MEMPERTANYAKAN KONSEP TAUHID ISLAM
Tauhid merupakan konsep teologis dalam islam yang meyakini bahwa Allah itu esa. Kata ‘esa’ di sini dipahami sebagai ‘satu’. Karena itu, umat islam percaya bahwa Allah itu hanya SATU. Dan umat islam percaya hanya kepada SATU Tuhan, yang biasa disapa Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dasar ketauhidan islam ini adalah perkataan Allah SWT dimana “tidak ada tuhan selain Dia” (QS al-Baqarah: 255; QS Ali Imran: 2; bdk. QS al-Ikhlas: 1). Jadi, kepercayaan umat islam bahwa Allahnya itu satu hanya didasarkan pada perkataan Allah sendiri. Hanya Allah SWT saja satu-satunya Allah. Tidak ada lain lagi.
Para
umumnya, kata ‘tauhid’ diidentikkan dengan monoteisme. Dengan konsep ini, maka
islam disejajarkan dengan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, pemaknaan dan
pemahaman ‘tauhid’ ini ternyata tidak berhenti pada pengertian SATU saja. Patut
diakui bahwa monoteisme islam berbeda dengan monoteisme Yahudi dan Kristen.
Dari perkataan-perkataan Allah sendiri, yang tertuang di dalam Alquran, kita
akan memahami makna tauhid tersebut.
1. Mengakui
Allah lain di luar islam
Konsep
tauhid, dimana Allah itu hanya ada SATU hanya berlaku bagi umat islam saja.
Artinya, Allah umat islam itu memang hanya satu, dan tidak ada allah lain dalam
islam. Dalam islam, adalah dosa berat jika orang menduakan atau mempersekutukan
Allah. Ini dikenal dengan dosa musyrik, dan yang melakukan itu disebut kaum musyrikin. Untuk membela ketauhidan, Allah SWT sudah
memperintahkan umat islam untuk menangkap dan membunuh orang musyrikin itu dimana saja dijumpai (QS at-Taubah: 5).
Meskipun
demikian, harus diakui bahwa ternyata islam mengakui juga Allah-allah lain di
luar islam. Islam percaya ada Tuhan pada umat agama lain selain islam; bahwa
tiap-tiap agama mempunyai Allah-nya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari wahyu
Allah SWT sendiri. Misalnya, QS al-Baqarah: 62 berbunyi,
Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya….
Ada kemungkinan bahwa wahyu
Allah SWT ini bersifat publik, tidak hanya khusus umat islam saja. Kata
“Tuhannya” menunjukkan sekaligus menegaskan bahwa Tuhan itu berbeda-beda
berdasarkan agama umat manusia. Dengan wahyu ini, umat agama lain disadarkan
bahwa mereka juga mendapat pahala dari Tuhannya atas kebaikan yang dilakukan.
Dengan kata lain, Tuhan dari masing-masing pemeluk agama akan mengganjar pahala
jika umatnya melakukan kebaikan.
Karena itu, dapat
disimpulkan bahwa setiap agama mempunyai Tuhannya sendiri, yang berbeda satu
dengan yang lain. Agama islam memiliki Tuhannya sendiri, agama Yahudi punya
Tuhannya sendiri, agama Kristen ada Tuhannya sendiri dan agama Sabiin juga
memiliki Tuhannya sendiri. Agama lain juga demikian. Di sini terlihat jelas
bahwa konsep monoteisme islam berbeda dengan monoteisme Kristen dan Yahudi,
dimana Allah itu berlaku untuk semua umat manusia. Allah yang diimani umat
kristiani adalah juga Allah yang diimani umat agama lain.
Dengan demikian, konsep
tauhid hanya sebatas mengungkapkan relasi khusus dengan Allah SWT saja, belum
diikuti dengan negasi akan adanya allah-allah lain. Diandaikan bahwa
allah-allah lain itu juga ada dan diakui, tapi tidak diimani atau disembah.
Dengan perkataan lain, islam mengakui pula pelbagai manifestasi Allah lain.
Konsep ini sebenarnya belum benar-benar monoteisme, melainkan henoteisme atau lebih tepat disebut monolatri, pengabdian eksklusif kepada
Allah SWT, satu-satunya Allah yang diimani dan disembah, yang berbeda dengan
allah-allah lain.
2. Allah
islam ada dua
Konsep
tauhid memaksa umat islam percaya bahwa Allah yang mereka percaya dan mereka
sembah adalah Allah yang SATU, yaitu Allah SWT. Mereka percaya ini karena
memang sudah dikatakan begitu oleh Allah sendiri yang tertulis dalam Alquran.
Akan tetapi, jika perkataan Allah itu ditelaah secara kritis, tentunya dengan
menggunakan akal budi yang sehat, maka akan ditemui fakta lain bahwa ternyata
Allah islam itu ada DUA. Ambil contoh surah al-Baqarah: 33 – 34 yang berbunyi,
Dia (Allah) berfirman “Wahai Adam!”
Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!” Setelah dia (Adam) menyebutkan
nama-namanya, Dia berfirman, “Bukankah telah Aku katakan
kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa
yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali
Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.
Di
sini kutipan wahyu Allah di atas akan dikritisi dengan menggunakan telaah
linguistik, khususnya tinjauan atas kata ganti yang merujuk pada sosok Allah. Sekedar diketahui, ada 4 kata ganti orang, yang dipakai untuk menyebut
sosok orang di luar diri saya. Ada kata ganti kamu, engkau (kata
ganti orang kedua tunggal), kalian (kata ganti orang kedua
jamak), dia, ia (kata ganti orang ketiga tunggal), dan mereka (kata
ganti orang ketiga jamak). Kata “kami” adalah kata ganti orang ketiga jamak,
lebih dari satu. Dalam kata “kami” bisa termasuk saya dan engkau,
bisa juga saya, engkau dan dia, atau hanya saya dan dia. Dalam
kutipan di atas, ada dua kata ganti Allah yang dipakai, yaitu Dia dan Kami.
Dalam ayat 34, Allah menggunakan kata “kami”. Seperti yang sudah dijelaskan
bahwa kata “kami” merupakan kata ganti jamak. Tentu umat islam
membela dengan mengatakan bahwa kata “kami” dipakai sebagai ganti kata “saya”
atau “aku”, yang memberi nada sopan atau halus. Memang dalam bahasa Indonesia
juga kata “kami” biasa dipakai untuk memperhalus kata “saya” atau “aku” yang
terkesan angkuh. Menjadi pertanyaan, jika benar kata itu dipakai untuk
memperhalus, kenapa dalam ayat-ayat lainnya Allah menggunakan kata “Aku”?
Apakah di sini Allah SWT mau menunjukkan keangkuhan-Nya? Dalam surah al-Baqarah
saja, setidaknya Allah menggunakan 8 kali kata “Aku”. Jika memang alergi dengan
kata “aku” yang terkesan angkuh, seharusnya ketika berfirman Allah memakai kata
“kami” saja agar kelihatan juga konsistensinya.
Benarkah kata “kami” yang dipakai Allah
bertujuan untuk memperhalus kata? Jika kita kaitkan dengan ayat sebelumnya (ay.
33), kata “kami” benar-benar menunjukkan adanya sosok allah lain, yaitu Dia.
Dalam ayat 33, Allah memakai kata ganti “dia”. Dalam tata bahasa, kata “dia”
merupakan kata ganti orang ketiga tunggal. Artinya, sosok orang di luar diri
saya dalam jumlah satu. Jika kita membaca sungguh ayat 33 ini dan memahami
bahasanya, maka kita dapat mengatakan bahwa pada waktu itu Allah menyebut ada
allah lain yang berkata kepada Adam, Wahai Adam!.... Jika yang
berfirman itu allah yang sama, maka Allah akan berkata kepada Muhammad, Kami
berfirman, “Wahai Adam!....” Terdengar aneh, lucu dan tak masuk akal kalau
Allah sendiri berbicara tapi menggunakan kata ganti “dia” untuk diri-Nya
sendiri. Kata “Kami” dalam ayat 34 hendak menjelaskan sosok Allah sendiri dan
Dia (allah yang lain). Karena itu, kata “Kami” yang digunakan di sini
benar-benar menggambarkan kejamakan, bukan memperhalus kata. Dengan kata lain,
ada DUA Allah, bukan SATU.
DARI dua poin penjelasan di atas, terlihat
jelas betapa membingungkannya konsep tauhid islam ini. Konsep tauhid islam
ternyata tidaklah murni monoteisme karena islam masih mengakui juga keberadaan
Allah-allah lain yang diimani dan disembah oleh umat agama lain. Konsep tauhid
hanya mau “memaksa” umat islam untuk menyembah dan mengimani Allahnya saja,
yang biasa disebut Allah SWT. Atau dapat dikatakan bahwa Allah SWT hanya
ekslusif bagi umat islam, tidak untuk umat agama lain.
Selain itu, dalam konsep tauhid itu, di satu sisi mengatakan hanya percaya pada SATU Allah saja, sehingga yang menduakan Allah dianggap dosa berat dan harus dibunuh, tapi di sisi lain mengakui juga adanya Allah yang lain selain yang SATU tadi. Jika Alquran diyakini berasal dari Allah, maka harus dikatakan bahwa yang mengatakan adanya Allah lain itu adalah Allah sendiri. Hal ini terungkap secara implisit dalam Alquran, yang baru bisa diketahui bila diadakan telaah kritis linguistik. Allah yang lain itu juga diimani dan disembah oleh umat islam. Dengan demikian, Allah yang disembah dan diimani umat islam BUKAN SATU TETAPI DUA.
Komentar
Posting Komentar