KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 113
Dan orang Yahudi berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan orang-orang Nasrani (juga) berkata, “Orang-orang Yahudi tidak memiliki sesuatu (pegangan),” padahal mereka membaca Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan. (QS 2: 113)
Kutipan ayat di atas diambil dari Alqur’an surah al-Baqarah ayat 113. Karena Alqur’an diyakini merupakan wahyu yang langsung dari Allah, maka kutipan kalimat di atas harus dilihat sebagai perkataan Allah sendiri. Seperti itulah kata-kata Allah (kecuali 3 kata yang ada dalam tanda kurung), saat diucapkan-Nya kepada Muhammad. Dan Muhammad kemudian meminta pengikutnya untuk menulis kembali apa yang dikatakan Allah itu. Tulisan-tulisan itu kemudian dikumpulkan, dan jadilah kitab Alqur’an, seperti yang sekarang ini. Tiga kata dalam tanda kurung pada kutipan kalimat di atas, harus dilihat bukan sebagai kata-kata Allah, melainkan tambahan dari manusia dikemudian hari.
Bagi
umat islam, Alqur’an diyakini
sebagai pusat spiritualitas dan
dasar iman bagi hidupnya. Karena Allah itu mahabenar, maka
perkataan-Nya, yang tertulis di dalam Alqur’an
adalah
juga benar. Hal inilah yang kemudian membuat Alqur’an dikenal
sebagai kitab kebenaran. Jika ditanya kepada umat islam kenapa begitu, pastilah
mereka menjawab karena itulah yang dikatakan Alqur’an. Ini ibarat seseorang mengaku dirinya pintar karena
dia sendiri yang mengatakannya.
Jika mencermati kutipan wahyu Allah di atas, dapatlah
dikatakan bahwa kutipan tersebut tidak sepenuhnya berasal dari Allah.
Setidaknya kutipan di atas terdiri dari 3 kalimat. Dua kalimat pertama
merupakan pernyataan manusia yang bukan pengikut Muhammad, yang kebetulan
didengar oleh Allah. Kalimat pertama adalah kutipan langsung pernyataan orang
Yahudi dan Nasrani, dan Allah memberi sedikit penilaian atau tanggapan, “padahal
mereka membaca Kitab.” Sedangkan
kalimat kedua merupakan kutipan tidak langsung. Di sini Allah sama sekali tidak
memberi tanggapan atau penilaian. Jadi, terlihat jelas di sini
Allah
hanya sekedar mengutip kembali apa yang dikatakan orang-orang yang bukan islam dan
menyampaikannya kepada Muhammad.
Baru kalimat ketiga bisa dikatakan merupakan kata-kata Allah. Kalimat ketiga
ini menjadi tanggapan atas dua kalimat sebelumnya.
Kutipan perkataan Allah di atas sungguh menarik untuk
dicermati dan ditelaah. Agar bisa sedikit lebih fokus, maka penelaahan wahyu
Allah tersebut didasarkan pada kalimat-kalimat yang ada. Dengan perkataan lain,
penelaahan dilakukan kalimat per kalimat.
Pada kalimat pertama, tampak jelas kutipan langsung
pernyataan orang Yahudi dan Nasrani. Dapat dikatakan bahwa di sini terjadi pertentangan
dan persaingan antara orang Yahudi dan Nasrani, dan kebetulan Allah mendengar
lalu menyampaikannya kepada Muhammad. Yang dipertentangkan atau diperselisihkan
di antara dua kelompok ini adalah soal “pegangan”. Apa yang dimaksud dengan
“pegangan” itu? Tentu ini akan menjadi perdebatan, sekalipun atas perselisihan
itu Allah memberikan tanggapan-Nya bahwa orang Yahudi dan Nasrani membaca
Kitab. Akan tetapi, kitab apa yang dimaksud? Bukankah “kitab” itu juga bisa
menjadi bahan perselisihan, karena kitab Yahudi tentulah berbeda dengan kitab
Nasrani? Di sini terlihat bahwa tanggapan atau penilaian Allah ngawur atau
tidak jelas. Ketidak-jelasan yang diberikan Allah di sini membuat wahyu Allah
bertentangan dengan dirinya sendiri, karena Alqur’an dikatakan sebagai kitab atau keterangan yang
jelas, serta penjelasan yang sempurna (QS Ali Imran: 138 dan QS Ibrahim: 52).
Masih di kalimat pertama, kutipan langsung dari orang
Yahudi dan Nasrani dapat dinilai sebagai omongan orang “murahan”. Artinya, yang
mengatakan orang Nasrani atau orang Yahudi “tidak memiliki sesuatu
(pegangan)” itu ibarat diskusi
warung kopi, atau debat kusir, bukan berasal dari tokoh agama kedua agama
tersebut. Omongan-omongan tersebut sama sekali tidak mempunyai dasar resmi
ajaran agama; semuanya murni ungkapan emosional. Dan yang menariknya adalah
omongan ini yang didengar dan dipersoalkan oleh Allah. Hal yang sama juga
dengan kalimat kedua. Dalam kalimat tersebut, secara implisit terungkap Allah
mempersoalkan omongan orang yang tak berilmu. Ini mirip seperti seorang
professor menanggapi diskusi atau debat kusir anak SD. Wahyu Allah
ini, khususnya dua kalimat pertama,
kembali hendak menegaskan salah satu ciri khas Allah islam, yaitu sibuk
menanggapi pernyataan-pernyataan orang yang belum jelas juga kebenarannya. Gambaran Allah yang sibuk mengurusi
pernyataan-pernyataan orang non muslim banyak ditemukan dalam Alqur’an.
Selain itu, kalimat kedua juga mengungkapkan
ketidak-jelasan wahyu Allah ini. Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang tak
berilmu? Apa isi ucapan orang-orang itu, dan siapa yang dimaksud dengan kata
“mereka”? Jika memang benar Alqur’an adalah kitab atau keterangan yang jelas (QS Ali
Imran: 138 dan QS Ibrahim: 52), maka sudah seharusnya ketika menyampaikan
firman-Nya kepada Muhammad, Allah sudah langsung menegaskan sosok (entah itu
oknum atau kelompok) orang tidak berilmu, dan siapa yang dimaksud dengan
“mereka” serta apa isi ucapannya.
Kalimat ketiga berisi pernyataan Allah yang akan
mengadili atau menghakimi perselisihan antara orang Yahudi dan orang Nasrani,
termasuk juga orang-orang yang tak berilmu. “Maka Allah akan
mengadili mereka pada hari kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan.” Pengadilan tersebut akan terjadi pada akhir zaman.
Ada dua poin menarik dari wahyu Allah ini. Pertama,
dikatakan bahwa Allah akan mengadili. Pertama-tama harus disadari dan
dipahami bahwa yang mengucapkan kalimat tersebut adalah Allah. Jadi, Allah
menggunakan kata “Allah”, yang secara linguistik bisa dimaknai bahwa Allah yang
disebut itu bukanlah Allah yang sedang berbicara. Dengan kata lain, ada 2
Allah, yaitu Allah yang sedang berbicara dan Allah yang akan
mengadili. Allah yang akan
mengadili tidak sama dengan
Allah yang berbicara.
Kedua,
Allah yang mana, yang
akan mengadili kelompok-kelompok yang berselisih? Karena, bila dikaitkan dengan
ayat 112, terlihat jelas bahwa tiap-tiap agama memiliki Allahnya sendiri. Di
sini akan terlihat kekacauan pikiran Allah, yang sedang berbicara kepada
Muhammad. Apakah mungkin Allah orang Yahudi atau Allah orang Nasrani yang
mengadili perselisihan kelompok-kelompok itu? Tentulah, sangat sulit untuk
membayangkan hal ini. Namun, bila Allah islam yang melakukannya, semakin jelas ciri
khas Allah islam, yaitu
mahasibuk. Sepertinya Allah SWT tidak punya pekerjaan penting lain untuk umat
islam, sehingga sibuk mengurusi umat agama lain. Ciri
Allah ini menjadi ciri umum islam. Hanya islam saja agama yang sibuk mengurusi
agama lain. Misalnya, mengatakan kitab suci agama lain palsu, mengatakan yang
bukan islam adalah kafir atau mengatakan bahwa Yesus tidak mati di salib. Ada
kesan kalau ciri ini merasuk juga ke dalam kehidupan umat islam. Karena itu,
sekali pun sekolah negeri, tapi siswi non muslim wajib pakai jilbab demi
menciptakan akhlak; atau saat bulan Ramadhan umat lain harus menghormati umat
islam yang puasa.
DEMIKIANLAH kajian atas surah al-Baqarah ayat 113. Dalam
kutipan wahyu Allah ini
tidak ditemukan nilai atau pesan berharga sebagai pedoman hidup. Tidak ada
pesan untuk membangun umat islam. Yang justru ada adalah semangat mengurusi atau mencampuri urusan orang lain. Di sini Allah islam terlihat arogan. Selain itu,
terlihat juga adanya ketidak-jelasan wahyu Allah ini. Hal
inilah membuat Alqur’an yang
dinilai sebagai keterangan yang jelas menjadi tidak jelas. Namun sayangnya,
umat islam tetap saja yakin bahwa wahyu Allah itu jelas. Dapatlah dikatakan bahwa yang
pasti jelas itu adalah
ketidak-jelasan.
Di atas sudah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas adalah perkataan Allah
sendiri. Namun ketika ditelaah terlihat Allah begitu bodoh alias tidak bijaksana. Hal ini tentulah membuat orang akan meragukan kalau ayat itu berasal dari Allah. Bagaimana mungkin Allah
yang maha bijaksana bisa tampil bodoh. Bagaimana mungkin Allah yang maha sempurna bisa tidak jelas. Bagi orang yang punya akal sehat
pastilah akan mengatakan bahwa kutipan ayat di atas bukanlah merupakan wahyu Allah, tetapi hasil rekayasa manusia.
Hanya manusia yang suka sibuk mencampuri urusan orang lain. Dan hanya manusia
saja, yang karena keterbatasannya, bisa tampil bodoh. Dan manusia yang bertanggung jawab dalam hal ini
adalah Muhammad.
Komentar
Posting Komentar