INI KATA ALQUR'AN TENTANG TOA MASJID
Semua masjid pasti mempunyai alat pengeras suara yang biasa disebut TOA.
Ada kesan bahwa pengeras suara tersebut dilihat sebagai salah satu atribut doa
atau setidaknya sebagai alat bantu bagi umat islam dalam berdoa. Akan tetapi,
keberadaan TOA ini bukan tanpa masalah, khususnya bagi umat non muslim.
Keberadaan suara yang dihasilkan TOA ini, tidak hanya adzan saja, sungguh
dirasakan sangat menggangu ketenangan dan kenyamanan. Ada begitu banyak orang
merasa terganggu dengan kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa doa umat islam menggangu ketenangan dan kenyamanan
orang lain. Konyolnya, umat islam justru merasakan kebenaran ajaran imannya,
bahwa suara adzan membuat setan-setan gelisah ketakutan (implisit mengatakan
umat non muslim adalah setan).
Umat islam sendiri merasa bahwa TOA tak bisa dipisahkan dari aktivitas
religius mereka. Karena itu, mempersoalkan keberadaan TOA dapat memicu masalah.
Di kota Tanjung Balai Asahan pernah terjadi kerusuhan lantaran seorang
perempuan Tionghoa meminta agar pengurus masjid mengecilkan volume suara TOA
tersebut. Di daerah Sagulung, Batam, nyaris terjadi konflik lantaran seorang
bapak tua meminta volume TOA dikecilkan.
Sebenarnya masalah kebisingan yang dihasilkan dari dalam masjid oleh alat
pengeras suara ini sudah pernah disinggung oleh pemerintah. Yusuf Kalla, saat
masih menjabat Wakil Presiden, pernah melarang masjid memutar kaset pengajian
karena menyebabkan “polusi suara”. Dan menteri agama juga, pasca tragedi
Tanjung Balai Asahan, terus menerus menghimbau pengurus masjid untuk mengurangi
volume TOA.
Namun sayang, suara-suara dari pemerintah ini seakan suara-suara di padang
gurun, sehingga muncul kesan seolah-olah Negara kalah. Negara tidak dapat hadir
membela kepentingan warga minoritas yang membutuhkan ketenangan dan kenyamanan.
Malah, permasalahan ini dijadikan amunisi politik untuk menyerang pemerintah.
Ada suara yang mengatakan bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi dan
Yusuf Kalla anti umat islam. Dan ketika Jokowi maju kembali dalam pilpres 2019,
isu keberadaan TOA diangkat. Dikatakan bahwa jika Jokowi terpilih jadi
presiden, maka adzan akan dilarang.
Adzan dan TOA itu ibarat dua keping uang logam. Memang, kebisingan itu
tidak melulu dari suara adzan saja, melainkan juga doa-doa dan juga
pengajian-pengajian. Bahkan di beberapa tempat anak-anak belajar membaca Alqur'an pun harus menggunakan pengeras suara. Jadi, pangkal persoalannya ada
pada suara TOA yang sangat membisingkan. Banyak orang merasa terganggu dengan
suara-suara yang keluar dari TOA itu.
Jika memang mengganggu ketenangan dan kenyamanan, kenapa umat non islam
tenang-tenang saja? Yang jelas dan pasti bahwa sikap tenang atau diam ini bukan
berarti setuju dengan keberadaan TOA itu. Sikap diam diambil mungkin karena
takut bila bereaksi yang seakan membangunkan singa lapar.
Ada beberapa pertanyaan penting. Apakah umat islam, secara khusus otoritas
islam Indonesia (MUI), sadar dan tahu bahwa keberadaan TOA itu sungguh
menggangu ketenangan dan kenyamanan umat non islam? Apakah di masjid itu harus
ada TOA? Apakah umat islam berdoa wajib menggunakan TOA? Apa yang menjadi
landasan umat islam harus memakai TOA?
Sangat menarik kalau kita membaca Alqur'an surah Táhá ayat 7. Menggunakan Alqur'an terjemahan Departemen Agama RI edisi tahun 2006, dalam QS Táhá ayat 7
dikatakan, “Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi.” Pada bagian bawah teks Alqur'an ada
catatan kaki yang menjelaskan maksud ayat ini, yaitu “tidak perlu mengeraskan
suara dalam berdoa karena Allah mendengar doa walaupun diucapkan dengan suara
rendah.”
Bagi umat islam, Alqur'an adalah suara Allah. Membaca surah Táhá ayat 7
ini orang dapat mengatakan bahwa Allah menghendaki umat-Nya berdoa dalam
ketenangan. Karena itu, surah ini dapat dijadikan landasan untuk “menghapus”
keberadaan TOA dari masjid sehingga terciptalah ketenangan dan kenyamanan bagi
warga non islam. Dengan “menghapus” keberadaan TOA, umat islam bukan sekedar
mengikuti perintah Allah, melainkan juga sekaligus menunjukkan sikap
toleransinya. Di sini akan terlihatlah bahwa islam memang merupakan agama rahmatan
lil alamin.
Menjadi pertanyaan, dimana posisi umat islam sebenarnya: penganggu
ketenangan orang lain atau toleran? Hanya umat islam saja yang tahu jawabannya.
Komentar
Posting Komentar