MENGKRITISI SURAH AL FATIHAH AYAT 5
Alqur’an merupakan wahyu Allah secara langsung yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami seperti Allah berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan menjadi sebuah kitab yang bernama Alqur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa apa yang tertulis dalam Alqur’an adalah merupakan kata-kata Allah SWT sendiri. Karena itu, umat islam menaruh hormat yang tinggi kepada Alqur’an. Pelecehan terhadap Alqur’an sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu, berdasarkan perintah Allah dalam Alqur’an, wajib dibunuh.
Berangkat
dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah al-Fatihah ayat 5 (dan
juga ayat-ayat lainnya) merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah
berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga
yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Teksnya berbunyi, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
mohon pertolongan.”
Sepintas
tidak ada yang aneh dari teks tersebut. Namun bila ditelaah secara kritis, maka
pembaca yang masih mempunyai akal sehat akan tersenyum-senyum. Dalam surah
al-Fatihah itu dapat dikatakan Allah SWT berkata kepada Muhammad, “Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Cobalah
sejenak membayangkannya! Aneh dan lucu kan.
Dalam
kalimat itu terdapat dua keanehan. Pusat keanehan yang pertama ada pada kata ENGKAU. Kita bisa bertanya, siapa yang
dimaksud dengan kata “engkau” dalam teks tersebut; apakah Muhammad atau Allah
SWT yang berbicara. Di sini Allah yang sedang berbicara, dan Muhammad sebagai
lawan/kawan bicaranya. Allah yang berbicara memakai kata “engkau”, yang
tentunya perkataan-Nya itu ditujukan kepada Muhammad. Pertama-tama kita harus
menyingkirkan penggunaan huruf “e” kapital, karena saat diucapkan tentulah
tidak dapat diketahui pasti apakah
huruf kecil atau huruf kapital. Jadi, kata “engkau” itu merujuk kepada Muhammad
atau Allah SWT.
Dapat
dipastikan kata itu tidak dimaksudkan dengan Muhammad. Kepastian ini diperkuat
dengan kata “menyembah”. Tentulah tidak mungkin Muhammad yang disembah. Karena
itu, pilihannya tinggal Allah SWT yang berbicara. Akan tetapi, pilihan ini
bukan lantas menyelesaikan masalah, namun justru meninggalkan keanehan baru.
Bagaimana mungkin Allah yang berbicara menyebut “engkau” untuk diri-Nya
sendiri. Sungguh aneh dan menyalahi tata aturan bahasa.
Dalam
tata bahasa, kata “engkau” merupakan kata ganti orang kedua tunggal. Kata ini
sepadan dengan kata “kamu”, “kau”, atau “Anda”. Berdasarkan hukum tata bahasa,
orang yang sedang berbicara merupakan orang pertama, sedangkan yang bukan
berbicara atau lawan bicaranya adalah orang kedua. Dengan kata lain, orang
kedua merupakan pribadi lain selain orang pertama. Jadi, ada 2 orang yang
berbeda.
Karena
itulah, perkataan Allah yang memakai kata “engkau” menunjuk kepada pribadi lain
selain diri-Nya sendiri. Siapa pribadi itu? Yang pasti pribadi tersebut pantas
untuk disembah; hanya pribadi itu yang disembah. Karena Muhammad tak pantas
untuk disembah, maka pastilah pribadi itu adalah Allah yang lain selain Allah
SWT yang sedang berbicara. Dengan demikian, ada 2 Allah, yang satunya sedang
berbicara dan yang lainnya menjadi bahan pembicaraan, yaitu Allah yang
kepada-Nya, “kami menyembah dan …. Mohon pertolongan.”
Siapakah
Allah yang dimaksud dalam teks ini? Jika diperhatikan dan mengaitkan dengan ayat-ayat
sebelumnya (ayat 1 – 4), dapatlah dikatakan bahwa Allah yang dimaksud dalam
ayat 5 adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan seluruh alam
dan Pemilik hari pembalasan. Dia inilah yang “kami menyembah dan …. Mohon
pertolongan.” Jadi, Allah ini berbeda dengan Allah SWT yang saat itu sedang
berbicara dengan nabi Muhammad SAW.
Keanehan
kedua terletak pada kata KAMI. Sama
seperti pada keanehan pertama, di sini juga kita dapat mengajukan pertanyaan
yang sama, siapa yang dimaksud dengan kata “kami” itu. Dalam tata bahasa, kata
“kami” merupakan kata ganti orang pertama jamak. Kata ini sepadan dengan kata
“kita”. Berdasarkan hukum tata bahasa, dalam kata “kami” itu terkandung saya
dan dia, bisa juga saya, mereka dan dia, atau hanya saya dan dia, sedangkan pada kata “kita” engkau
dilibatkan. Dengan demikian, dalam kata “kami” itu,
Allah SWT yang sedang berbicara termasuk.
Telaah
linguistik atas kata “kami” mendapatkan bahwa nabi Muhammad tidak termasuk di
dalamnya. Siapa saja yang dimaksud dalam kata “kami” itu, selain Allah SWT yang
berbicara? Ada kemungkinan kata itu merujuk pada Allah dan para malaikat. Namun
yang pasti, Muhammad bukan bagian dari kata “kami” itu.
Demikianlah
keanehan yang terdapat dalam surah al-Fatihah ayat 5 ini. Tentulah keanehan ini
baru dirasakan ketika orang memakai akal sehatnya membaca teks tersebut.
Bagaimana keanehan ini bisa dijawab? Ada beberapa kemungkinan atau pendekatan
dan problematiknya.
1. Allah
SWT sedang mendiktekan kepada Muhammad. Perlu dipahami, surah ini secara
keseluruhan (ayat 1 – 7) bisa merupakan satu kesatuan. Karena itu, bisa saja
saat itu Allah SWT datang kepada Muhammad dan menyampaikan surah ini.
Konteksnya, Allah ingin supaya Muhammad mengulangi apa yang dikatakan-Nya.
Dengan pendekatan ini, maka yang dimaksud dengan kata “engkau” adalah Allah
yang saat itu sedang berbicara, sedangkan kata “kami” adalah Muhammad dan kaum
muslim.
Akan tetapi, pendekatan ini
bukan tanpa masalah. Jika memang demikian, seharusnya Allah berkata,
“Katakanlah: ……” Model seperti ini dapat ditemui dalam banyak surah Alqur’an. Sekedar menyebut
beberapa QS al-Baqarah: 136; QS Ali Imran: 26; QS al-Anam: 14; QS al-Araf: 32 atau dalam ayat 1 dari
tiga surah terakhir. Sebagai contoh, kita lihat 2 ayat dari surah az-Zumar. Kedua
ayat ini sangat mirip dengan kutipan teks yang dibahas ini, malah dapat
dikatakan bahwa 2 ayat ini merupakan penjabaran dari ayat 5 surah al-Fatihah.
Teksnya sebagai berikut, “Katakanlah: Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (ayat 14); dan teks kedua,
“Katakanlah: Pertolongan itu hanya milik Allah semuanya …..” (ayat 44).
Jika surah al-Fatihah juga
dimaksudkan sebagai upaya Allah agar Muhammad mengulangi perkataan-Nya, maka
ini menunjukkan ketidak-konsistenan Allah. Allah yang berbicara dalam Alqur’an adalah allah yang suka
berubah-ubah. Indikasi ketidak-konsistenan Allah dalam Alqur’an memang jamak ditemui.
Salah satunya adalah penggunaan kata ganti untuk diri-Nya sendiri.
2. Malaikat
Jibril yang berbicara dan menghendaki agar Muhammad mengulangi apa yang
dikatakannya. Umat islam meyakini bahwa malaikat Jibril merupakan utusan Allah.
Dia-lah yang paling sering bertemu dan berbicara dengan Muhammad untuk
menyampaikan pesan Allah. Karena itulah, teks atau bahkan surah ini seluruhnya
disampaikan oleh malaikat Jibril. Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan
masalah kata “engkau” dan kata “kami”, melainkan juga masalah
ketidak-konsistenan Allah seperti yang ditemukan pada pendekatan pertama di
atas.
Jika malaikat Jibril yang
berkata, maka yang dimaksud dengan kata “engkau” adalah Allah SWT, sedangkan
“kami” adalah malaikat Jibril dan para malaikat lainnya. Karena nanti yang
berbicara adalah Muhammad, maka yang dimaksud dengan kata “kami” adalah
Muhammad dan juga umat islam. Tidak adanya frase “Katakanlah, ….”, seperti
dalam banyak surah yang mengindikasikan ajakan untuk mengulangi, hal ini
disebabkan karena yang berbicara adalah malaikat Jibril Frase itu hanya digunakan oleh Allah sendiri
ketika berbicara kepada Muhammad.
Meski demikian, pendekatan
ini bukan lantas tanpa masalah. Umat islam sudah yakin bahwa Alqur’an adalah kata-kata Allah
sendiri yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Jika dikatakan bahwa yang
berbicara dalam surah ini adalah malaikat jibril (bukan Allah), maka esensi
atau substansi Alqur’an
berubah. Dia tidak lagi sebagai kata-kata Allah yang langsung, tetapi juga
kata-kata Allah yang disampaikan oleh pihak lain.
3. Perubahan
dalam penulisan. Surah ini disampaikan Allah secara langsung kepada Muhammad.
Ada kemungkinan, ketika menyampaikan wahyu-Nya, Allah tidak menggunakan kata
“engkau” tetapi kata “Aku”; demikian pula bukan kata “kami” tetapi “kalian”.
Jadi, kurang lebih perkataan Allah itu seperti ini, “Hanya kepada Akulah kalian
menyembah dan hanya kepada Akulah kalian mohon pertolongan.” (Jika memang
demikian, maka memang tidak ada masalah bahasa). Namun, ketika Muhammad
menyampaikan untuk ditulis (diandaikan Muhammad tidak bisa menulis), muncul
keraguan dalam hati kecilnya. Jika dia menyampaikan seperti apa yang dikatakan
Allah, maka muncul kesan bahwa dirinyalah yang umat islam sembah dan mohon
pertolongan. Muhammad bingung, jangan-jangan umat mengasosiasikan kata “aku”
dengan dirinya dan “kalian” dengan umat islam. Untuk mengatasi kebingungan itu,
mungkin Muhammad mengubahnya menjadi teks yang kita baca sekarang ini.
Sebenarnya masalah ini dapat
diatasi dengan menambah frase “Allah berfirman, ….” Dan frase ini banyak juga
ditemui dalam Alqur’an,
misalnya dalam QS al-Araf: 38 dan QS Yunus: 89. Menjadi pertanyaan, kenapa
Muhammad tidak menambah frase tersebut, tapi justru malah mengubah perkataan
Allah. Artinya, jika dia punya wewenang mengubah, maka dia juga punya wewenang
untuk menambah.
Bisa juga yang mengubah
perkataan Allah itu adalah penulisnya. Cara berpikirnya kurang lebih hampir
mirip. Ketika Muhammad menyampaikan wahyu Allah secara persis, penulisnya takut
umat islam nanti salah memahami perkataan Allah dalam ayat 5 (dan juga 7).
Karena itu, penulis mengubahnya. Toh, Muhammad tidak bisa membaca, sehingga
tidak tahu adanya perubahan tersebut.
Pendekatan ini pun masih
menyisahkan persoalan. Jika memang benar bahwa Muhammad telah mengubah
perkataan Allah, maka keaslian Alqur’an
patut dipertanyakan. Umat islam yakin bahwa Alqur’an merupakan asli kata-kata Allah SWT yang
disampaikan langsung kepada Muhammad. Karena itu, jika ada perubahan, maka
keyakinan tersebut bisa luntur. Alqur’an
tidak asli lagi.
4. Kata-kata
Muhammad. Patut dicurigai kalau semua isi surah al-Fatihah ini merupakan
kata-kata Muhammad sendiri, bukan perkataan Allah SWT. Nabi Muhammad
merekayasanya dengan mengatas-namakan Allah. Dengan kata lain, sekalipun
merupakan perkataannya sendiri, tapi Muhammad “menjualnya” sebagai wahyu Allah.
Sebenarnya soal adanya rekayasa dalam Alqur’an
ini sudah diungkapkan orang sejak jaman Muhammad. Dalam surah al-Anbiya: 5
dengan tegas dikatakan bahwa Alqur’an
itu hasil rekayasa Muhammad (bdk. QS al-Furqan: 4; QS Saba: 43 dan QS al-Ahqaf:
8). Karena itu, tidak mustahil jika surah al-Fatihah ini pun merupakan hasil
rekayasa Muhammad.
Pendekatan ini tentulah
membuat seluruh isi surah al-Fatihah ini menjadi masuk akal. Kesan anehnya
hilang. Norma tata bahasa terpenuhi. Kata ‘engkau” jelas merujuk kepada Allah,
sedangkan “kami” merujuk kepada umat manusia, dimana Muhammad termasuk di
dalamnya.
Akan tetepi, pendekatan ini
tetap meninggalkan persoalan. Pendekatan ini membuat keyakinan dan pemahaman
bahwa Alqur’an adalah wahyu Allah
menjadi luntur. Hal ini tentu berdampak lebih luas lagi, yaitu menyangkut
kebenaran iman islam. Eksistensi islam patut dipertanyakan. Lebih parah lagi,
islam akan dikaitkan dengan kebohongan, karena ia berdiri atas dasar
kebohongan.
Demikianlah
4 pendekatan untuk mengatasi persoalan yang muncul atas ayat 5 surah al-Fatihah
ini. Kita tidak tahu pendekatan mana yang paling benar, karena setiap
pendekatan mengandung konsekuensi bagi iman islam. Namun, dari
pendekatan-pendekatan ini, satu hal yang bisa dipastikan adalah betapa kacaunya
Alqur’an. Karena itu, tak heran
bila ada ahli islam yang mengatakan bahwa Alqur’an adalah pikiran orang bingung yang dituliskan di atas kertas. Sebenarnya
pendapat ini sudah dikemukakan orang sejak jaman Muhammad. Dalam surah
al-Anbiya: 5 orang-orang mengatakan bahwa Alqur’an itu hasil mimpi (atau pikiran) yang kacau. Kekacauan ini sebenarnya bukan
hanya terdapat pada surah al-Fatihah saja, melainkan tersebar dalam surah-surah
lainnya.
Lingga, 17 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar