KAJIAN ISLAM ATAS SURAH ALI IMRAN AYAT 7
Dialah yang menurunkan Kitab (Alqur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Alqur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Alqur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. [QS Ali Imran: 7]
Kutipan
ayat Alqur’an di atas, pertama-tama
harus dipahami, merupakan wahyu Allah. Apa yang tertulis di atas (kecuali
beberapa kata yang berada di dalam tanda kurung) adalah kata-kata Allah
sendiri. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Alqur’an merupakan wahyu Allah
yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Wahyu Allah di atas terdapat dalam
surah Ali Imran, dimana surah ini masuk ke dalam kelompok surah Madaniyyah. ini
berarti kutipan wahyu Allah ini disampaikan kepada Muhammad saat berada di
Madinah.
Kutipan
ayat Alqur’an di atas didasarkan
pada “Alqur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun
2006”. Membaca ayat Alqur’an
di atas, sepintas tidak ada yang aneh. Semuanya wajar. Akan tetapi, jika
ditelaah dengan akal sehat, maka barulah ditemukan keanehannya. Dalam kutipan
wahyu Allah di atas terdapat 5 kalimat, namun dalam penelaahan ini, akan difokuskan
pada 2 kalimat pertama, yaitu [1] “Dialah
yang menurunkan Kitab (Alqur’an) kepadamu (Muhammad)”; dan [2] “Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Alqur’an) dan yang lain mutasyabihat.”
Tiga kalimat lainnya merupakan penjabaran langsung dari kalimat kedua.
Jika
kita langsung tertuju pada kalimat ini, maka sama sekali tidak ada yang aneh.
Kalimat pertama ini mau mengatakan bahwa Allah telah menurunkan Alqur’an kepada Muhammad. Kata “DIA”
di awal kalimat dengan sangat mudah ditafsirkan sebagai “ALLAH”, sedangkan kata
“Kitab” dipahami sebagai “Alqur’an”
dan kata ganti “mu” merujuk pada Muhammad (hal ini langsung ditegaskan dalam
kutipan tersebut). Namun menjadi aneh ketika kalimat pertama ini dipahami dalam
konteksnya, yaitu sebagai kalimat yang disampaikan oleh Allah. Jadi, pada waktu
itu Allah berfirman, “Dialah yang menurunkan
Kitab (Alqur’an) kepadamu (Muhammad).” Kata “DIA” di awal
kalimat tidak bisa dikaitkan dengan Allah yang sedang berbicara. Dari ilmu
bahasa, kata “DIA” merupakan kata ganti orang ketiga tunggal. DIA di sini
merujuk pada orang lain yang bukan sedang berbicara (AKU/SAYA atau KAMI/KITA)
dan bukan pula lawan bicara (ENGKAU/KAMU).
Kita
sudah sepakat bahwa Alqur’an adalah perkataan Allah sendiri, yang langsung disampaikan kepada
Muhammad. Karena itu, menjadi pertanyaan siapa yang Allah maksud dengan DIA
dalam kalimat pertama ini? Yang pasti DIA di sini bukanlah Allah yang sedang
berbicara, karena tidak masuk akal Allah yang berbicara menyebut DIA jika
memang yang dimaksud adalah diri-Nya sendiri. Jika Allah yang berbicara adalah
juga Allah yang menurunkan Alqur’an kepada Muhammad, maka seharusnya Allah menggunakan kata AKU atau
KAMI. Jika DIA ini tetap dimaknai sebagai Allah, maka logikanya ada 2 Allah,
yaitu yang satu Allah yang sedang berbicara dan yang kedua Allah yang
menurunkan Alqur’an.
Konsekuensinya, dalam islam ada 2 Allah, dan ini jelas-jelas bertentangan
dengan konsep tauhid.
Ada
umat islam mencoba menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa yang
berbicara saat itu bukanlah Allah, melainkan Malaikat Jibril. Tentulah hal ini
dipahami bahwa Malaikat Jibril hanyalah pembawa pesan Allah. Akan tetapi, hal
ini jelas bertentangan dengan paham “Alqur’an
adalah wahyu yang langsung dari Allah”. Jika mengatakan ayat di atas adalah
perkataan Malaikat Jibril, maka berarti Alqur’an tidak lagi wahyu yang langsung dari Allah atau Alqur’an adalah wahyu yang
bukan langsung dari Allah. Seandainya pun benar bahwa kutipan ayat di atas
merupakan kata-kata Malaikat Jibril, maka seharusnya, demi alasan etis,
Malaikat Jibril berkata, “Allah berfirman ……” Artinya, kalimatnya diawali
dengan “Allah berfirman”, sebagaimana yang terdapat dalam dalam QS al-Araf: 38
dan QS Yunus: 89. Faktanya, hal itu tidak terlihat, sehingga benar-benar
kalimat pertama ini sangat membingungkan bagi orang yang berakal. Karena itu,
kalimat pertama ini, secara tak langsung, bertentangan dengan kalimat kelima.
Bagaimana bisa mengambil pelajaran jika pelajaran yang disampaikan
membingungkan bagi orang yang berakal?
Sedikit
berbeda dengan kalimat pertama, membaca kalimat kedua orang dapat langsung
menemukan keanehan dan ketidak-masuk-akalan. Kalimat kedua ini mau mengatakan bahwa
dalam wahyu Allah, yaitu dalam Alqur’an,
ada ayat muhkamat,
dan ayat mutasyabihat. Sangat menarik kalau kita
membaca catatan kaki yang menerangkan arti kedua istilah ini dalam “Alqur’an dan Terjemahannya,
Departemen Agama RI, Edisi Terkini Revisi Tahun 2006”. Di sana dikatakan bahwa ayat muhkamat adalah
“ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah”,
sedangkan ayat mutasyabihat adalah “ayat-ayat yang mengandung beberapa
pengertian, sulit dipahami atau hanya Allah yang mengetahui.” Dalam Alqur’an dapat ditemukan beberapa
wahyu Allah yang masuk kategori mutasyabihat. Misalnya, ayat-ayat pembuka di
sekitar 25 surah. Pada catatan kaki no. 4 atas surah al-Baqarah, yang diambil
dari Alqur’an dan Terjemahannya,
Departemen Agama RI, dikatakan bahwa makna ayat tersebut “hanya Allah yang tahu”.
Dengan
demikian, kalimat kedua ini harus dipahami bahwa dalam Alqur’an itu ada wahyu Allah yang
tidak bisa dimengerti oleh manusia manapun, kecuali oleh Allah sendiri. Bagi
orang yang sudah sering membaca Alqur’an,
tentulah pernyataan Allah ini bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Karena
dalam beberapa wahyu-Nya, baik yang turun di Mekkah maupun di Madinah, Allah
berkata bahwa Alqur’an adalah kitab yang jelas. Artinya, wahyu Allah itu mudah dipahami.
Karena itu, perkataan Allah di atas jelas-jelas bertentangan dengan banyak
perkataan Allah lainnya.
Selain
itu, bagi orang yang mempunyai akal sehat tentulah kalimat kedua ini terasa
aneh, lucu dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin Allah menurunkan wahyu yang
maknanya tidak bisa dipahami manusia, kecuali oleh diri-Nya sendiri. Kenapa
Allah menyampaikan wahyu yang hanya bisa dimengerti oleh Allah sendiri? Lantas
untuk apa wahyu-wahyu tersebut? Apakah hanya sekedar memenuhi Alqur’an? Umat islam menilai Alqur’an itu sebagai pedoman,
tapi bagaimana umat bisa memahami pedoman itu jika hanya Allah saja yang tahu
artinya? Umat islam menilai Alqur’an adalah petunjuk, tapi apa yang bisa ditunjuki bila umat tidak paham
petunjuk itu? Umat islam menilai Alqur’an itu sebagai pelajaran, tapi pelajaran apa yang dapat diterima jika
pelajaran itu hanya Allah yang tahu maknanya? Karena itu, sama seperti kalimat
pertama, secara tak langsung, kalimat kedua ini bertentangan dengan kalimat
kelima.
Keberadaan
ayat mutasyabihat ini jelas membingungkan dan sungguh tak masuk akal. Hal ini
seperti seorang guru memberi pelajaran, tapi pelajaran itu cuma dia saja yang
bisa paham sedangkan para muridnya tidak sama sekali. Tentulah dalam dunia
pendidikan guru seperti ini tidak layak dipakai, atau malah dia bukanlah guru.
DEMIKIANLAH
telaah singkat atas QS Ali Imran: 7. Telaah hanya difokuskan pada 2 kalimat
pertama. Dari hasil penelaahan itu dapat ditemukan beberapa kesimpulan, pertama
betapa kacau balaunya wahyu Allah. Kekacauan itu membuat orang yang berakal
mengalami kebingungan. Kekacauan itu terlihat bukan saja pada ketidak-jelasan
tetapi juga dari adanya pertentangan pada wahyu Allah sendiri. Dan kesimpulan
terakhir, bagi orang yang berakal tentulah wahyu Allah ini sangat tidak masuk
di akal. Karena itu, jika mengacu pada keyakinan bahwa Allah itu mahabenar dan
maha sempurna, patutlah dikatakan kutipan ayat Alqur’an di atas bukanlah berasal dari Allah.
Komentar
Posting Komentar