ADA TEROR DALAM TOA MASJID
Agama islam sepertinya sudah diidentikkan dengan keberadaan TOA (pengeras
suara) di masjid-masjid. Di setiap masjid pasti selalu mempunyai alat pengeras
suara itu; soal jumlah dan ukurannya bervariasi. Ada kesan bahwa pengeras suara
tersebut sebagai salah satu atribut doa atau setidaknya sebagai alat bantu bagi
umat islam dalam berdoa. Karena itu, tidak heran ketika umat islam berdoa
selalu terdengar dimana-mana dari pengeras suara tersebut. Yang paling sering
adalah adzan.
Akan tetapi, keberadaan TOA ini bukan tanpa masalah, khususnya bagi umat
non muslim. Keberadaan suara yang dihasilkan TOA ini, tidak hanya adzan saja,
sungguh dirasakan sangat menggangu ketenangan dan kenyamanan. Ada begitu banyak
orang merasa terganggu dengan kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid. Hal
ini menimbulkan kesan bahwa doa umat islam menggangu ketenangan dan kenyamanan
orang lain. Konyolnya, umat islam justru merasakan kebenaran ajaran imannya,
bahwa suara adzan membuat setan-setan gelisah ketakutan (implisit mengatakan
umat non muslim adalah setan).
Umat islam sendiri merasa bahwa TOA tak bisa dipisahkan dari aktivitas
berdoa mereka. Karena itu, mempersoalkan keberadaan TOA dapat memicu masalah.
Di kota Tanjung Balai Asahan pernah terjadi kerusuhan lantaran seorang
perempuan Tionghoa meminta agar pengurus masjid Al Maksum yang ada di
lingkungannya mengecilkan volume TOA tersebut. Di daerah Sagulung, Batam,
nyaris terjadi konflik lantaran seorang bapak tua meminta volume TOA
dikecilkan.
Sebenarnya masalah kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid oleh alat
pengeras suara ini sudah pernah disinggung oleh pemerintah. Wakil Presiden
Yusuf Kalla, pada Juni 2015 lalu melarang masjid memutar kaset pengajian karena
menyebabkan “polusi suara”. Dan menteri agama juga, pasca tragedi Tanjung Balai
Asahan, terus menerus menghimbau pengurus masjid untuk mengurangi volume TOA.
Namun sayang, suara-suara dari pemerintah ini seakan memukul angin. Timbul
kesan seolah-olah Negara kalah. Negara tidak dapat hadir membela kepentingan
warga minoritas yang membutuhkan ketenangan dan kenyamanan. Malah, permasalahan
ini dijadikan amunisi politik untuk menyerang pemerintah. Ada suara yang
mengatakan bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi dan Yusuf Kalla anti
umat islam. Dan ketika Jokowi maju kembali dalam pilpres 2019, isu keberadaan
TOA diangkat. Dikatakan bahwa jika Jokowi terpilih jadi presiden, maka adzan
akan dilarang.
Adzan dan TOA itu ibarat dua keping uang logam. Memang, kebisingan itu
tidak melulu dari suara adzan saja, melainkan juga doa-doa dan juga
pengajian-pengajian. Bahkan di beberapa tempat anak-anak belajar membaca
Al-Qur’an pun harus menggunakan pengeras suara. Jadi, pangkal persoalannya ada
pada suara TOA yang sangat membisingkan. Banyak orang merasa terganggu dengan
suara-suara yang keluar dari TOA itu.
Melihat apa yang dihasilkan TOA bagi umat non muslim, dapatlah ditemukan
kemiripan antara TOA ini dengan teroris. Malah, dalam satu titik, keduanya bisa
disamakan. Sebagaimana teroris menganggu ketenangan, demikian pula TOA. Ia
sungguh menggangu orang yang membutuhkan ketenangan. Suara yang keluar dari
TOA, khususnya di jam-jam tenang, sungguh sangat membisingkan sehingga
ketenangan dan kenyamanan orang terganggu.
Di banyak tempat sering ketenangan istirahat pagi terganggu dengan suara
bising dari TOA. Biasanya pada pukul 04.00 sudah mulai terdengar suara lagu
irama Arab atau pembacaan ayat-ayat al qur’an. Anehnya, pernah terjadi bahwa
beberapa orang mendatangi masjid yang mengeluarkan suara bising, dan ternyata
sepi. Dapat dikatakan bahwa pengurus masjid datang, menghidupkan tape
recorder lalu “hilang” entah kemana. Pertanyaan, apakah mereka sadar
kalau sekitar masjid itu tidak semuanya umat islam, yang tidak membutuhkan
suara TOA itu? Ataukah ini mental mayoritas sehingga bisa berbuat seenaknya
saja?
Jadi, persoalan TOA bukan masalah melarang suara adzan atau tidak.
Persoalan TOA terletak pada kebisingan, atau memakai istilah Yusuf Kalla
“polusi suara”, yang menggangu ketenangan dan kenyamanan orang lain. Selama ini
umat non islam tahunya bahwa keberadaan TOA sungguh menggangunya. Karena itu,
mungkin otoritas islam perlu menjelaskan ke umat yang lain kenapa harus
menggunakan TOA. Dengan penjelasan ini umat lain akan tahu, dan dari sini
lahirlah pemahaman. Jika orang sudah memahami, maka orang dapat memaklumi dan
menghormati. Dari sinilah lahir semangat toleransi. Tapi, umat islam juga perlu
memahami bahwa suara TOA itu benar-benar menggangu ketenangan.
Apakah umat islam mau diidentikkan dengan biang kerusuhan? Apakah umat
islam mau jika dikatakan bahwa agamanya sumber gangguan bagi umat agama lain?
Karena itu, cukuplah aksi bom bunuh diri sebagai bentuk teror, yang menganggu
ketenangan hidup. Jangan ditambah lagi dengan TOA.
Komentar
Posting Komentar