INI ALASAN GRAMEDIA MEMBAKAR BUKUNYA
Sekitar minggu pertama bulan Maret 2012, Gramedia menerbitkan sebuah buku
karya terjemahan karangan Douglas Wilson dengan judul “5 Kota Paling
Berpengaruh di Dunia”. Minggu kedua Maret buku terjemahan itu mulai diedarkan.
Dari data, Gramedia mencetak buku itu sebanyak 3.000 eksemplar; dan buku yang
sudah laku terjual hingga awal Juni sebanyak 489 eksemplar.
Pada hari Senin, 11 Juni 2012, seorang warga bernama Irwan Arsidi melapor
Gramedia Pustaka Utama ke Polda Metro Jaya, berkaitan dengan isi buku
terjemahan itu. Pihak Gramedia (ada 3 orang) disangkakan telah melakukan
kejahatan terhadap ketertiban umum atau dikenai pasal 156 ayat a, pasal 157
ayat 1 dan pasal 484 ayat 2 KUHP.
Pangkal masalah terdapat pada halaman 24 buku itu, di mana ada tulisan
tentang nabi Muhammad SAW yang bertentangan dengan fakta, berkaitan dengan
aktivitas beliau di kota Madinah. Bagi Irwan Arsidi uraian tersebut merupakan
bentuk penghinaan dan bertentangan dengan agama islam. Irwan merasa dirugikan
dengan beredarnya buku itu. Seperti tak mau kalah dengan umatnya, MUI juga
mengharapkan adanya tindakan disiplin oleh kalangan internal Gramedia terhadap
pihak yang dilaporkan.
Agar tidak berdampak lebih luas dan lebih buruk, maka Gramedia Pustaka
Utama langsung beraksi. Mereka langsung menarik kembali buku tersebut dan
meminta maaf kepada seluruh umat islam di Indonesia. Direktur Utama PT Gramedia
Pustaka Utama mengakui keteledoran penerbit karena menerjemahkan buku sesuai
dengan buku aslinya. Artinya, mereka menerjemahkan isi buku apa adanya. Setelah
meminta maaf dan menarik buku dari peredaran, pihak Gramedia langsung
memusnahkan buku yang aslinya berjudul “5 Cities That Ruled the World”.
Maka pada 13 Juni lalu, disaksikan beberapa pengurus MUI, Gramedia membakar 216
eksemplar. Sebelumnya Gramedia sudah memusnahkan 1.000 buku. Yang lain masih
dalam perjalanan.
Melihat Sisi
Gramedia
Gramedia adalah simbol industri buku. Berbicara tentang Gramedia tak
mungkin dipisahkan dari buku. Gramedia merupakan penerbit buku yang terbesar di
Indonesia. Buku terbitan Gramedia selalu bermutu, bukan cuma kualitas cetakan
melainkan juga isi bukunya. Gramedia memang identik dengan buku berkualitas.
Karena itu adalah tugas dan tanggung jawab Gramedia untuk menghadirkan
buku-buku berkualitas. Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat eksternal, yaitu
kepada para pembeli/pembaca, tetapi juga bersifat internal. Tentulah hanya
naskah-naskah yang berkualitas yang akan mereka cetak dan terbitkan. Untuk hal
ini tentulah ada ahlinya. Mereka dengan bertanggung jawab akan berusaha
mencari, melihat dan menyeleksi naskah-naskah buku yang bermutu.
Dari sini kita dapat mengajukan pertanyaan, salahkah pihak Gramedia dengan
terbitnya buku terjemahan itu? Berkaitan dengan materi laporan Irwan, saya sama
sekali tidak tahu karena saya buta hukum. Akan tetapi kalau dikaitkan penilaian
Irwan bahwa pihak Gramedia melakukan penghinaan dan bahwa isi buku tersebut
bertentangan dengan agama islam, saya bisa katakan Gramedia tidak salah.
Terhadap buku-buku berbahasa asing, pihak Gramedia hanya menerjemahkannya
saja. Demikian terhadap buku karya Douglas Wilson. Seperti yang dikatakan
Direktur Utama PT GPU, untuk buku karya Douglas tersebut pihak Gramedia hanya
menerjemahkannya apa adanya. Jadi, terjemahan itu sesuai dengan aslinya.
Gramedia menampilkan isi buku Douglas apa adanya. Di mana letak kesalahan
Gramedia? Siapa yang melakukan penghinaan? Apakah Gramedia sudah mengubah
terjemahannya sehingga isinya ada yang tidak sesuai dengan fakta dan agama
islam?
Bagi saya pribadi, jika Gramedia tidak menerjemahkan sesuai dengan aslinya
sehingga uraian hasil terjemahan itu bertentangan dengan agama islam barulah
pihak Gramedia salah. Artinya, bahwa naskah asli buku Douglas sudah sesuai
dengan fakta dan agama islam, lalu diterjemahkan oleh Gramedia tidak sesuai
dengan aslinya sehingga ada penyimpangan terjemahan, yang berdampak juga pada pernyimpangan
lainnya, maka pihak Gramedia dapat disalahkan. Yang terjadi (ini masih menurut
pengakuan Direktur Utama PT GPU) adalah pihak Gramedia menerjemahkan buku itu
apa adanya, sesuai dengan aslinya. Jadi tidak ada salah dalam terjemahan.
Kalau begitu, tidak tepatlah tuntutan Irwan Arsidi dan MUI terhadap
Gramedia. Konon ide pemusnahan buku tersebut berasal dari MUI. Pihak Gramedia
tak salah. Yang salah adalah Douglas Wilson, sang penulis buku itu. Karena itu,
tuntutan harusnya dilayangkan kepada penulis buku itu, bukan kepada penerjemah
atau pun penerbit buku terjemahan itu.
Akan tetapi, mengapa Gramedia tetap memusnahkan buku itu?
Saya langsung teringat akan peristiwa tabloid Monitor edisi
15 Oktober 1990 yang memuat hasil polling bertajuk “Kagum 5 Juta”. Hasil
polling yang tentu juga melibatkan umat islam dan monitor hanya
menampung hasilnya, dinilai umat islam melecehkan nabi Muhammad. Massa umat
islam mengamuk dan mengobrak-abrik kantor Monitor. Akhirnya Monitor dibredel
dan Arswendo mendekap dalam penjara untuk beberapa tahun.
Kiranya memori ini masih membekas pada pihak Gramedia. Mereka takut
berhadapan dengan massa islam. Seolah-olah ada kesan begini terhadap umat
islam: “Kami mayoritas. Kami punya massa. Jangan main-main dengan kami. Loe silap
kami sikat!” Karena itulah, pihak Gramedia akhirnya memilih jalan aman: segera
memusnahkan buku-buku terjemahan itu. Gramedia takut bukan karena salah, tetapi
karena resikonya sangat besar. Sekalipun benar, Gramedia memilih amannya saja.
Tindakan yang
Disayangkan
Ketika akhirnya Gramedia memilih memusnahkan buku terjemahan itu, saya
pribadi sangat menyayangkan tindakan itu. Memang harus diakui bahwa Gramedia
melakukan tindakan itu karena ditekan oleh ketakutan pada massa islam. Kejadian
yang menimpa “anak” mereka Tabloid Monitor benar-benar masih
membekas. Padahal Gramedia tidak salah. Mereka hanya menerjemahkan saja.
Kecuali kalau terjemahan itu yang salah, tidak sesuai dengan aslinya dan
bertentangan dengan agama islam.
Apa yang dilakukan oleh Gramedia ini bukanlah baru kali ini saja. Sudah
begitu banyak Gramedia menerbitkan buku yang bertentangan dengan agama. Hanya
selama ini belum pernah menyinggung agama islam. Dulu Gramedia pernah
menerbitkan buku terjemahan tentang makam keluarga Yesus yang pernah dimuat di National
Geographic. Jelas, isi buku tersebut bertentangan keyakinan umat kristen
selama ini. Gramedia juga pernah menerbitkan karya Anand Krisna Sabda
Pencerahan Ulasan Khotbah Yesus Di Atas Bukit Bagi Orang Modern dan
Isa: Hidup dan Ajaran Sang Masiha. Bagi umat kristen dua buku ini
bertentangan dengan fakta sejarah dan ajaran kristiani.
Akan tetapi umat kristen tidak mengamuk atau menuntut agar pihak Gramedia
memusnahkan buku-buku yang telah melecehkan agama kristen. Gramedia juga tak
pernah mengeluarkan pernyataan maaf telah menerbitkan buku itu. Apakah umat
kristen tidak punya power? Saya pikir bukan itu masalahnya. Umat kristen lebih
memilih cara terpuji dan terdidik: buku dilawan dengan buku. Maka terhadap
buku-buku yang dinilai telah bertentangan dengan agama kristen, dikeluarkanlah
buku-buku yang melawan balik isi buku tersebut. Bukan dengan emosional yang
membabibuta, melainkan dengan cara ilmiah. Dari sini umat diajak untuk berpikir
kritis. Setelah membaca dua buku yang saling bertentangan, umat sendiri akan
menilai dan menemukan kebenaran.
Karena itu, sangat bijak kalau umat islam membuat buku yang menyatakan
bahwa buku karya Douglas Wilson adalah keliru. Dan dalam uraian itu tentulah
sangat diharapkan disertakan data-data akurat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena dalam bukunya tentulah Douglas menyertakan data pustaka. Jadi, buku
terjemahan itu tetap dibiarkan dan munculkan buku “tandingan”. Biarkanlah umat
sendiri yang menilai dan menemukan kebenarannya. Dengan ini tampak jelas bahwa
buku benar-benar mencerdaskan bangsa.
Komentar
Posting Komentar