SAATNYA ISLAM AKUI SOAL TEROR BOM BUNUH DIRI
Salah satu aksi terorisme yang ditakuti adalah aksi bom bunuh diri. Di Indonesia salah satu sasaran bom bunuh diri adalah rumah ibadah umat kristen. Dan seperti biasa, ketika muncul peristiwa-peristiwa teror, tokoh-tokoh agama islam langsung memberi tanggapan, yang umumnya bersifat rasionalisasi. Ada yang berkata, “Tindakan itu tidak mewakili agama manapun.” Ada juga yang bilang, “Terorisme bertentangan dengan ajaran agama.” Yang lain berkata, “Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai membunuh.” Yang lain, dengan tegas bilang, “Islam tidak mengajarkan kekerasan; islam itu agama kasih.” Yang lain lagi meminta masyarakat untuk tidak mengaitkan aksi teror dengan agama tertentu.
Masih
banyak lagi argumentasi yang dibangun para tokoh islam untuk menanggapi setiap
kali muncul kejadian terorisme. Semua argumentasi itu hanyalah retorika yang
bersifat rasionalisasi. Di balik argumentasi itu, mereka hendak mengatakan 2
hal ini, yaitu [1] bahwa terorisme itu bukan islam; dan [2] bahwa para pelaku
teror itu bukan islam. Jadi, tindakan biadab para teroris tidak mencerminkan
agama islam. Retorika ini mau membangun persepsi masyarakat, khususnya non
muslim, bahwa para teroris itu telah memanipulasi atau membajak agama islam.
Apa
dampak dari semua ini bagi umat non muslim? Perlu disadari dan diketahui,
khususnya oleh umat islam, bahwa umat non muslim, yang selalu dilabeli sebagai
“kafir” oleh umat islam, menghadapi 3 perasaan berhadapan dengan setiap
terorisme. Tiga perasaan itu adalah takut, muak dan bingung.
Rasa takut
timbul sebagai akibat langsung dari tindakan terorisme itu sendiri. Dan
kebetulan salah satu tujuan terorisme adalah menciptakan ketakutan. Para
teroris melakukan hal ini terdorong oleh perintah Allah. Dalam Alqur'an
dikatakan bahwa Allah sendiri yang meletakkan rasa ketakutan pada diri orang
kafir (QS 8: 12; QS 33: 26; QS 59: 2), sementara umat islam menunjukkan
kekerasannya. Ada pemikiran bahwa ketakutan itu bisa mematikan iman seseorang,
sehingga akhirnya memutuskan untuk memeluk agama teror. Salah satu tujuan akhir
yang hendak dibangun oleh para teroris ini adalah agar agama yang di sisi Allah
adalah islam (QS 3: 19). Dengan memeluk agama teror, maka dengan sendiri
ketakutan itu hilang.
Sederhananya
begini: karena menghadapi teror terus menerus, orang kafir jadi malas pergi
rumah ibadah untuk sembahyang. Jika ini terus berlangsung, lama-lama ia akan
berpikir, “Untuk apa saya tetap bertahan dalam kekafiran jika karena itu saya
terus diteror. Lebih baik saya jadi mualaf. Dengan mualaf maka saya tak lagi
merasa takut.”
Terhadap
terorisme, ternyata bukan cuma rasa takut yang muncul tetapi juga rasa muak. Akan tetapi, rasa ini tidak
terkait langsung dengan aksi terorisme itu, melainkan dengan retorika-retorika
yang dilontarkan para tokoh agama islam menyusul peristiwa terorisme. Bagi
orang kafir, retorika-retorika itu klasik, selalu berulang di setiap kemunculan
aksi terorisme. Sepertinya retorika-retorika itu sudah direkam, sehingga ketika
muncul kejadian terorisme mereka tinggal menekan tombol “play”. Kenapa orang kafir ini merasa muak?
Retorika-retorika
yang dibangun hanyalah merupakan rasionalisasi. Sebagaimana sudah diketahui umum,
rasionalisasi bukanlah kebenaran, tetapi pembenaran. Jadi retorika itu hanya
membuat seolah-olah benar, namun bukanlah suatu kebenaran. Para tokoh islam
seakan menuding bahwa para teroris itu telah memanipulasi ajaran islam, atau
telah membajak agama islam, atau telah salah mengartikan ajaran islam. Namun
sayangnya, mereka tidak pernah menunjukkan kebenarannya dalam teori dan
praktek. Justru para teroris ini benar-benar memahami ajaran islam dan
mempraktekkannya.
Ambil
contoh, dalam Alqur'an banyak tertulis perintah kepada umat islam untuk
memerangi dan membunuh orang kafir. Inilah yang kemudian dikenal sebagai
“ayat-ayat pedang”. Para teroris ini memahami ayat-ayat itu sebagaimana adanya
karena telah dikatakan bahwa Alquran adalah kitab yang jelas. Para teroris ini
tidak hanya sekedar memahami, tetapi juga mereka mempraktekkannya. Akan tetapi,
di pihak lain, para tokoh islam mengkritik cara pemahaman mereka dan menilai
itu salah. Sayangnya, para tokoh ini tidak memberikan atau menunjukkan seperti
apa pemahaman yang benar dan bagaimana penerapannya.
Selain
rasa muak, orang kafir yang selalu menjadi sasaran terorisme juga dihadapkan
dengan rasa bingung. Sama seperti
rasa muak, rasa bingung ini pun muncul terkait dengan retorika-retorika yang
dilontarkan para tokoh agama islam menyusul peristiwa terorisme. Dalam
retorika-retorika itu hendak dibangun satu “kebenaran” bahwa terorisme tidak
terkait dengan islam, dan bahwa para teroris bukan islam. Umumnya publik sudah
tahu kalau retorika-retorika itu hanyalah retorika kosong belaka, tanpa makna,
namun tetap menyisakan kebingungan bagi mereka yang masih punya akal sehat.
Bagaimana
tidak bingung kalau melihat para teroris itu jelas-jelas beragama islam dan
menggunakan atribut-atribut islam. Dapat dipastikan bahwa para teroris ini
menjalankan sholat 5 waktu, puasa, zakat dan rukun islam lainnya. Malah bisa
dikatakan mereka lebih taat daripada umat islam lainnya. Tapi kenapa mereka
divonis bukan islam ketika mereka setia menjalankan ajaran islamnya? Dengan
kata lain, kebingungan itu muncul karena klaim bukan islam yang disematkan
kepada mereka yang jelas-jelas beragama islam dan menjalankan ajaran islam.
Dari sini timbul pertanyaan, yang juga menimbulkan kebingungan, “islam mana
yang benar?” Ini seperti debat antar pemeluk agama tentang agama mana yang
benar. tentulah masing-masing pemeluk agama mengatakan agamanya yang benar.
Demikianlah
3 perasaan yang muncul dalam hati umat non muslim berhadapan dengan setiap
peristiwa terorisme. Lantas, apa yang harus dilakukan? Aksi nyata apa yang
harus dibuat?
Pertama-tama
hentikan retorika-retorika kosong atau sekedar berasionalisasi. Harus disadari
dan diketahui, tidak semua orang kafir itu buta Alqur'an. Sudah saatnya umat
islam harus berani jujur. Daripada sibuk beretorika, yang berdampak pada
kemuakan dan kebingungan di kalangan non muslim, jauh lebih baik bila umat
islam jujur dengan mengakui bahwa terorisme itu adalah islam. Atau mengakui
bahwa dalam islam ada ajaran terorisme, yang biasa dijadikan ideologi para
teroris.
Pengakuan
jujur ini tentulah akan berdampak positif, bukan hanya pada diri umat islam
sendiri, tetapi terutama pada diri umat non islam. Bagi umat islam, pengakuan
ini akan melenyapkan beban yang selalu mereka pikul akibat perbuatan para
teroris. Selama ini, kesannya para teroris membuat piring kotor dan umat islam
lainnya yang membersihkannya. Bagi umat non muslim pengakuan jujur tersebut
tentulah akan menghilangkan rasa muak dan bingung dalam diri mereka.
Akhirnya,
yang tersisa dari dampak terorisme hanyalah rasa takut. Akan tetapi, dengan
pengakuan jujur itu, perlahan-lahan umat non islam dapat berdamai. Rasa takut
itu akan bisa berlalu bila umat agama lain akhirnya menyadari dan mengetahui
sumber ketakutan itu. Ketakutan itu umumnya bisa muncul dari situasi yang sama
sekali belum diketahui. Tapi, bila itu sudah diketahui tentulah ketakutan itu
akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bila sudah tahu, orang bisa
mengantisipasi dan waspada. Sikap antisipasi dan waspada ini tidak akan
meruntuhkan komunikasi antar umat agama, malah mewarnainya.
Komentar
Posting Komentar