MEMPERSOAL USIA MENIKAH DALAM AJARAN ISLAM DAN KATOLIK
Menikah adalah hak asasi setiap manusia. Dalam arti ini setiap orang berhak
memutuskan menikah atau tidak, serta berhak juga untuk memutuskan menikah
dengan siapa dan dengan cara apa. Walau demikian beberapa agama tidak
mengartikan hak menikah itu secara absolut, karena dalam arti tertentu agama
masih membatasi hak tersebut. Sumber pembatasan itu beragam. Sebagian besar
pembatasan itu bersumber dari perintah (wahyu) Allah, namun ada juga bersumber
dari lembaga agama itu sendiri (misalnya seperti Agama Katolik).
Sekalipun menikah merupakan hak setiap orang, namun tidak semua orang dapat
menikah begitu saja. Ada banyak ketentuan yang harus dilalui agar orang dapat
memenuhi haknya tersebut. Inilah yang dinamakan syarat. Syarat menikah itu
haruslah legal, sehingga keputusan menikah pun menjadi legal. Salah satu
persyaratan menikah adalah batasan usia. Dalam undang-undang perkawinan yang
lama (1974), batasan usia menikah adalah pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Namun, dalam undang-undang perkawinan yang baru (2019), batasan usianya
dinaiknya menjadi 19 tahun.
Naiknya batasan usia menikah ini merupakan tindak lanjut dari perintah
Mahkamah Konstitusi, yang tertuang dalam Putusan MK no. 22/PUU-XV/2017. Ada 2
dasarnya, yaitu batasan usia menikah yang lama bertentangan dengan semangat
perlindungan anak serta melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum sesuai
pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Putusan MK ini tentu disambut baik lembaga-lembaga
yang telah berjuang untuk menghindari perkawinan anak atau perkawinan usia
dini. Lembaga-lembaga ini melihat bahwa pernikahan usia dini membawa dampak
buruk, tidak hanya bagi wanita tetapi juga bagi kelangsungan keluarga.
Akan tetapi, putusan MK tersebut, atau batasan usia menikah dalam
undang-undang perkawinan yang baru itu menemui kendala berhadapan dengan hukum
agama. Sebagaimana diketahui bahwa setiap umat beragama terpanggil untuk
melaksanakan ajaran dan aturan agamanya. Memang tidak semua agama
mempermasalahkannya, namun batasan usia 19 tahun boleh menikah bisa bermasalah
bagi agama islam dan katolik.
Umat katolik sendiri, ketika ia menikah akan tunduk pada 3 hukum, yaitu
hukum ilahi, hukum Gereja dan hukum sipil. Allah sendiri tidak pernah
memberikan batasan jelas tentang usia menikah. Dengan kata lain, Alkitab tidak
berbicara soal usia perkawinan. Batasan usia menikah ada dalam aturan Gereja.
Terkait dengan batasan usia ini, terjadi perbedaan usia menikah. Gereja
Katolik, dalam Kitab Hukum Kanonik, memberikan batasan usia 14 tahun untuk
wanita dan 16 tahun untuk pria (kan. 1083, §1). Batasan usia ini lebih dilihat
dari aspek biologis saja. Tentu akan menjadi persoalan ketika ada anak gadis
usia 16 tahun hendak menikah. Dari aspek hukum Gereja, ia boleh menikah, namun
akan menemui masalah berhadapan dengan hukum sipil.
Bagaimana Gereja Katolik menyikapi hal ini? Memang hukum Gereja menetapkan
batasan usia yang sangat rendah, namun penetapan itu semata-mata dari sudut
biologis semata. Gereja menyerahkan masalah batasan usia ini kepada Gereja
Lokal untuk menyesuaikan dengan tuntutan di negaranya (kan. 1083, §2). Gereja
sendiri sebenarnya menghendaki agar orang yang menikah benar-benar sudah matang
secara mental dan psikis. Karena itu, dalam kanon 1072, para pastor diminta
untuk menghindari kaum muda dari pernikahan dini. Dengan kata lain, Gereja
Katolik menghendaki supaya kaum remaja tidak terjebak dalam pernikahan usia
muda. Tentulah hal ini sejalan dengan tuntutan undang-undang perkawinan yang
baru.
Bagaimana dengan agama islam?
Seperti yang telah diungkapkan di atas setiap umat beragama terpanggil
untuk melaksanakan ajaran dan aturan agamanya. Demikian pula halnya dengan umat
islam. Al-Qur’an sudah berkata, “Taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu
adalah orang-orang beriman.” (QS an-Anfal: 1). “Rasul” di sini tentulah merujuk
pada Nabi Muhammad. Umat islam sendiri melihat Nabi Muhammad sebagai teladan
tingkah laku yang sempurna. Hal ini didasarkan pada wahyu Allah dalam QS
al-Ahzab: 21). Karena itu, taat kepada rasul-Nya, yaitu kepada Muhammad, tidak
hanya dengan melaksanakan apa yang diajarkan, tetapi juga mengikuti
perbuatannya. Terkait dengan mengikuti perbuatan (teladan) Muhammad inilah
batasan usia dalam undang-undang perkawinan menemui kendala.
Sebagaimana sudah diketahui, Nabi Muhammad menikah dengan Aisyah binti Abu
Bakar, seorang istri favorit nabi, ketika gadis itu berusia 6 (ENAM) tahun, dan
baru bersetubuh dengannya ketika ia berusia 9 (SEMBILAN) tahun. Sementara itu,
Nabi Muhammad saat itu berusia sekitar 50-an tahun. Informasi pernikahan
Muhammad dengan Aisyah ini ada dalam Hadis Sahih Bukhari dan Muslim. Selain
Aisyah, Muhammad juga menikah dengan Safiyyah binti Huyayy, yang saat itu
berusia 17 tahun, sedangkan Muhammad diperkirakan berusia 59 tahun.
Tentulah ketentuan undang-undang perkawinan yang terbaru, terkait dengan
batasan usia, akan menghalangi umat islam untuk mengikuti teladan nabi. Karena
dengan ketentuan usia 19 tahun, umat islam bisa dipastikan tidak dapat
meneladani Nabi Muhammad yang menikah dengan gadis usia di bawah ketentuan
undang-undang. Padahal Allah telah memerintahkan umat-Nya untuk taat kepada
Nabi Muhammad. Hal ini kurang lebih sama seperti kasus poligami. Tentu ada pria
islam ingin mengikuti teladan Sang Nabi dengan mempunyai istri lebih dari 4
orang. Akan tetapi, keinginan ini sudah dibatasi oleh Allah sendiri lewat surah
an-Nisa: 3, dimana seorang muslim hanya bisa memiliki istri hingga 4 orang
saja.
Karena itu, pasal yang mengatur usia perkawinan dalam undang-undang
perkawinan terbaru dinilai telah mencederai umat islam. Ia telah memaksa umat
islam untuk melawan ajaran agamanya sendiri yang bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadis. Batasan usia menikah dalam undang-undang perkawinan membuat umat islam
tidak dapat mengikuti teladan agung Nabi Muhammad. Dapatlah dikatakan bahwa
secara implisit aturan tersebut hendak mengatakan bahwa apa yang dilakukan
Muhammad terhadap Aisyah binti Abu Bakar dan Safiyyah binti Huyayy adalah
contoh buruk yang tak boleh diikuti.
DEMIKIAN tinjauan batasan usia menikah dalam undang-undang perkawinan yang
terbaru menurut agama islam dan katolik. Dapat dikatakan bahwa batasan usia
dalam undang-undang perkawinan memang bertentangan dengan aturan Gereja
Katolik. Akan tetapi, Gereja Katolik justru menghimbau umatnya untuk
menghindari perkawinan usia dini. Dengan kata lain, himbauan Gereja Katolik ini
sejalan dengan tujuan dasar dari pembatasan usia menikah tersebut. Sementara
umat islam melihat pembatasan usia menikah dilihat sebagai upaya menghalangi
umat islam untuk mengikuti teladan Nabi Muhammad. Dengan peraturan itu, umat
islam tidak dapat mengikuti teladan Muhammad, karena bisa saja ada umat islam
yang ingin menikah dengan anak usia 14 atau di bawah itu, seperti yang
dilakukan Nabi Muhammad.
Bagaimana petinggi negeri ini menyikapi hak ini? Semuanya berpulang kepada
pribadi masing-masing. Pemangku negeri ini tentu tidak bisa menghasilkan produk
hukum yang dapat memenuhi keinginan semua warga negaranya yang beraneka ragam.
Komentar
Posting Komentar