SELALU ADA UJARAN KEBENCIAN DALAM CERAMAH KEAGAMAAN ISLAM
Masalah ujaran kebencian memang sudah diatur dalam undang-undang. Bahkan
pihak kepolisian menambah dengan surat edaran no. SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu, disebutkan tujuan dari
peraturan ini. Salah satunya adalah demi terpeliharanya kerukunan hidup
berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman
kelompok dalam bangsa.
Akan tetapi, bisakah masalah ujaran kebencian ini ditangani secara baik dan benar? Ada satu topik ujaran kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan, yaitu ceramah keagamaan.
Pada poin 2 (g) surat edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran
Kebencian dikatakan bahwa ujaran kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut
kebencian terhadap orang dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa
aspek, salah satunya adalah agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan cara
penyampaian ujaran kebencian itu, yang di antaranya adalah ceramah keagamaan.
Jadi, ujaran kebencian itu bisa terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut
rasa benci kepada sekelompok agama tertentu.
Menjadi persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran
agama bisa dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak
ajaran islam, yang ada dalam Alqur’an bersinggungan dengan agama lain, yang
jika dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan.
Misalnya, ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau ustad atau si
penceramah akan mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu
salib. Yang mati di kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Jika
orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Basuki Tjahaya Purnama
telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka hal demikian pula seharusnya terjadi.
Menjadi persoalannya, bisakah ustad atau penceramahnya dijerat dengan kasus
penistaan agama? Tentu saja tidak mungkin, karena si ustad atau penceramah
tengah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat ustad atau penceramah dengan
jerat ujaran kebencian sama saja berarti menjerat ajaran agamanya. Apakah ini
bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.
Atau ketika membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan
mengatakan bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga
akan mengutip surah al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya. Jika
orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Basuki Tjahaya Purnama
telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka orang kristen juga bisa
menjerat si penceramah telah melakukan penistaan agama. Menjadi persoalannya,
bisakah penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu saja tidak
mungkin, karena si penceramah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat penceramah
dengan jerat ujaran kebencian sama saja dengan menjerat ajaran agamanya. Apakah
ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.
Inilah contoh betapa peliknya menangani kasus ujaran kebencian, apalagi yang berbasis agama. Ajaran agama islam penuh dengan kebencian (meski tak menutup juga ada yang positif). Kata "kafir" yang tersebar di Alqur'an dan biasa dipakai oleh umat islam, merupakan bentuk penghinaan, yang dapat disamakan dengan ujaran kebencian. Bagaimana mungkin menjerat seseorang dengan pasal ujaran kebencian, padahal orang itu sedang menyampaikan pengajaran agamanya dalam sebuah ceramah keagamaan. Seorang tokoh agama punya kewajiban untuk menyampaikan ajaran agamanya, karena itu sudah merupakan perintah Allah. Nah, apakah karena penyampaian dalam ceramah itu dia harus ditangkap dan diproses hukum?
Komentar
Posting Komentar