KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-ANFAL AYAT 74
Dan orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin),
mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan
rezeki (nikmat) yang mulia. (QS 8: 74)
Alqur’an merupakan pusat spiritualitas umat islam. Di sana mereka tidak hanya mengenal Allah yang diimani dan disembah, tetapi juga mendapatkan pedoman dan tuntunan hidup yang akan menghantar mereka ke surga. Alqur’an biasa dijadikan rujukan umat islam untuk bersikap dan bertindak dalam hidup keseharian, selain hadis. Umat islam menyakini Alqur’an langsung berasal dari Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Keyakinan ini didasarkan pada pernyataan Allah sendiri, yang dapat dibaca dalam beberapa surah Alqur’an. Jadi, Allah sendiri telah menyatakan bahwa Alqur’an merupakan perkataan-Nya, sehingga ia dikenal juga sebagai kalam Allah. Karena itu, Alqur’an dihormati sebagai sesuatu yang suci, karena Allah sendiri adalah mahasuci. Pelecehan terhadap Alqur’an sama saja dengan pelecehan kepada Allah atau penyerangan terhadap keluhuran Allah. Orang yang melakukan hal itu harus dihukum berat dengan cara dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang (QS al-Maidah: 33).
Selain
itu juga umat islam melihat Alqur’an sebagai keterangan dan pelajaran
yang jelas. Ini juga didasarkan pada perkataan Allah sendiri. Allah telah
mengatakan bahwa diri-Nya telah memudahkan ayat-Nya sehingga umat dapat dengan
mudah memahami. Sebagai pedoman dan penuntun jalan hidup, Allah memberikan
keterangan dan pelajaran yang jelas sehingga mudah dipahami oleh umat islam.
Tak sedikit ulama menafsirkan kata “jelas” di sini dengan sesuatu yang telah
terang benderang sehingga tak perlu susah-susah menafsirkan lagi pesan Allah
itu. Dengan perkataan lain, perkataan Allah itu sudah jelas makna dan pesannya,
tak perlu lagi ditafsirkan. Maksud dan pesan Allah sesuai dengan apa yang
tertulis dalam Alqur’an.
Penafsiran atas wahyu Allah bisa berdampak pada ketidak-sesuaian dengan
kehendak Allah sendiri.
Berangkat
dari dua premis di atas, maka bisalah dikatakan bahwa kutipan ayat Alqur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Memang harus
diakui juga bahwa apa yang tertulis itu tidaklah sepenuhnya merupakan perkataan
Allah. Beberapa tulisan yang ada di dalam tanda kurung, seperti kepada orang Muhajirin dan nikmat, diyakini
berasal dari tangan manusia. Jadi, ternyata ada tambahan kemudian pada
ayat-ayat Alqur’an, yang bukan berasal dari Allah tetapi dari manusia. Hal ini,
mengikuti cara penilaian umat islam terhadap kitab suci agama lain, membuat Alqur’an tidak
asli lagi. Kesucian dan keaslian Alqur’an telah bercampur dengan karya
tangan manusia yang tidak suci.
Sejalan dengan pernyataan Allah bahwa Dia memberikan keterangan
yang jelas dan telah memudahkan ayat-Nya, maka apa yang tertulis pada kutipan
wahyu Allah di atas memang sungguh jelas dan terang benderang, meski pembaca
masih tetap membutuhkan penafsiran sedikit. Dalam kutipan di atas terlihat
jelas bahwa Allah hendak memberikan gambaran soal siapa orang
yang benar-benar beriman, dan memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia.
Kebanyakan ulama menafsirkan frasa “rezeki (nikmat) yang mulia” dengan masuk
surga. Karena itu, wahyu Allah ini berbicara tentang orang yang benar-benar
beriman, orang yang memperoleh ampunan dan yang masuk surga. Siapa saja mereka
itu?
Dalam
kutipan ayat di atas Allah menyebut 4 kelompok orang yang memenuhi kriteria
tersebut. Keempat kelompok orang itu adalah:
1. Orang-orang
yang beriman. Siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman ini? Frasa “orang-orang
yang beriman” banyak dijumpai dalam Alqur’an.
Para ulama sepakat bahwa frasa tersebut merujuk pada kaum muslim. Hal ini
disebabkan karena adanya pandangan dualisme hitam-putih dalam Alqur’an. Umat manusia dibagi ke dalam 2 kubu,
yaitu beriman dan kafir. Hanya islam saja yang beriman, sedangkan yang bukan
islam adalah kafir. Karena itu, umat islam adalah kelompok orang-orang yang
beriman, dan mereka adalah orang yang benar-benar beriman, orang yang
memperoleh ampunan dan yang masuk surga. Ini seakan hendak menegaskan kembali
perkataan Allah bahwa orang kafir adalah penghuni neraka (QS al-Baqarah: 24; QS
al-Maidah: 10; QS al-Jinn: 14 – 15).
2. Orang
yang berhijrah. Artinya, mereka yang pada tahun 622 mengikuti Muhammad keluar
dari Mekkah menuju Madinah. Nah,
mereka inilah masuk ke dalam kelompok orang yang benar-benar beriman, orang
yang memperoleh ampunan dan yang masuk surga. Ayat ini sedikit menemukan
kendala ketika dituntut relevansinya pada masa kini. Tanpa relevansi, maka
sebagian ayat ini menjadi mati, karena sebagian ayat ini hanya berlaku untuk
orang-orang yang hidup pada tahun 622, yang berhijrah bersama Muhammad.
Bagaimana dengan kaum muslin dewasa ini? Karena itulah, untuk menghidupkan
seluruh wahyu Allah ini, dewasa ini santer terdengar seruan atau ajakan untuk
hijrah, meski maknanya bias. Pemaknaan ajakan hijrah sungguh membingungkan, dan
tak ada satu otoritas islam pun yang bisa memberikan makna yang jelas. Karena
itu, haruslah dikatakan bahwa sebagian dari wahyu Allah ini mati, karena tidak
ada relevansinya bagi umat islam saat ini.
3. Orang
yang berjihad di jalan Allah. Kata jihad biasanya dimaknai dengan perang.
Sedangkan berjihad di jalan Allah dimaknai dengan berperang melawan musuh-musuh
islam, yaitu orang kafir, dan menegakkan agama islam. Allah telah menyatakan
kehendak-Nya untuk memusnahkan orang kafir sampai ke akar-akarnya (QS al-Anfal:
7), sehingga hanya islam yang ada di sisi Allah (QS Ali Imran: 19). Sebagian
ulama memaknai berperang di jalan Allah ini dengan upaya menegakkan kebaikan
dan menghancurkan kejahatan (amar makruf nahi mungkar). Akan tetapi, pemaknaan
ini tidak sejalan dengan wahyu Allah dalam surah al-Baqarah: 216, dimana Allah
berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan
bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Jadi, berjihad di jalan Allah
adalah berperang melawan musuh-musuh islam, yaitu orang kafir sehingga dunia
ini hanya ada agama islam. Mereka yang berperang di jalan Allah inilah orang
yang benar-benar beriman, orang yang memperoleh ampunan dan yang masuk surga.
Ketika dituntut relevansinya untuk masa kini, wahyu Allah ini menuntut umat
islam untuk menciptakan perang. Inilah salah satu wahyu yang menjadi dasar
ideologi terorisme islam. Dengan membunuh orang kafir, maka mereka dinilai
sebagai orang yang benar-benar beriman, orang yang memperoleh ampunan dan yang
masuk surga.
4. Orang
yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan. Dapat dipastikan bahwa
orang dari kelompok ini adalah bukan pemeluk islam. Akan tetapi, mereka dinilai
sebagai orang yang benar-benar beriman, dan yang memperoleh ampunan bahkan masuk
surga. Menjadi pertanyaan, siapa obyek dari kelompok orang ini. Atau tempat
kediaman dan pertolongan diberikan kepada siapa? Jika membaca kutipan ayat di
atas, dengan tambahan dari tangan manusia, maka jelas obyek dari kelompok orang
ini adalah orang Muhajirin. Dalam ilmu islam, kaum Muhajirin adalah mereka yang
bersama Muhammad ikut meninggalkan Mekkah dan hijrah menuju Madinah. Dengan
kata lain, orang Muhajirin adalah kelompok orang yang berhijrah (poin 2).
Namun, jika tambahan dari manusia itu dihilangkan, maka obyek dari kelompok
orang ini bisa saja orang yang berhijrah, bisa juga orang yang berjihad di
jalan Allah. Artinya, orang ini memberi tempat tinggal bagi mereka yang
berperang di jalan Allah, serta memberi bantuan seperti uang, makanan atau juga
informasi. Ketika dituntut relevansinya untuk masa kini, maka pemaknaan sebagai
mereka yang berperang di jalan Allah langsung kena sasaran. Karena itu, orang
yang memberi bantuan kepada umat islam yang berperang di jalan Allah adalah orang
yang benar-benar beriman, orang yang memperoleh ampunan dan yang masuk surga.
Wahyu Allah ini biasa dijadikan rujukan kepada umat islam untuk membantu para
teroris. Jika tidak membantu, maka mereka disamakan dengan kaum fasik, dan kaum
fasik itu sama dengan kafir; tempatnya di akhirat adalah neraka. Kalau mau
masuk surga, maka mereka harus membantu, sekalipun mereka tidak terlibat dalam
aksi teroris.
DEMIKIANLAH kajian singkat atas surah al-Anfal ayat 74. Dalam ayat ini Allah memberikan kriteria dari orang yang sungguh beriman, dan yang memperoleh ampunan, bahkan masuk surga. Ada dua hal yang menarik dari wahyu Allah ini terkait fenomena terorisme islam. pertama, ayat ini dijadikan dasar untuk aksi terorisme. Artinya, aksi teroris menemukan dasarkan pada wahyu Allah, sehingga dengan demikian aksi tersebut dikehendaki Allah. Demi relevansinya, maka umat islam terpanggil untuk menciptakan terror atau perang. Hal ini seakan menegaskan kembali islam sebagai agama perang atau terror. Kedua, adalah sulit untuk memberantas terorisme islam. setidaknya ada dua alasan, yaitu karena aksi ini dikehendaki Allah, dan aksi ini selalu akan mendapat dukungan dari umat islam.
Komentar
Posting Komentar