JEJAK NESTORIANISME DALAM ISLAM
Pada umumnya orang memahami bahwa pendiri agama islam adalah nabi Muhammad SAW. Sekalipun umat islam mengakui juga nabi-nabi yang ada dalam agama Yahudi dan kristen (meski ada beberapa yang tidak sesuai) seperti Nuh, Abraham, Musa, Daud, Salomo hingga Isa Almasih (Yesus Kristus), namun nabi Muhammad SAW menempati posisi yang paling istimewa. Penghinaan terhadapnya bisa berakibat maut, sementara terhadap lainnya biasa saja. Nabi-nabi lain bisa saja dilupakan, tapi tidak dengan Muhammad SAW. Memisahkan islam dari nabi Muhammad dapat melahirkan “agama zombie”, agama tanpa roh.
Muhammad SAW lahir di Mekkah dari suku Quraisy, suku
terbesar di Mekkah, pada tahun 570. Sejak kecil dia sudah menyandang status
yatim piatu. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkannya, sedangkan ayahnya
beberapa tahun kemudian. Sejak kecil nabi Muhammad SAW diasuh (dirawat dan
dibesarkan) oleh seorang wanita badui dalam kelompok badui.
Pada masa hidup nabi Muhammad SAW, di daerah sekitar
Mekkah, atau tanah Arab pada umumnya, telah berkembang beberapa agama.
Interaksi antar pemeluk agama di sana sudah lumrah terjadi. Tidak ada gesekan
atau konflik, karena mereka lebih mengurus urusan bisnis. Masalah agama
merupakan urusan pribadi. Sekalipun agama adalah urusan pribadi, bukan tidak
mungkin terjadinya saling pengaruh, entah itu soal ajaran atau pun tata cara
peribadatan.
Ketika muncul obsesi menjadi pemimpin lewat jalur agama,
Muhammad sudah terlebih dahulu berkontak dengan umat-umat agama lain. Bukan
tidak mungkin nabi Muhammad SAW “belajar” tentang agama-agama tersebut dan
membuat pilihan seperti apa nantinya agama yang hendak didirikannya. Ada kesan
sepertinya Muhammad SAW awalnya menjatuhkan pilihan pada agama Yahudi dan
Kristen sebagai modelnya. Nabi Muhammad melihat dan menilai bahwa agama kristen
merupakan kelanjutan dari agama Yahudi, sehingga Muhammad menyiapkan agamanya
sebagai kelanjutan dari agama kristen. Banyak umat islam percaya hal ini
sehingga mereka selalu mengaitkan warta dalam Alkitab dengan ramalan kedatangan
Muhammad SAW, sebagaimana kehadiran Yesus yang diramalkan dalam kitab suci
Yahudi.
Sekalipun agama kristen pernah diwartakan di tanah Arab
pada awal abad pertama, berdasarkan pengakuan Paulus (Galatia 1: 17), namun
agama kristen yang berkembang di sana kemudian adalah agama kristen dari aliran
Nestorianisme. Dengan aliran inilah Muhammad SAW belajar, menimba dan akhirnya
memahami agama kristen. Wikipedia mencatat “Ada bukti dari hadis bahwa Nabi
Muhammad pernah melakukan kontak dengan kaum Nestorian Asiria, teristimewa,
Bahira. Ada kemiripan antara raka’at atau sembahyang ritual kaum muslim, dengan
gerakan membungkuk-takzim yang dilaksanakan kaum nestorian pada pasa pra-paskah.”
Dari kutipan ini dapat dikatakan bahwa nabi Muhammad mendapat pengaruh dari
aliran Nestorianisme.
Nestorianisme adalah satu aliran dalam agama kristen,
yang pada Konsili Efesus (431 Masehi) telah dinyatakan sesat, karena ajarannya
tidak sesuai dengan ajaran resmi kristen. Aliran ini digagas oleh Nestorius
hidup sekitar 386 – 451 (kurang lebih satu abad sebelum kelahiran Muhammad). Ajaran
Nestorius, yang dinyatakan sesat, berpusat pada pemahamannya pada sosok Yesus.
Baginya Yesus punya 2 aspek (ilahi dan manusiawi) yang tidak manunggal,
bertentangan dengan ajaran resmi kristen bahwa Yesus 100% ilahi 100% manusiawi.
Dari pemahaman tersebut maka lahirlah 2 ajaran lain, yaitu (1) Bunda Maria adalah
Bunda Kristus, bukan Bunda Allah. Nestorius menolak gelar Maria Bunda Allah
karena terkesan Maria memiliki pribadi ilahi atau jika dia sungguh manusia,
mana mungkin bisa melahirkan Allah. (2) Allah tidak menderita di salib; yang di
salib adalah Kristus (bagian manusiawi Yesus). Bagi Nestorius Allah itu
mahakuasa, jadi mana mungkin Dia menderita apalagi sampai mati. Hanya manusia
saja yang mengalami penderitaan dan mati. Karena itu, yang mati di salib adalah
kemanusiaan Yesus, bukan keilahian-Nya.
Tiga ajaran Nestorius, yang berpusat pada sosok Yesus,
jelas-jelas bertentangan dengan ajaran resmi agama kristen pada waktu itu,
bahkan hingga kini. Tiga ajaran itulah yang diterima oleh nabi Muhammad SAW
ketika dia berkontak dengan kaum nestorian. Karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa jejak Nestorianisme terdapat juga dalam ajaran islam. Agama islam
memahami agama kristen yang nestorian, bukan agama kristen yang sebenarnya.
Karena itu, beberapa ahli menilai bahwa agama islam menyajikan kekristenan yang
palsu. Dengan kata lain, orang islam melihat agama kristen sekarang dengan
kacamata Netorianisme, atau menilai agama kristen dengan menggunakan tolok ukur
Nestorianisme.
Apa saja pengaruh Nestorianisme dalam ajaran islam?
Dimana jejaknya dapat ditemui? Pertama-tama harus diakui bahwa pusat ajaran
islam terdapat dalam Al-Qur’an, dimana Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah
SWT secara langsung. Kata-kata yang ada dalam Al-Qur’an adalah kata-kata Allah
sendiri. Karena itu, bisa dikatakan bahwa jejak Nestorianisme, tiga ajaran
netorius, dapat ditemui dalam Al-Qur’an.
1. Yesus punya 2 aspek
(ilahi dan manusiawi) yang tidak manunggal
Dalam islam, Yesus lebih dikenal sebagai Isa Almasih.
Secara implisit islam juga mengakui 2 aspek ini ada dalam Isa Almasih, dan
keduanya terpisah. Ada banyak teks Al-Qur’an mengungkapkan sisi ilahi Isa
Almasih. Dalam QS Ali Imran: 39, 45 dan QS an-Nisa: 171 dinyatakan bahwa Isa
Almasih adalah kalimat Allah, mirip
seperti pernyataan prolog Injil Yohanes bahwa Yesus adalah sabda Allah yang menjadi manusia. Selain sebagai “kalimat Allah”,
Isa Almasih juga dilihat sebagai Roh
Allah (QS an-Nisa: 171). Dalam QS az-Zukhruf: 61 Isa Almasih dikatakan
memiliki pengetahuan akhir zaman, padahal QS Luqman: 34 dan QS al-Mulk: 26
menyatakan bahwa pengetahuan itu hanya
ada pada Allah. QS Maryam: 19 menyatakan Isa Almasih sebagai orang suci tanpa
dosa, padahal setiap manusia punya dosa.
Al-Qur’an juga mengungkapkan sisi kemanusiaan Isa Almasih,
misalnya seperti QS an-Nisa: 172 atau QS al-Maidah: 75. Surah al-Maidah: 17
menegaskan bahwa mereka yang menganggap Isa Almasih sebagai Allah (aspek ilahi Isa
Almasih) adalah kafir. Penegasan ini kembali ditegaskan dalam ayat 72, dan
dengan nada yang berbeda terlihat dalam QS at-Taubah: 31. Surah-surah ini
benar-benar mau menekankan dimensi kemanusiaan Isa Almasih dan mengabaikan
dimensi ilahinya.
Sekalipun terlihat adanya aspek ilahi pada Isa Almasih,
namun umat islam seakan “menutup mata” terhadapnya, dan lebih melihat Isa
Almasih sebagai manusia biasa. Hal ini disebabkan karena konsep tauhid, “tiada
tuhan selain Allah SWT” (QS al-Baqarah: 255; QS Ali
Imran: 2; QS Taha: 98; bdk.
QS al-Ikhlas: 1). Menerima dan mengakui
keilahian Isa Almasih berarti telah menduakan Allah, dan itu termasuk dosa
paling berat (musyrik), dimana hukumannya adalah neraka. Di samping itu juga,
Allah telah memberi perintah kepada umat islam untuk memerangi dan membunuh
orang musyrikin (QS at-Taubah 5 dan 36).
2. Menentang gelar
Bunda Allah
Dasar penolakan Nestorius akan gelar Maria sebagai Bunda
Allah adalah tidak mungkin Maria, yang manusia, melahirkan Allah. Konsep Bunda
Allah juga bisa melahirkan pemahaman bahwa Maria adalah Allah.
Nabi Muhammad SAW menerima pemikiran Nestoius ini bukan
dalam konteks melawan ajaran resmi kristen waktu itu. Dia menerima sebagai
sebuah kebenaran. Karena itu, dengan keterbatasan intelektualnya, Muhammad SAW
sepakat dengan Nestorius bahwa Bunda Maria (islam menyebutnya dengan nama
Maryam) hanyalah manusia belaka. Jika Maria diterima dan diakui sebagai Bunda
Allah ada kesan bahwa dia setara dengan Allah. hal inilah yang ditolak nabi
Muhammad SAW. Untuk menegaskan hal ini nabi Muhammad menurunkan wahyu “Allah
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara
dengan Dia.” (QS al-Ikhlas: 3 – 4). Ajaran ini kembali ditegaskan dalam QS
al-Jinn: 3, “Dan sesungguhnya Mahatinggi keagungan Tuhan kami, Dia tidak
beristri dan tidak beranak.”
Jejak Nestorianisme terkait tema ini dapat dibaca juga
dalam QS al-Maidah: 116. Di sini Muhammad SAW menggunakan mulut Isa Almasih
untuk menyanggah keilahian dirinya dan juga ibunya, Maria. Dengan kata lain,
surah ini hendak menegaskan bahwa baik Isa Almasih maupun Bunda Maria hanyalah
manusia biasa yang tidak memiliki aspek ilahi.
3. Allah tidak
menderita di salib, yang di salib adalah Kristus (bagian manusiawinya)
Dasar pemikiran Nestorius di sini adalah bahwa Allah itu
mahakuasa. Mustahillah Allah yang demikian mengalami penderitaan, bahkan sampai
mati di salib. Hanya manusia saja yang mengalami hal tersebut. Dan karena Yesus
sungguh mati di kayu salib (hal ini tidak hanya berdasarkan pewartaan
murid-murid Yesus, tetapi juga berdasarkan catatan sejarah dunia), maka
Nestorius berpendapat bahwa yang mengalami itu hanyalah sisi manusiawi Yesus.
Sekalipun nabi Muhammad sepakat dengan Nestorius, namun
Muhammad tetap gagal memahami ajaran Nestorius. Hal ini dapat dimaklumi karena
kemampuan intelektual nabi Muhammad sangatlah terbatas. Di samping itu,
Muhammad sudah terlanjur menerima Isa Almasih sebagai pribadi yang suci
sehingga dia pun berusaha untuk menghindari peristiwa salib darinya.
Karena itu, nabi Muhammad SAW menciptakan wahyu yang
mengatakan bahwa yang mati di salib itu bukanlah Isa Almasih tetapi orang yang
diserupakan dengannya. Tentang hal ini QS an-Nisa: 157 mengatakan bahwa
orang-orang “tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibkannya, tetapi (yang
mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa.” Dengan demikian, di
sini nabi Muhammad SAW sekaligus sama dan berbeda dengan Nestorius. Mereka
sama-sama menolak Allah yang menderita dan mati di salib, namun berbeda tentang
siapa yang sebenarnya mati di kayu salib. Jika Nestorius mendasarkan
pendapatnya pada fakta sejarah, nabi Muhammad mendasarkan pendapatnya pada
fantasi sejarah.
Dabo, 5 September 2020
Komentar
Posting Komentar