KENAPA GRAMEDIA DILAPORKAN, SEDANG MIZAN DIBIARKAN
Gramedia
dan Mizan adalah dua penerbit yang cukup terkenal. Gramedia jauh lebih dahulu
dikenal publik ketimbang Mizan. Memperhatikan judul tulisan ini terkesan bahwa
kedua penerbit ini terlibat dalam persaingan (meski dalam dunia bisnis,
persaingan itu tak terhindari), namun bukan dalam kontek itu maksud tulisan
ini. Tulisan ini hanya mau menampilkan perbedaan yang diterima oleh kedua
penerbit ini dalam karyanya.
Tentu kita masih ingat pada peristiwa “Gramedia
Membakar Buku” pada 13 Juli lalu. (tentang hal ini klik di Kompasiana atau di Blog saya). Gramedia membakar buku
karya Douglas Wilson dengan judul “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia”. Buku,
yang merupakan buku terjemahan, diterbitkan Gramedia pada minggu pertama bulan
Maret 2012. Buku ini bukanlah merupakan buku agama, melainkan buku sejarah
umum, yang mengungkap lima kota berpengaruh di dunia. Pengaruh kota itu
tentulah tak lepas dari peran manusia; dan manusia ini memiliki latar belakang
peran. Ada yang berperan sebagai tokoh politik, agama, ilmuwan, dll.
Pada hari Senin, 11 Juni 2012, Irwan Arsidi melapor
Gramedia Pustaka Utama ke Polda Metro Jaya, berkaitan dengan isi buku
terjemahan itu. Pangkal masalah terdapat pada halaman 24 buku itu, di mana ada
tulisan tentang nabi Muhammad SAW, yang bagi Irwan dianggap sebagai bentuk
penghinaan dan bertentangan dengan agama islam. Irwan merasa dirugikan dengan
beredarnya buku itu. Seperti tak mau kalah dengan umatnya, MUI juga
mengharapkan adanya tindakan disiplin oleh kalangan internal Gramedia terhadap
pihak yang dilaporkan.
Agar tidak berdampak luas, segera Gramedia bertindak,
yang bagi banyak kalangan dinilai ekstrim, dengan menarik buku Douglas Wilson
dari peredaran dan membakarnya. Pada 13 Juni, disaksikan beberapa pengurus MUI,
Gramedia membakar 216 eksemplar. Sebelumnya Gramedia sudah memusnahkan 1.000
buku. Dampak luas yang dimaksud adalah ketakutan Gramedia akan adanya demo yang
berujung pada penutupan Gramedia itu sendiri. Tentulah tragedi Monitor edisi 15
Oktober 1990 masih membekas dalam memori mereka.
Nasib berbeda dialami oleh penerbit Mizan. Pada April
2012 Mizan menerbitkan buku terjemahan karya Louay Fatoohi, “The Mystery of
Historical Jesus”. Tampak sekali kalau isi buku itu bakal bertentangan
dengan ajaran agama kristen; dan jika memakai cara pandang Irwan, hal itu dapat
dinilai sebagai bentuk penghinaan. Akan tetapi, buku itu bebas dijual di toko
buku mana saja.
Apakah karena tidak ada laporan dari umat kristen?
Pertanyaannya adalah kenapa orang kristen tidak membuat laporan ke kepolisian?
Ada beberapa kemungkinan: pertama, orang
kristen mengikuti ajaran agamanya supaya umat kristen memberkati orang yang
menghina, menindas atau menyiksa; bukan mengutuk. Tentu ini mendapat
pendasarannya dari ajaran Yesus Kristus, “Janganlah kamu melawan orang yang
berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah
juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5: 39). Kedua, mungkin
orang kristen sudah dewasa dalam berpikir. Kedewasaan ini membuat mereka tahu
mana yang baik dan buruk; mana yang benar dan tidak benar. Kedewasaan berpikir
ini juga melahirkan sikap kompetitif, membiarkan buku-buku beredar dan
mempersilahkan orang untuk membandingkan. Dari sinilah orang dapat menemukan
kebenaran.
Dari dua kemungkinan di atas, muncullah kemungkinan ketiga,
yaitu orang kristen dapat menerima perbedaan. Kemampuan ini mungkin dilandaskan
pada prinsip, "Itu pendapatmu, pendapat kami begini." Dari sinilah
akhirnya orang kristen mau menghargai pendapat orang lain yang, bukan hanya
sekedar berbeda tetapi bernada menghina atau melecehkan. Orang kristen tidak
mau memaksakan pendapatnya. Berbeda dengan orang islam yang tidak bisa menerima
perbedaan dan justru memaksakan kemauannya. Kasus buku 5 Kota di atas adalah
salah satu buktinya. Yang berbeda, berkaitan dengan agama, dianggap menghina
sehingga harus diberantas. Orang lain harus menerima fakta yang sesuai dengan
mereka.
Tidak adanya laporan bukan berarti tidak adanya
penghinaan dalam buku itu (jika memakai cara pikir Irwan). Namun yang pasti
buku itu bebas beredar hanya karena tidak terlihat jelas menghina agama islam.
Padahal, jika buku itu dibaca dengan teliti dan kritis, dapat saja disimpulkan
bahwa buku itu menghina agama islam.
Jadi, tampak jelas adanya perlakuan yang berbeda
diterima oleh dua penerbit ini. Gramedia, ketika sedikit saja menyinggung agama
islam, langsung menjadi berita heboh, sementara Mizan, ketika terang-terangan
menyinggung agama kristen, tidak mendapat hambatan. Akan tetapi, bukan cuma
buku Fatoohi saja yang menjadi obyek pembicaraan kita. Kalau kita buka situs basweidan.wordpress.com, di sana ada
sekitar 59 buku terbitan Mizan, yang bagi pemilik situs itu dinilai berbahaya
bagi umat islam. Salah satu buku, dengan judul "Dialog Sunnah-Syiah"
ditulis oleh A. Syarafuddin Al-Musawi, dilarang beredar di Malaysia karena
bertentangan dengan ajaran agama islam. Anehnya, di Malaysia dilarang beredar
karena bertentangan dengan ajaran agama, di Indonesia bebas beredar. Apakah
karena sesuai dengan ajaran agama sehingga tidak dilarang?
Menjadi pertanyaan kita, kenapa sikap islam terhadap
Gramedia berbeda dengan sikap Mizan? Kenapa kepada Gramedia dilaporkan kepada
kepolisian, sementara yang lain tidak? Kenapa terhadap Gramedia, MUI menuntut
adanya tindakan disiplin oleh kalangan internal Gramedia, sementara Mizan
tidak?
Komentar
Posting Komentar