MASALAH KLASIK DI BULAN RAMADHAN
Saat ini umat muslim sedang menjalani ibadah di bulan suci ramadhan sebagai persiapan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dalam bulan suci ramadhan atau bahkan menjelang bulan suci ramadhan, berita tetap yang selalu menghiasi semua media massa adalah realitas kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Setiap kali menjelang dan sepanjang bulan suci ramadhan kita selalu melihat, menyaksikan dan mendengar bahwa harga-harga barang, terlebih barang sembako, naik dari biasanya. Kenaikan ini malah berdampak juga pada orang-orang yang sama sekali tidak bersentuhan dengan bulan suci ramadhan.
Realitas naiknya harga kebutuhan pokok
menjelang dan selama masa puasa ini seakan menjadi sebuah tradisi. Dari tradisi
ini lahirlah tradisi lain seperti mengeluh. Umumnya kaum ibu-lah yang sering
bersentuhan dengan tradisi keluhan ini. Hanya sedikit orang yang merasa bingung
dengan realitas ini. Orang bingung karena ramadhan itu selalu dirayakan
setiap tahun. Kenapa kejadian kenaikan harga barang ini selalu terulang
lagi? Apa berarti selama ini tidak ada penanganannya?
Sebenarnya realitas kenaikan harga
barang di bulan suci ramadhan ini bisa dijelaskan dengan hukum
ekonomi. Dalam hukum ekonomi (pasar), dimana persediaan barang sedikit dan
permintaan akan barang itu banyak, maka dengan sendirinya harga barang itu akan
naik. Naiknya harga ini bisa dipahami agar barang tidak hilang dari pasar.
Karena itu, hukum ekonomi (pasar) ini
bisa diterapkan dalam fenomena harga naik pada saat bulan puasa, baik
menyongsong maupun sepanjang ramadan. Bisa dikatakan bahwa menjelang
ramadhan persediaan barang yang dibutuhkan sangat sedikit, sementara para
pamakainya banyak. Hal ini membuat harga-harga barangnya menjadi naik. Sebagai
contoh, telur. Pada hari biasa persediaan telur 1.000, sementara yang
membutuhkannya hanya 10 orang, di mana tiap orang cuma butuh 1 atau 2 butir
telur. Di sini telur akan dijual murah agar cepat habis. Tapi pada
saat ramadhan, dimana persediaan telur tetap 1.000, sementara yang butuh
lebih dari 500, dimana tiap orang butuh 2 atau 3 butir,
maka pedagang dengan sendirinya akan menaikkan harga telur itu. Atau juga yang
butuh tetap 10 orang, tapi tiap orang membutuhkan 100 butir telur, tentulah
pedagang juga akan menaikan harga telur. Inilah hukum ekonomi.
Jadi, kenaikan itu merupakan suatu
keharusan, sebagaimana yang telah diuraikan dalam hukum ekonomi. Akan
tetapi, haruskah kita menyerah pada hukum tersebut, atau bisakah diatur
sedemikian rupa sehingga pada masa puasa ini harga barang tidak naik? Tentu
saja bisa dan seharusnya bisa.
Kita sudah mengetahui bahwa unsur-unsur
yang menyebabkan harga naik tadi, yaitu persediaan barang yang terbatas,
peminat yang banyak atau kebutuhan akan barang yang banyak. Peminat atau
pemakai sebenarnya tidak terlalu banyak. Tentulah orang-orang itu saja yang
membutuhkannya. Tak mungkin setiap ramadhan jumlah penduduk kita bertambah
banyak. Yang meningkat adalah kebutuhan akan barang. Orang membutuhkan barang
dalam jumlah yang tidak biasanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa penyebab kenaikan
harga barang ini ada dua, yaitu persediaan barang dan kebutuhan.
Untuk mengendalikan harga pasar,
tentulah dengan cara mengendalikan kedua unsur tadi. Pertama, persediaan
barang harus ditingkatkan jumlahnya. Bulan suci ramadhan sebenarnya bukan hanya
sekali dua kali saja terjadi, melainkan berkali-kali. Setiap tahun pasti orang
mengalaminya. Karena itu, seharusnya sudah bisa diprediksikan berapa kebutuhan
akan barang tertentu. Misalnya, kalau setiap ramadhan kebutuhan akan telur
sekitar 3000, maka menjelang ramadhan harus sudah disediakan 3000-4000 butir
telur.
Kedua,
soal kebutuhan akan barang. Karena kebutuhan ini melekat pada manusia, maka
yang perlu dikendalikan adalah manusianya. Apa yang harus dikendalikan dari
manusianya? NAFSU! Nafsu
manusialah yang harus dikendalikan, karena nafsu itulah yang mendorong manusia
untuk membeli barang dalam jumlah yang sangat banyak. Jika seandainya nafsu itu
dapat dikendalikan atau dimatikan, tentu manusia tidak akan membeli dalam
jumlah yang banyak. Konsekuensinya, harga tidak akan naik. Persoalannya,
dapatkah manusia mengendalikan nafsunya itu?
Seharusnya dapat. Bukankah bulan
suci ramadhan adalah juga masa puasa. Bagi umat islam puasa merupakan
ibadah. Bulan puasa ini umat muslim diminta untuk mengendalikan hawa
nafsunya. Dan salah satu hawa nafsu itu adalah nafsu membeli barang dalam
jumlah yang banyak. Konsekuensi logisnya adalah di masa ramadhan ini
manusia mengendalikan hawa nafsunya, termasuk membeli barang dalam jumlah yang
sangat banyak, sehingga dengan demikian harga barang tidak akan naik.
Pertanyaan kita sekarang adalah siapa
yang bertanggung jawab akan semuanya ini. Untuk pengendalian unsur yang
pertama, yaitu persediaan barang, tentulah yang bertanggung jawab adalah
pemerintah, para produsen dan para pedagang. Pemerintah bertanggung jawab untuk
mengatur ketersediaan barang di pasar. Dengan wewenang yang dimilikinya,
pemerintah dapat mendesak para produsen untuk memproduksi barang dalam jumlah
yang banyak menjelang ramadan. Dan para produsen harus menyediakan hal
itu. Jika produsen memproduksi barang dalam jumlah yang banyak di saat
mendekati ramadan, tentulah para pedagang tidak ada niat untuk melakukan
penimbunan.
Memang pemerintah bertanggung jawab atas
pengendalian harga pasar ini. Namun bukan berarti kesalahan atas naiknya harga
barang dalam masa puasa ini mutlak pada pemerintah. Tak pantaslah kita
menyalahkan pemerintah saja atas kejadian ini. Pihak lain yang harus disalahkan
adalah konsumen, yang merupakan unsur kedua.
Konsumen adalah pengguna atau pemakai
barang. Ia merupakan unsur kedua yang bertanggung jawab atas kenaikan harga
barang. Konsumen juga berperan penting dalam menstabilkan harga barang.
Bagaimana caranya?
Masing-masing orang hendaknya
mengendalikan hawa nafsunya untuk membeli barang dalam jumlah sangat banyak.
Sebenarnya saat puasa adalah momen yang sangat tepat. Inti dari puasa adalah
pengendalian hawa nafsu, bukan keserakahan yang terlihat dari naiknya porsi
makanan. Orang selalu heran, kenapa di saat ramadan (bulan puasa) orang
justru makan lebih banyak daripada biasanya. Bukankah puasa itu mengajak orang
untuk menahan diri? Bukankah pada saat puasa orang hanya makan dua kali sehari?
Dengan adanya pengendalian dua unsur
ini, tentulah kejadian naiknya harga barang menjelang dan
sepanjang ramadhan tidak akan terjadi lagi. Ramadhan atau bukan
kebutuhan orang akan barang tetaplah sama saja. Malah seharusnya di saat
ramadhan kebutuhan akan barang mesti turun, karena orang makan cuma 2 kali
sehari (pagi dan malam). Semua ini bisa terjadi jika ada kemauan politik dari
unsur-unsur yang berkaitan dengan kenaikan harga tadi.
Komentar
Posting Komentar