membenarkan penolakan yang sudah
ada. Dasar penolakan itu ada pada karakter Muhammad sendiri, yaitu kejam,
licik, tidak jujur, tidak bisa dipercaya, seorang yang berprinsip ‘menghalalkan
segala cara’, seorang lalim yang menuntut kepatuhan mutlak, dan nafsu seksual
yang super.
Karakter buruk ini muncul setelah Muhammad berada di Madinah, dan menutup
atau menghapus karakter baik beliau saat berada di Mekkah. Ada kemungkinan
bahwa karakter religius, tulus dalam mencari kebenaran, santun, rendah hati dan
lemah lembut yang muncul pada periode pertama di Mekkah hanyalah sekedar topeng
untuk meraih mimpi yang dicita-citakan. Karakter Muhammad di periode kedua saat
di Madinah begitu dominan hingga akhir hayatnya, sehingga bisa dikatakan itulah
karakter aslinya. Melihat hal itulah, wajar jika klaim kenabiannya harus
ditolak. Bagaimana mungkin seorang nabi bisa berlaku kejam, biadab dan penuh
nafsu.
Catatan Penutup
Kita sudah mengetahui siapa Ibn Warraq dan pemikirannya terhadap islam,
yang membuatnya hijrah meninggalkan islam. Dari pemikirannya tersebut, yang
telah disajikan inti sarinya, kita dapat mereka-reka alur pemikiran dan
keputusannya.
Pertama-tama, seperti yang sudah kami sampaikan di depan, sepertinya Warraq
memulai pemikirannya ini dengan sikap skeptis terhadap semua ajaran islam.
Dengan sikap sketis inilah dia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis
terhadap islam, yang kebetulan tidak punya jawabannya. Atau mungkin ada
jawabannya, tapi tidak memuaskan nalar akal budinya. Beberapa pertanyaan itu
adalah:
1. Benarkah Al-Qur’an ini berasal langsung dari
Allah? Karena dia mempertanyakan Al-Qur’an, maka jawaban dari
Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah harus ditolak. Dari telaah
akademisnya, Warraq mendapat kesimpulan bahwa Al-Qur’an BUKAN dari Allah. Ada
banyak bukti bahwa kitab ini merupakan karangan Muhammad sendiri, yang sama
sekali tidak ada kaitan dengan Allah. Nama Allah hanya digunakan untuk
kepentingan Muhammad.
2. Benarkah Al-Qur’an itu kitab yang sempurna?
Dalam hal apa Al-Qur’an itu sempurna? Umat islam selalu
mengagung-agungkan Al-Qur’an sebagai kitab yang sempurna, namun akan
membingungkan jika ditanya sempurna dalam hal apa. Karena, dari segi tata
bahasa terlihat sekali kalau Al-Qur’an kacau balau, ada banyak pertentangan dan
kontradiksi dengan ilmu pengetahuan; dan terbukti bahwa kitab ini tidak melulu
menggunakan bahasa Arab, sebagaimana yang selalu diwartakan para ulama. Dari
segi isi, kitab ini justru membuat umatnya menjadi biadab, sesuatu hal yang
bertentangan dengan makna asalinya sebagai kitab suci.
3. Kenapa Muhammad disebut sebagai teladan yang
sempurna? Atas dasar apa Muhammad itu sempurna (insan al kamil)? Hal
ini juga sama seperti pertanyaan yang diajukan kepada Al-Qur’an. Umat islam
akan kebingungan dalam memberi jawaban atas pertanyaan ini. Umumnya, mereka
hanya memberi gambaran Muhammad periode Mekkah, dan menyingkirkan gambaran
Muhammad periode Madinah. Padahal, kesempurnaan itu harus menyangkut
keseluruhan pribadi dan hidup. Telaah ilmiah dan obyektif atas sejarah hidup
Muhammad, ditemui sisi gelap Muhammad selama berada di Madinah. Hasil telaah
itu menghasilkan kesimpulan bahwa Muhammad BUKAN teladan yang sempurna.
4. Berangkat dari tiga pertanyaan di atas, Warraq
juga akhirnya mengugat islam sebagai agama yang sempurna, sebagaimana yang
diyakini oleh umat islam. Benarkah islam itu agama yang sempurna? Kenapa
islam disebut agama yang sempurna? Jawaban-jawaban atas tiga
pertanyaan di atas, secara akal sehat, sudah mengatakan bahwa islam BUKAN agama
yang sempurna. Ditambah lagi dengan tinjauan ilmiah dan obyektif atas sejarah
dan kebudayaan, terbukti bahwa dalam islam terdapat tradisi-tradisi luar, yang
sudah ada sebelumnya.
Dari empat pertanyaan kritis di atas, sepertinya Warraq sampai pada
beberapa kesimpulan. Warraq menemukan kebohongan dalam islam. Apa yang
diterimanya tentang islam sejak kecil adalah sebuah pembohongan, karena setelah
dikritisi dia tidak menemukan kebenaran. Semua inilah yang akhirnya menghantar
Warraq untuk menyangkal dan meninggalkan iman/agama islam.
Satu kesimpulan bisa ditarik adalah islam itu agama pembohong. Kesimpulan
ini tentu sangat menyakitkan umat islam. Akan tetapi, kesimpulan ini bukan
tanpa dasar. Dalam Al-Qur’an Allahnya sendiri mengaku sebagai pembohong (QS
An-Nisa: 142), sehingga tak heran ada begitu banyak kebohongan yang disajikan
di dalamnya. Dan sang nabi juga akhirnya melegalkan kebohongan. Beberapa hadis
menceritakan kebohongan-kebohongan yang diterapkan dan dilegalkan Muhammad.
Kesimpulan ini tentulah mempunyai konsekuensi logis bagi umat islam dewasa ini.
Apa konsekuensi logisnya, silahkan pembaca menjawabnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar