MUHAMMAD DAN SINDROM NAPOLEON
Napoleon adalah salah satu tokoh sejarah Perancis yang hidup tahun 1769 - 1821. Ada anggapan bahwa tokoh ini pendek perawakannya. Istilah “sindrom Napoleon” biasa dikenakan kepada seseorang yang menderita gangguan seperti memiliki sifat sebagai orang yang arogan, sombong, narsis dan agresif. Sangat menarik, bahwa karakteristik ini sangat umum dialami oleh pria berpostur tubuh pendek, kurang dari 165 cm. Apakah nabi Muhammad SAW mengalami sindrom Napoleon?
Menurut ilmu psikologi, sindrom Napoleon digambarkan sebagai orang yang menderita
kecenderungan ‘kompleksitas rasa rendah diri’ yang kuat dan sangat rentan untuk
mengompensasi berlebihan badan mereka yang pendek dengan perilaku yang sombong
dan tidak bertanggung-jawab, untuk mendapatkan hormat dan penerimaan dari ‘kawan-kawan mereka yang besar’. Orang dengan kompleks ini mempunyai
karakter sosial yang terlalu agresif dan mendominasi. Sebelum menjelaskan
kerumitan dari gangguan ini, pertama-tama
perlu diketahui berapa sesungguhnya tinggi tubuh Muhammad. Memang umat islam selalu menggambarkan Muhammad dengan
perawakan sempurna: tinggi, tegap, atletis dan macho. Namun beberapa sumber
islam menyebut Muhammad sebenarnya termasuk cebol, dan juga gendut.
Telah menceritakan kepada kami muslim bin Ibrahim berkata, telah
menceritakan kepada kami Abdussalam bin Abu Hazim Abu Thalut ia berkata; Aku
melihat Abu Barzah masuk menemui Ubaidullah bin Ziyad, lalu ada seseorang dalam
sebuah rombongan bernama muslim
bercerita kepadaku. Ketika Ubaidullah melihatnya, ia berkata, "Sesungguhnya
salah satu dari kelompok Muhammad adalah
orang yang gemuk dan pendek." (Abu Dawud 4124, cetak tebal dari kami sebagai
penekanan).
Dari kutipan hadis tersebut, perkataan Ubaidullah menjelaskan bahwa postur Muhammad
adalah gemuk dan pendek.
Akan tetapi, ada juga terjemahan lain yang berdampak pada beda tafsiran: "Sesungguhnya
salah satu dari kelompok Muhammad ada orang yang gemuk dan pendek." Pada kalimat ini, postur tubuh gemuk dan pendek ada
dalam kelompok Muhammad, entah siapa itu. Terjemahan mana yang benar, tak ada
ada yang tahu persis.
Namun untuk mendukung pernyataan pertama, kisah
“testing roh” dapat memberi gambaran soal postur Muhammad. Dikisahkan suatu
hari Khadijah, istri Muhammad, ingin mengetes apakah kerasukan Muhammad
disebabkan oleh iblis atau roh ilahi. Khadijah mau meyakinkan
Muhammad bahwa dia ‘waras’.
“Bisakah kamu katakan kalau roh itu datang
kepadamu?” Ketika Muhammad mengatakan bahwa roh itu sudah datang, Khadijah berkata, “Muhammad, duduklah di
paha kiriku.” Muhammad duduk di paha kirinya. “Apa kamu masih lihat roh itu?”
tanyanya. “Ya.” “Kalau begitu duduk di paha kananku.” Muhammad duduk di paha kanannya. “Apa masih kamu lihat roh itu?”
tanyanya. “Ya,” jawabnya. “Kalau begitu duduklah di pangkuanku. “Muhammad duduk
di pangkuannya. “Masih kamu lihat roh itu?” tanyanya. “Ya,” jawabnya. Khadijah
membuka bagian feminin dari tubuhnya selagi Muhammad duduk di pangkuannya.
“Masih kamu lihat roh itu?” “Tidak,” jawabnya. Kemudian Khadijah berkata, “Muhammad, roh itu adalah malaikat, bukan
iblis”
Dari kisah tersebut sulit membayangkan jika Muhammad,
yang ketika menikah dengan Khadijah berusia 24 tahun, berpostur besar, tegap
dan macho duduk di paha seorang wanita berusia 40-an. Ada kesan kalau Khadijah
sedang memangku seorang anak kecil. Hal inilah yang membuktikan bahwa Muhammad
mempunyai tubuh pendek atau kecil. Karena itu, ciri fisik ini bisa menjadi
indikasi adanya gangguan sindrom Napoleon. Secara umum, orang yang bertubuh pendek sulit mendapatkan
perhatian. Mereka merasa tidak layak
dan butuh diyakinkan terus menerus. Kebutuhan akan perhatian ini, pada diri Muhammad ditunjang juga oleh
pengalaman penolakan yang dialaminya pada masa kanak-kanak.
Akibatnya, Muhammad
menciptakan cerita bohong guna melatar-belakangi ‘kenabian’-nya dan mengarang bertemu dengan makhluk supranatural. Berhubung juga orang Arab sedang dalam pencarian jati
diri religiositas, mereka langsung terkesima dengan hal-hal
tidak masuk akal yang kotbahkannya.
Muhammad menterjemahkan kekaguman mereka akan dirinya sebagai sesuatu hal yang
positif yang meneguhkan sifat psikopatnya yang semakin lama semakin besar, yang
kemudian makin mengkondisikan dirinya sehingga perilaku tersebut menjadi
permanen.
Orang yang bertubuh kecil memiliki kecenderungan menjadi yang
paling lantang kalau berada di dalam suatu acara sosial, menjadi terobsesi
dengan body-building, peningkatan gambar diri, dan melebih-lebihkan
pencapaian mereka (jika mereka punya). Mereka yang mengidap ‘sindrom Napoleon’ akan mengarang
kebohongan untuk meninggikan dirinya secara profesional maupun secara sosial,
yang secara umum memualkan bagi yang mendengarnya. Mempromosikan diri sendiri adalah sifat yang
umum yang terjadi di setiap pria yang berukuran kecil.
Ketakutan mereka yang paling besar adalah kalau mereka semakin lama
semakin menghilang menjadi tidak berharga dan tidak dibutuhkan lagi.
Muhammad menderita sindrom ini dengan amat jelas. Jika
mempelajari hadis,
akan didapati
bahwa Muhammad melakukan semua karakter yang merupakan indikasi dari gangguan
perilaku jenis ini. Ia sangat sering mempromosikan dirinya sendiri, menjuluki
dirinya sebagai “pribadi dengan derajat karakter yang mulia”, “tauladan
perilaku yang istimewa” dan sang “insan sempurna.” Dan
setelah didiskusikan sebelumnya,
sifatnya yang cenderung membenci laki-laki dan membenci wanita (misandry dan misogyny) tentu akan memaksa Muhammad untuk menguasai dan
mengendalikan istri-istrinya, dan wanita pada umumnya. Alhasil, tidak terhindarkan untuk seseorang dengan tubuh
kecil yang mengalami ‘sindrom Napoleon’ untuk
mengendalikan orang lain, karena itu lah yang
terpenting.
Dengan cara yang sama,
sebagai individu yang selalu iri yang tidak tahan melihat orang lain mengungguli
dirinya, ia dengan arogannya melarang para pengikutnya bermain atau memainkan
alat musik. Bila seseorang dapat memainkan suatu
alat musik tentu akan memerlukan suatu kemampuan tertentu. Jika Muhammad tidak
dapat memainkan satu pun jenis alat musik, maka hal itu membuktikan bahwa ia
bukanlah ‘insan yang sempurna’ sebagaimana ia seharusnya. Bagaimana pun hal itu akan sangat menjengkelkan
perasaannya untuk mendengar sesuatu yang indah, yang dilakukan sekelompok orang
yang bersama-sama memainkan talenta mereka, sementara mereka tahu bahwa ia
tidak bisa memainkannya, atau bahkan memahami kerumitan dari keindahan suatu
pertunjukkan seni.
Bagaimanapun, setelah
menyingkirkan para pengikutnya dari hal-hal yang sensual, ia menyebarkan suatu
kebohongan bahwa ia sendiri memiliki kemampuan ‘supranatural’ yang tidak
terbatas, yang jauh melebihi orang biasa - bahkan mencontek keajaiban-keajaiban
yang dilakukan Yesus. Dikisahkan
Muhammad mampu membelah bulan, mengeluarkan air dari jari-jarinya (untuk wudhu)
dan melipat gandakan roti untuk pengikutnya. Tentu
saja hal itu adalah kebohongan yang dikarang para fanatik islam untuk menyebarkan mitos, tetapi
sebenarnya hal itu menaruh kaum muslim
di posisi yang mempertanyakan apakah benar orang ini sebenarnya adalah penipu.
Muhammad tahu bahwa dirinya tidak
memiliki kemampuan seperti nabi-nabi yang tercatat di dalam tradisi Yahudi,
apalagi memahami strategi sederhana. Ia tak pernah mengerti teori strategis,
memandang jauh ke depan, atau antisipasi, dan malahan bersandar semata-mata
pada pe-’wahyu’-an aneh yang dikarangnya untuk mengamankan dirinya ketika
tertangkap basah sedang berbuat senonoh - sesuatu yang selalu dilakukannya.
Kampanye militernya didanai dari merampok dan menyerang siapa saja yang lewat
di jalur dagang, yang menunjukkan
ketidak-mampuannya untuk mengatur tetapi menunjukkan kalau dirinya adalah
semata seorang barbar tanpa otak. Hal ini sekali lagi menunjukkan ‘perilakunya
yang beresiko’.
Kenyataannya, berulang kali
Muhammad gagal dalam usahanya menginvasi Mekkah membuktikan kemampuannya
ber-strategi di bawah rata-rata. Oleh karena itu, tidak heran kalau ia akhirnya
melarang permainan penuh strategi seperti ‘catur’, karena setiap orang yang
benar-benar menguasai dasar-dasar catur yang berdasarkan matematika bisa tanpa
sengaja mengalahkan sang ‘nabi’ - suatu prospek yang tidak bisa diterima untuk
seseorang yang dianggap terpilih oleh Allah dari antara semua umat manusia.
Pelan tapi pasti, melalui rasa bahwa dirinya lah yang terpenting
yang makin besar, Muhammad
menyingkirkan segala sesuatu yang menyenangkan dan menggembirakan dari
kehidupan kaum muslim.
Misalnya seperti musik, perhiasan
emas, gambar/seni, dll. Perbuatannya yang terakhir membuang total
individualitas dengan pembatasan model
rambut dan cita rasa berpakaian, tidak berbeda dengan negara yang berideologi
pemujaan seperti Korea Utara dalam mengindoktrinasi warganya.
Rasa ketakutan selalu
menjadi perekat yang berfungsi merekatkan masyarakat di dalam islam. Muhammad dengan kerasnya
memerintahkan dengan siapa pengikutnya harus berteman, mengutuki kafir
dengan menggambarkan mereka sebagai ciptaan yang jorok, yang membuat
Muhammad bisa dengan jelas menentukan dan mengendalikan lingkaran-lingkaran
masyarakat kaum muslim. Lebih lanjut ia memanipulasi logika para
pengikutnya, menghalangi akal sehat dan melarang mereka untuk menunjukkan
belas-kasihan kepada orang non muslim.
Seluruhnya sangat khas orang yang
mengidap ‘sindrom
Napoleon’. Kenyataannya, Muhammad adalah orang yang aneh, egosentrik yang suka
mengatur; sebanding dengan pem-bully di sekolah-sekolah atau seorang
pemimpin geng yang paranoid.
Orang yang mengalami rasa harga diri yang
besar, mungkin akan bertingkah sesuai dengan khayalannya dimana mereka percaya
mempunyai suatu hubungan istimewa dengan seseorang atau sesuatu yang punya
kekuatan. Akibatnya, Muhammad membual bahwa
ia memiliki hubungan ‘istimewa’ kepada suatu allah, dan ia telah terpilih untuk
suatu tugas besar. Untuk mengompensasi pencapaiannya yang kurang, Muhammad
sesumbar tentang kemampuannya untuk melakukan ‘mujizat’ supranatural, dan
keunikan hubungannya dengan dunia roh.
Jika tidak terdiagnosa dan
tidak diobati dengan psikoterapi, sindrom Napoleon dapat
berkembang menjadi suatu keadaan khayal bahwa dirinya adalah agung mulia (megalomania’). Yang
menyedihkan, harga diri yang
dikhayalkan dan dibesar-besarkannya menyebar bak kanker, termasuk agresinya
yang tidak dapat dicegah, berakibat matinya jutaan orang tak bersalah -- identik dengan Napoleon yang gemar
berperang dan berkhayal.
Individu yang menderita
dengan “berkhayal menjadi orang yang agung” hanya sedikit yang mampu menerima
kondisi mereka yang biasa-biasa saja dan memandang setiap tindakan mereka belum
pernah ada duanya, genius, penuh kebajikan dan tanpa kesalahan. Yang
menyedihkan, orang yang menderita sindrom ini dapat mengejawantahkan khayalannya menjadi episoda
kegilaan, dan akan memburu setiap kesempatan untuk menghidupi fantasi mereka,
kadang kalau perlu dengan kekerasan. Studi
menunjukkan bahwa mereka dengan ‘komplesitas
rasa rendah diri’ selalu merasa tidak aman dan gelisah. Jangan lupa Muhammad
juga seorang yang gelisah dan merasa tidak aman, dan berupaya untuk membenarkan
keberadaannya dengan menarik perhatian terus kepada dirinya; bahkan bila itu
harus berarti negatif. Ketidak-amanannya juga ditunjukkan dengan ketergantungan
yang berlebihan kepada Khadijah, kepada Sawdah, dan kepada seluruh istri-istrinya.
Peneliti juga sekarang telah
menghubungkan ‘sindrom
Napoleon’, dan ‘komplesitas
rasa rendah diri’, secara langsung dengan ‘skizofrenia paranoid’, yang juga
diderita Muhammad. Ditemukan juga bahwa mereka yang menderita dengan
‘skizofrenia; menggunakan khayalan mereka sebagai mekanisme pembelaan untuk
mengimbangi rasa rendah diri mereka.
Sangat tidak menguntungkan,
bahkan islam
pada hari ini terus menyebarkan kebohongan tentang bentuk tubuh ‘nabi’ yang
sempurna, temperamennya yang sejuk, dan kondisi psikologisnya yang stabil.
Tentu saja, pembelaan kaum muslim
tidak tertolong lagi oleh karena sistem pemujaan mereka telah dihujani
indoktrinasi psikologis yang berlangsung selama 1400 tahun. Seperti pemujaan yang berlebihan kepada pemimpin di negara-negara
komunis, islam pun menggunakan pendekatan yang sama bagi junjungan mereka.
Sangat disayangkan, bagi
seorang yang dianggap ‘insan sempurna - kenyataannya tidak lain dari seorang
yang frustasi, membenci dirinya, dan seorang individu yang penuh kekecewaan,
karena satu hal – tinggi badannya. Lebih memprihatinkan lagi bagi
kaum muslim
yang bersedia mencerna mitos ‘insan sempurna’ bahwa junjungan mereka ‘nabi’
Muhammad memiliki fisik yang menawan, dan menolak menerima kenyataan bahwa sang
‘nabi’ tidak lebih dari seorang yang pendek tubuhnya - tidak hanya fisiknya, tetapi juga secara
mental dan emosi.
diolah kembali dari The
People vs Muhammad, hlm. 237 – 252
Komentar
Posting Komentar