KETIKA MANTAN PENTOLAN FPI BICARA SOAL FPI
Belum
lama ini para peserta ‘Promoting
and Protecting Freedom of Religion or Belief and Countering Religious
Intolerance’ diajak berkunjung ke Kota Kembang, Bandung. Kali ini, puluhan
aktivis lintas iman dipertemukan dengan mantan pemimpin Front Pembela Islam
(FPI), Syaiful. Sudah menjadi rahasia umum bahwa FPI terkenal dengan intoleransinya dengan mengatas-namakan islam.
Di
dalam aula masjid Al Mubarak, kepada tamu-tamu dari Myanmar dan Jakarta,
Syaiful menceritakan perjalanan hidupnya dalam memaknai islam. “Saya bersyukur kepada
Tuhan, pada umur 66 tahun ini saya diberikan pencerahan setelah sempat menjadi
anggota FPI selama beberapa tahun dari tahun 2005,” ucap Syaiful mengawali
perbincangan.
Syaiful
mengakui, selama mengaji di Petamburan, Jakarta, ia diindoktrinasi untuk melihat
orang yang berbeda keyakinan sebagai kafir. “Saking ekstremnya, hingga para
santri FPI gak mau belajar bahasa Inggris karena dianggap bahasa orang kafir,”
kata Syaiful.
Cara
pandang yang ditularkan FPI, menurut Syaiful, membuat umat muslim melihat perbedaan
dalam memaknai agama dan keberagaman dalam kacamata hitam putih. “Dulu saya
melihat hitam putih pada muslim yang berbeda terutama pada kawan-kawan Syiah
dan Ahmadiyah,” tuturnya sambil melirik pada salah satu petinggi Ahmadiyah di
kota Bandung yang juga turut hadir siang itu.
Namun,
meski senantiasa mengucapkan takbir, kala itu Syaiful mengaku merasa ada yang
keliru dengan cara pandang demikian. “Sebetulnya saya merasa tidak nyaman saat
itu dengan mengkafir-kafirkan orang,” ujarnya. Karena itu, ia mulai mempelajari
dan membaca tafsir-tafsir dan buku-buku yang secara serius membahas islam.
“Saya
pun merenung dan akhirnya menemukan bahwa setiap manusia berusaha untuk
mencapai Tuhan. Karena itu, kenapa kita harus bertengkar karena keyakinan
kita,” ucap Syaiful di hadapan peserta.
Sejak
saat itulah, Syaiful mulai mengalami pergantian corak pandang keagamaan dari
pembenci perbedaan ke pecinta keberagaman. Kini, Syaiful mengaku aktif dalam
mempromosikan perdamaian antarumat beragama di Bandung. “Saya merasa gerakan
kerukunan umat beragama harus diperbesar,” tegasnya. Tak jarang Syaiful
mengajak kawan-kawannya di FPI agar menanggalkan kekerasan.
“Saya
bilang pada kawan-kawan saya di FPI agar tak apalah jika orang-orang Syiah dan
Ahmadiyah atau Kristen berbeda, tapi jangan ganggu mereka,” tutur Syaiful.
Menurut
Syaiful, permasalahan yang di kelompok islam radikal adalah terlalu terfokus
pada soal fikih. “Padahal inti ajaran islam dari semua mazhab demikian pula
semua agama adalah akhlak, moralitas. Kalau belajar dari akhlak perbedaan tak
mungkin jadi masalah. Jadi, kenapa kita tidak beragama memulai dari akhlak
terlebih dahulu,” kata Syaiful.
Lebih
lanjut Syaiful menilai dalam semangat toleransi antarumat beragama, peran
negara amat krusial. “Yang paling penting adalah pemerintah. Kalau pemerintah
berkomitmen pada penegakan hokum, saya yakin minoritas tidak akan mengalami
persekusi,” ucap Syaiful dengan percaya diri.
Acara
dialog diakhiri dengan berfoto bersama di depan mesjid Al Mubarak Ahmadiyah.
Seusai dari mesjid Ahmadiyah, para peserta diboyong panitia dari Persekutuan
Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Christian Solidarity Worldwide (CSW)
ke Saung Angklung Udjo. Ada yang menarik dari ujaran anak pendiri Saung
Angklung Udjo yang kebetulan mengisi salah satu bagian acara. “Tidak peduli
warna kulit, agama, etnis, di Saung Udjo kita ingin bernyanyi dan
bersenang-senang bersama,” ujarnya.
Komentar
Posting Komentar