MEMPERSOAL PASAL PERKOSAAN SUAMI TERHADAP ISTRI DALAM RKUHP MENURUT AJARAN ISLAM
Salah satu pasal kontroversial dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah soal pemerkosaan istri oleh suami. Dalam RKUHP, tindak pidana ini terdapat dalam pasal 597, yang terdiri dari 2 ayat (khususnya ayat 2). Berikut ini adalah kutipan ayat dari pasal kekerasan seksual suami istri.
(1) “Setiap orang yang
melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangganya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV
dan paling banyak kategori VI.”
(2) “Tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya,
tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri.”
Pertama-tama
perlu dipahami bahwa pasal ini masuk dalam delik aduan. Artinya, tindakan pidana
pemerkosaan suami terhadap istri, atau sebaliknya, baru dapat diproses jika ada
laporan dari korban kepada pihak aparat hukum. Akan tetapi, sekalipun demikian,
banyak orang menentang dan menolak pasal ini. Setidaknya ada 3 alasan penolakan
tersebut. Pertama, bahwa masalah hubungan
seksual yang terjadi di antara suami istri merupakan urusan pribadi, terlepas apakah
hal itu pemaksaan atau tidak. Pengaturan masalah hubungan seksual dalam RKUHP
dilihat sebagai bentuk intervensi negara yang berlebihan.
Alasan
kedua berangkat dari pandangan budaya
patrilineal. Dalam masyarakat yang berbudaya patrinileal, perkawinan dilihat sebagai
bentuk “pembelian” wanita oleh pria. Dengan kata lain, ketika seorang pria menikahi
seorang wanita, ia menyerahkan mas kawin, yang dilihat sebagai bentuk
“pembelian”. Jadi, dengan menyerahkan mas kawin kepada keluarga pihak perempuan,
seorang pria telah membeli wanita tersebut. Dan karena dia sudah membeli, maka dia
dapat melakukan apa saja yang disukainya, termasuk dalam urusan seks.
Sedangkan
penolakan dengan alasan ketiga berangkat
dari ajaran agama, khususnya agama islam. Mempidana suami yang memperkosa istri,
bagi umat islam dapat dilihat sebagai bentuk penghinaan agama islam. Karena
agama islam membolehkan seorang suami memperlakukan istrinya sesuai kehendaknya,
termasuk dalam urusan seksual. Allah SWT telah berfirman, “Istri-istrimu adalah
ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang
kamu sukai.” (QS 2:
223). Karena itulah, islam mengajarkan bahwa seorang istri wajib melayani hasrat
seksual suaminya jika diminta, tak peduli apakah dia suka atau tidak, setuju atau
tidak. Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak
mematuhinya, maka para malaikat akan mengutuknya sampai pagi. Hal ini didasarkan
pada Hadis Sahih Bukhari dan Muslim.
Jadi, pasal pemerkosaan suami terhadap istri
menemukan masalahnya dengan umat islam. Dalam ajaran islam, seorang suami dapat
melakukan hubungan seks kapan saja, sementara istri wajib melayaninya. Tidak
ada pemerkosaan, karena semuanya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Alqur'an sudah berkata, “Taatlah
kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu adalah orang-orang beriman.” (QS 8: 1). Allah SWT juga sudah meminta supaya umat islam mengikuti
apa yang tertulis dalam Alqur'an (QS 75: 18). Dapat
dikatakan bahwa dengan melaksanakan ajaran agamanya, seorang suami dapat
dinilai melakukan pemerkosaan terhadap istri. Akan tetapi, haruskah orang yang
menjalankan ajaran agamanya dipidana?
Demikianlah
persoalan pasal perkosaan suami terhadap istri, yang menemui kendalanya dengan
umat agama islam. Bagi umat agama lain hal ini tidak masalah, karena memang
tidak ada ajaran suami memperkosa istri. Yang ada adalah suami harus menghargai
istrinya, termasuk bila istri tidak lagi mood
dalam berhubungan badan. Jadi, terhadap pasal ini, umat agama lain tentu
akan mendukung, sementara umat agama islam akan menolak.
Bagaimana
dengan pasal perjudian? Apakah akan ada kendala dalam pelaksanaannya? Dalam
RKUHP, pidana perjudian ini diatur dalam 2 pasal, yaitu pasal 502 dan pasal
503. Akan tetapi, pasal yang dapat menemui permasalahan dalam praksis hidup
adalah pasal 503. Berikut ini adalah kutipan pasalnya:
“Setiap orang yang
menggunakan kesempatan main judi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Persoalan
pasal 503 ini, tak jauh beda dengan permasalahan pasal 597 (2). Jika pasal
perkosaan suami terhadap istri disetujui umat agama lain namun bermasalah bagi
umat agama islam, demikian pula pasal perjudian ini akan disetujui umat agama
lain, namun bermasalah bagi umat Konghucu. Ada kesan bahwa agama Konghucu
membolehkan perjudian. Karena itu, dalam agama ini ada dewa yang menangani
urusan perjudian. Nama dewanya adalah Han
Xin Ye. Bisa saja orang sudah berdoa kepada dewa judi, memohon ini itu
sebelum akhirnya pergi main judi.
Akankah
umat agama Konghucu yang bermain judi dipidana, padahal dia yakin dewa judi
telah merestuinya untuk berjudi? Sama seperti kasus perkosaan suami terhadap istri,
pemidanaan orang berjudi ini dapat dilihat sebagai bentuk penistaan agama atau
kriminalisasi agama.
DEMIKIANLAH
permasalahan pasal perkosaan suami terhadap istri dan pasal perjudian dalam
RKUHP. Memang harus disadari bahwa tidak ada produk hukum yang dapat memuaskan
semua pihak. Selalu saja ada pihak yang merasa dirugikan. Akan tetapi, terkait
dengan dua pasal ini, pembuat undang-undang harus bisa berpikir dan bersikap
bijak, agar jangan sampai undang-undang yang dihasilkannya dihukum oleh
undang-undangnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar