SEJARAH TEROR: Jalan Panjang Menuju 11/9
Dalam buku KUDETA MEKKAH
dikatakan bahwa aksi yang dilakukan Juhaiman menjadi cikal bakal tragedi 11
September. Karena itu, bisa dikatakan bahwa buku SEJARAH TEROR merupakan
kelanjutan dari KUDETA MEKKAH. Dan ternyata apa yang dikatakan Yaroslav
Trofimov dalam bukunya “Kudeta Mekkah” benar, yaitu ada kaitan antara aksi
Juhaiman dan tragedi 11 September, yang dilakukan oleh al-Qaeda.
Meski buku ini terbilang
bagus, namun masih terdapat beberapa kekurangan. Pertama, judulnya
“Sejarah Teror” agak tendensius, karena seakan-akan hanya islam saja yang
memiliki tradisi teror. Kedua, sekalipun dikatakan “Sejarah Teror”,
namun tidak terungkap jelas akar terorisme itu. Padahal, salah satu harapan
pembaca adalah mengetahui penyebab terorisme. Ketiga, ending ceritanya
terkesan tiba-tiba dan cepat. Karena Lawrence Wright menggunakan gaya narasi
dalam penulisannya, maka dia menggunakan alur cerita. Nah, saya merasa
bahwa akhir cerita buku ini muncul mendadak dan begitu singkat (hlm. 446 – 551).
Apa yang mau dikatakan
Lawrence Wright lewat bukunya ini? Sebenarnya ada banyak hal yang hendak
disampaikan. Namun saya menampilkan dua catatan besar.
1. Islam dan Terorisme
Membaca buku ini, kita akan
dicengangkan betapa terorisme mendapatkan pendasarannya pada ajaran islam. Di
banyak halaman buku ini diungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan para teroris
didasarkan pada Al-Quran. Kita bisa melihat aksi kelompok-kelompok islam
radikal, baik di Mesir, Arad Saudi, Afganistan dan beberapa tempat lainnya yang
memakai ayat-ayat Al-Quran sebagai pembenaran atas tindakannya membunuh,
menghancurkan, memusuhi, berperang, dll.
Lawrence Wright menulis
betapa para tokoh sentral teroris ini adalah juga orang yang teguh berpegang
pada agamanya. Misalnya Juhaiman, Azzam, Zawahiri, Syeikh Omar, Osama bin
Laden, Mullah Omar, dll. Bahkan ada yang menilai bahwa Osama bin Laden merupakan
prototipe Muhammad. Karena itulah, menjadi pertanyaan kita: bagaimana bisa
seseorang yang religius sekaligus juga teroris.
Dengan dasar Al-Quran itu,
para teroris ini bukan saja menebarkan ketakutan, melainkan juga permusuhan
kepada orang Barat dan kristen. Sekalipun tidak tahu apa-apa, baik orang Barat
(termasuk Amerika) maupun kristen di mana pun ia berada, menjadi dasar
permusuhan. Contoh konkret, seperti yang diutarakan Lawrence Wright, yaitu
bahwa ketika al-Qaeda sudah merencanakan aksinya menyerang Amerika, pihak
Amerika sama sekali tidak punya pikiran jahat terhadap mereka. Amerika tidak
menganggap al-Qaeda sebagai musuh, kecuali pasca 11 September.
Ada tiga hal yang selalu
menjadi sasaran kebencian kaum muslim, yaitu Kristen, Yahudi dan Barat (Amerika).
Mereka melihat bahwa Amerika merupakan pusat kekristenan (hlm. 215). Segala
keburukan yang menimpa dunia islam, sekalipun tidak ada hubungannya dengan
ketiga obyek tadi, selalu dikaitkan dengan obyek tadi. Dan anehnya, orang
kristen, Yahudi dan Amerika yang tidak tahu apa-apa, selalu menjadi
sasaran/korban. Lihat saja kasus bom beberapa gereja di Indonesia. Bahkan Paus
Yohanes Paulus II pun hendak dijadikan sasaran (hlm. 224, 296).
Apa yang dilakukan oleh
kelompok islam radikal terhadap ketiga obyek itu bukan hanya mau menunjukkan
kefanatikan melainkan juga paranoia. Berkaitan dengan obyek dunia kristen ini,
paranoia itu tak bisa dilepaskan dari sejarah Perang Salib. Di sini terlihat
jelas bahwa kaum muslim belum bisa berdamai dengan sejarah masa lalu, tidak
seperti saudaranya kristen. Mereka masih membawa semangat itu, apalagi mereka
memiliki tujuan untuk mengislamkan dunia.
Sekalipun kelompok non
radikal menilai bahwa kelompok radikal itu salah, namun jarang terdengar
kecaman terhadap mereka. Kebanyakan mereka memilih diam. Lihatlah yang terjadi
di Amerika, ketika Syekh Omar Abdul Rahman melancarkan serangan lewat
kotbah-kotbahnya di beberapa tempat di Amerika (hlm. 221 – 223). Umat yang
mendengar tidak melapor ke pihak yang berwajib, melainkan diam saja. Diam di
sini bisa diartikan tanda setuju atas apa yang disuarakan sang syekh.
Satu hal yang menarik adalah
pernyataan bahwa tragedi 11 September tak bisa dipisahkan dari budaya Arab
Saudi. Banyak orang Arab, salah satunya Jamal Khashonggi, membenarkan bahwa
Arab Saudi memiliki tanggung jawab budaya atas terjadinya tragedi 11 September
(hlm. 472). Bisa dikatakan aksi kekerasan dan kebiadaban merupakan sumbangan
dari Arab. Islam tak bisa dilepaskan dari Arab. Karena itu ada pendapat bahwa
islamisasi itu identik dengan arabisasi. Menerima agama islam selalu disertai
juga dengan penerimaan budaya Arab. Salah satunya adalah kekerasannya. Maka
dari itu kita bisa maklum kenapa Indonesia, yang biasanya dikenal sebagai
bangsa yang ramah berubah menjadi bringas. Ini bisa dilihat pada
kelompok-kelompok islam garis keras seperti FPI, HTI, dll. Atas kekerasan yang
mereka lakukan, adakah kecaman dan fatwa haram dari MUI?
2. Tragedi 11 September
Satu pertanyaan muncul
berkaitan dengan tragedi 11 September adalah kenapa hal itu bisa terjadi?
Bukankah Amerika memiliki sistem keamanan yang canggih?
Lawrence Wright
mengungkapkan beberapa alasannya. Pertama, pihak Amerika tidak
memiliki prasangka negatif terhadap kelompok islam garis keras. Mereka belum
berpikir bahwa kelompok ini merupakan ancaman bagi negaranya. Karena itu,
antisipasi menghadapi aksi kelompok islam radikal, yang umumnya berasal dari
dunia Arab, sangat minim. Misalnya penguasaan bahasa, budaya, tradisi dan
hal-hal yang berkaitan dengan islam dan Arab.
Alasan kedua merupakan
alasan mendasar, yaitu adanya persaingan di antara instansi pemerintah dan
tidak saling mendukung dalam melihat sebuah masalah bersama. Persaingan itu
terjadi antara FBI dan CIA serta Dewan Keamanan. Beberapa instansi pemerintah pun
terkesan kurang memberi dukungan. Misalnya, Dubes Yaman. Karena itu, Lawrence
Wright menilai bahwa jika ada kerja sama yang baik antara FBI dan CIA dan jika
FBI (John O’Neill) didengar dari awal, maka tidak akan terjadi tragedi 11
September.
Komentar
Posting Komentar