LOGIKA MEMBUKTIKAN ALQUR'AN BUKAN WAHYU ALLAH
Semua pemeluk agama tentulah memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup bagi
para pemeluknya. Sumber untuk kitab suci itu berbeda tiap agama. Untuk agama
Samawi (Yahudi, Kristen dan Islam), sumber utama kitab suci adalah Allah
sendiri. Dengan kata lain, kitab suci merupakan wahyu Allah. Hanya ada
perbedaan konsep pemahaman tentang wahyu Allah ini.
Orang kristen yakin bahwa kitab sucinya merupakan inspirasi Roh Kudus; dan
Roh Kudus itu adalah manifestasi dari Allah. Jadi, memang kitab suci itu
ditulis oleh manusia, akan tetapi Roh Kudus-lah yang menuntun mereka untuk
menulis. Hal ini membuat hasil tulisan itu masih sebagai wahyu Allah. Berbeda
dengan kitab suci umat islam. Alqur'an diyakini merupakan wahyu Allah langsung
kepada nabi Muhammad SAW. Prosesnya sebagai berikut: Allah bersabda kepada
Muhammad, lalu Muhammad meminta orang untuk menulisnya. Setiap wahyu Allah
kepada Muhammad, langsung ditulis. Dan setelah dikumpulkan, jadilah Alqur'an.
Dasar keyakinan umat islam bahwa Alqur'an adalah wahyu Allah adalah sabda
Allah sendiri, yang terdapat dalam surah as-Sajdah ayat 2 dan az-Zumar
ayat 1 – 2, 41. Salah satu ciri umat islam adalah percaya pada apa yang sudah
dikatakan. Umat islam percaya Hj Irene sebagai pakar kristologi karena Irene
sendiri mengatakan demikian; umat islam tidak percaya Yesus itu Allah karena
Yesus sendiri tidak mengatakan demikian. Umat islam percaya Muhammad sebagai nabi
karena dikatakan demikian, baik oleh Allah maupun Muhammad sendiri.
Jadi, dengan cara pikir seperti itu umat islam yakin bahwa Alqur'an merupakan wahyu Allah, karena diturunkan langsung oleh Allah kepada nabi
Muhammad. Umat islam menerima hal ini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Tidak
ada ruang untuk bertanya, mengkritisi atau sekedar bernalar. Pertanyaan atau
kritisan atas Alqur'an berarti juga menyentuh Allah sang sumber, yang adalah
maha benar; dan ini dianggap sebagai bentuk penghinaan. Menghina agama islam (Alqur'an dan Allah adalah salah satu unsur dari agama islam, selain nabi Muhammad)
berarti maut. Karena itu, umat islam tak berani melakukannya.
Bisa dikatakan bahwa tidak ada penalaran dalam menyikapi hal ini (bahkan
dalam banyak hal juga demikian). Umat islam menerimanya begitu saja. Jika
dilakukan penalaran yang kritis, orang dapat menemukan keraguan bahwa Alqur'an itu dari Allah. Ada banyak alasan untuk menolak Alqur'an sebagai wahyu Allah.
Namun sebelum sampai pada alasan-alasan tersebut, terlebih dahulu kita satukan
pemahaman kita. Pastilah semua kita sepakat bahwa Allah, yang telah mewahyukan
firman-Nya dalam bentuk kitab itu, adalah Mahabenar, Mahatahu dan Maha
Sempurna. Konsekuensi yang harus diterima adalah kitab yang diwahyukan-Nya itu
haruslah tanpa kesalahan, tidak ada kekurangan, harus lengkap dan benar. Apakah Alqur'an memenuhi standar itu? Di sinilah kita akhirnya menemukan alasan kenapa Alqur'an bukan wahyu Allah.
Pertama, soal adanya teori geosentris dalam Alqur'an.
Setidaknya ada 5 surah yang mengatakan bahwa matahari BEREDAR pada
garis edarnya (QS Ibrahim: 33; QS al-Anbiya: 33; QS Yasin: 38 dan 40;
QS ar-Rahman: 5; kami memakai Alqur'an terbitan Departemen Agama
RI tahun 2006). Padahal umum sudah mengetahui bahwa yang beredar itu bumi
dan planet-planet lainnya, sedangkan matahari tetap diam sebagai pusat dari
tata surya. Ilmu Pengetahuan ini sudah dibuktikan kebenarannya.
Menjadi pertanyaannya adalah mana yang benar: Alqur'an atau Ilmu
Pengetahuan? Apakah Allah tidak tahu kalau matahari itu pusat dari tata surya;
bahwa matahari tidak beredar mengelilingi garis edarnya. Umat islam pastilah
mengatakan bahwa Ilmu Pengetahuan salah; tak mungkin Alqur'an salah karena Alqur'an adalah wahyu Allah. Allah sendiri sudah berkata, “Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS al-Mujadilah: 7).
Biar bagaimana pun, tampak jelas kalau Alqur'an salah karena bertentangan
dengan Ilmu Pengetahuan. Jika umat islam menerima bahwa Allah itu maha benar,
maka yang diwahyukan-Nya juga adalah benar. Karena itu, menjadi jelas bahwa Alqur'an itu bukan wahyu Allah, sebab matahari tidak pernah beredar
pada garis edarnya.
Kedua, soal kematian Yesus Kristus. Umat islam
menyakini bahwa Yesus Kristus (atau biasa dikenal sebagai nabi Isa), tidak mati
di kayu salib. Yang mati di kayu salib adalah orang yang serupa dengan Yesus.
Dasar keyakinan umat islam ini adalah wahyu Allah dalam surah an-Nisa:
157, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,
padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibkannya, tetapi (yang
mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” Karena
sudah yakin bahwa Alqur'an adalah wahyu Allah, dan Allah diyakini sebagai maha
benar, maka apa yang tertulis dalam surah tersebut adalah
suatu kebenaran.
Menjadi persoalan ketika orang mengaitkan hal tersebut dengan catatan dan
fakta sejarah. Publik sudah mengetahui bahwa Yesus Kristus mati di kayu salib.
Berita penyaliban dan kematian-Nya dicatat di sejumlah tulisan sejarahwan
Romawi, Yahudi dan murid-murid Yesus, yang terdapat dalam Injil (Markus,
Matius, Lukas dan Yohanes). Perlu diketahui bahwa sejarahwan Romawi dan Yahudi
bukanlah orang kristen. Jadi, fakta historis sudah membuktikan bahwa Yesus mati
di kayu salib. Akan tetapi, fakta ini bertentangan dengan wahyu Allah dalam Alqur'an.
Karena itu, apakah Allah sudah membaca catatan sejarah sebelum
mengeluarkan surah an-Nisa: 157? Perlu disadari bahwa Alqur'an baru turun sekitar abad VII, sementara peristiwa kematian Yesus terjadi pada
abad I.
Adanya ketidak-sesuaian antara Alqur'an dengan fakta sejarah membuktikan
bahwa Alqur'an bukanlah wahyu Allah. Tidak mungkin Allah yang Maha
Mengetahui tidak tahu persis kematian Yesus, yang konon adalah rasul-Nya
juga. Surah an-Nisa: 157 yang bertentangan dengan fakta
historis, membuat Allah tampil seperti orang bodoh, padahal Dia Mahatahu. Atau
jangan-jangan Allah umat islam ini anti sejarah.
Ketiga, soal nama isteri Adam, yaitu Siti Hawa.
Kalau ditanya kepada umat islam, siapa nama isteri nabi Adam, tentulah mereka
akan menjawab “Siti Hawa”. Memang, Agama Yahudi dan Kristen juga mengakui hal
itu. Akan tetapi, terdapat perbedaan soal sumbernya. Orang Yahudi dan Kristen
mengakui Hawa sebagai isteri Adam karena tertulis dalam Kitab Sucinya. Tidaklah
demikian dalam agama islam. Penelusuran terhadap Alqur'an, tentulah tidak
menemukan kata “Hawa” sebagai isteri Adam. Memang dalam surah an-Nisa:
1 (Al-quran terbitan Departemen Agama RI tahun 2006) ada tertulis kata ‘Hawa’,
namun kata itu merupakan tambahan kemudian, bukan asli tertulis dalam Alqur'an.
Menjadi pertanyaan, jika Alqur'an itu sungguh wahyu Allah, tentulah sejak
awal sudah tercantum nama Hawa. Akan tetapi, faktanya nama itu baru ditambahkan
kemudian (ini terlihat tulisan nama Hawa ada di dalam tanda kurung). Dengan
kata lain, dalam bentuk aslinya, tidak ada tertulis nama Hawa sebagai isteri
nabi Adam. Apakah Allah lupa menyebutkan nama Hawa kepada Muhammad? Padahal
Allah itu diyakini sebagai Mahatahu dan Mahabenar.
Tidak adanya nama Hawa dalam Alqur'an, padahal Allah itu Mahatahu dan
Mahabenar, membuktikan bahwa Alqur'an bukanlah wahyu Allah. Tak mungkin Allah
yang Mahatahu dan Mahabenar sampai lupa menyebut nama Hawa, padahal nama itu
cukup penting. Selain itu, ketiadaan nama Hawa dalam Alqur'an membuktikan bahwa
kitab itu tidaklah lengkap, masih ada kekurangan, padahal Allah yang
mewahyukan-Nya adalah Maha Sempurna. Ini sebagai bukti bahwa Alqur'an bukan wahyu
Allah.
Demikianlah ketiga alasan kenapa Alqur'an diragukan sebagai wahyu Allah.
Sebenarnya masih ada banyak alasan lainnya lagi. Tiga alasan ini saja sudah
menjadi bukti bahwa Alqur'an bukan langsung berasal dari Allah. Keraguan ini
bisa muncul ketika orang menggunakan logika dengan bantuan nalarnya untuk
melihat dan mengkritisi apa yang tertulis dalam Alqur'an. Dan dengan penalaran
itulah orang sampai pada kesimpulan Alqur'an bukan wahyu Allah. Jika bukan dari
Allah, lalu dari siapakah Alqur'an itu? Silahkan Anda jawab sendiri.
Komentar
Posting Komentar