KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 143
Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam) “umat pertengahan” agar
kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. (QS 2: 143)
Publik sudah tahu kalau Alqur’an adalah kitab suci umat islam. Ia dijadikan salah satu sumber iman dan peri kehidupan umat islam, selain hadis. Hal ini disebabkan karena Alqur’an diyakini berasal dari Allah secara langsung. Artinya, Allah langsung berbicara kepada Muhammad, yang kemudian meminta pengikutnya untuk menuliskannya. Karena itu, umat islam yakin dan percaya apa yang tertulis di dalam Alqur’an merupakan kata-kata Allah, sehingga Alqur’an dikenal juga sebagai wahyu Allah. Berhubung Allah itu diyakini sebagai maha benar, maka apa yang dikatakan-Nya pun adalah benar. Maka dari itu Alqur’an sebagai wahyu Allah dikenal juga sebagai kitab kebenaran. Tidak ada kesalahan di dalamnya.
Alqur’an tidak hanya dilihat sebagai kitab suci semata. Allah sendiri sudah
mengatakan bahwa Alqur’an adalah pedoman dan pelajaran bagi umat islam. Dengan perkataan lain, Alqur’an dijadikan tuntunan hidup bagi umat islam, bagaimana umat islam bersikap
dalam hidup. Agar tidak menimbulkan perdebatan dikemudian hari terkait kehendak
Allah itu, maka Allah sendiri telah memudahkan Alqur’an. Kemudahan itu pertama-tama terlihat dari bahasa yang digunakan, yaitu
bahasa Arab (QS 19: 97 dan QS 44: 58). Umumnya para ulama menafsirkan kemudahan
itu dengan kesederhanaan bahasa yang tidak membutuhkan banyak tafsir, yang bisa
berdampak pada perbedaan pendapat.
Berangkat dari dua premis di atas, maka
bisa dikatakan bahwa kutipan ayat Alqur’an di atas merupakan kata-kata Allah sendiri. Apa yang tertulis di atas
hanyalah kalimat pertama dari wahyu Allah yang terdapat dalam ayat 143.
Sebenarnya wahyu Allah dalam ayat 143 terdiri dari 5 kalimat. Yang dikutip di
atas, dan yang akan ditelaah adalah kalimat pertama. Sekalipun dikatakan bahwa
ayat-ayat Alqur’an merupakan wahyu Allah, namun haruslah dikatakan bahwa kutipan ayat di atas
tidak 100% merupakan perkataan Allah. Kata-kata yang ada dalam tanda kurung,
seperti umat islam, perbuatan (2x) dan Muhammad, merupakan tambahan kemudian
oleh tangan-tangan manusia. Jadi, aslinya kata-kata Allah (kalimat pertama dari
ayat 143) itu berbunyai sebagai berikut: “Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi
saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”
Sejalan dengan perkataan Allah yang telah
memudahkan wahyu-Nya, maka kata-kata Allah di atas dapat dipahamai sebagai
berikut. Allah telah membuat umat islam sebagai “umat pertengahan” sehingga
mereka menjadi saksi atas manusia, sedangkan Muhammad menjadi saksi atas umat
islam. Jika dibalik, maka bisa dikatakan bahwa Muhammad menjadi saksi atas umat
islam, sedangkan umat islam menjadi saksi atas umat manusia. Sampai di sini,
wahyu Allah masih jelas. Namun jika diajukan pertanyaan lebih lanjut, maka akan
menimbulkan perdebatan di antara umat islam sendiri.
Pertama,
apa yang bisa dijadikan saksi atas manusia?
Saksi seperti apa yang dapat diberikan umat islam kepada manusia? Umumnya wahyu
Allah ini dipahami bahwa umat islam akan menjadi contoh teladan hidup bagi umat
manusia. Menjadi persoalan, sulit menemukan peri hidup baik dari umat islam
yang bisa dijadikan contoh. Kalau hanya sebatas kebaikan, umat manusia lain
juga ada. Misalnya, mengasihi sesama, menolong, menghibur, dll. Justru yang
dilihat manusia dari umat islam adalah hal negatif, seperti sikap permusuhan
dan kebencian.
Kedua,
kenapa Allah meminta bahkan menjadikan umat
islam sebagai saksi bagi manusia lain? Hal ini sungguh menarik karena pada ayat
lain, masih di surah yang sama, Allah sudah mengatakan bahwa tidak ada guna
memberi peringatan kepada manusia kafir (ayat 6). Setidaknya ada 2 alasan
kenapa tak ada guna memberi peringatan kepada manusia kafir, yaitu orang kafir
adalah musuh bagi umat islam (QS an-Nisa: 101), dan Allah sudah menetapkan
tempat bagi orang kafir adalah neraka. Peringatan saja sudah percuma, bagaimana
bisa memberikan persaksian, sementara tidak ada hal baru yang bisa dijadikan
saksi bagi umat islam.
Ketiga,
apa yang dimaksud dengan “umat pertengahan”? Sesuatu
dikatakan “tengah” apabila ia berada di dua sisi yang bertentangan. Sekedar
perbandingan, ada istilah non-blok. Sikap non-blok hendak menunjukkan bahwa ia
berada di antara dua blok yang berseberangan, namun is memilih bersikap netral,
tidak cenderung ke salah satu blok. Jadi, adanya dua blok yang bertentangan.
Kesulitan ditemui dengan istilah “umat pertengahan”, karena istilah ini hendak
menunjukkan adanya dua sisi yang bertentangan. Menjadi pertanyaan, apa dan bagaimana
dua sisi yang bertentangan itu, sehingga umat islam harus menjadi “umat
tengah”. Apakah dua sisi itu ada di luar islam atau ada di dalam islam sendiri?
Tak sedikit ulama islam menafsirkan frasa ini
dengan model islam moderat. Namun, seperti apa gambaran islam moderat itu,
tetap saja kurang jelas. Jika kata “moderat” (yang bisa juga disamakan dengan
kata “pertengahan”), hendak menunjukkan suatu sikap menolak 2 ekstrem dalam
islam, maka pertanyaannya adalah seperti apa 2 ekstrem itu. Dengan demikian,
secara tidak langsung mengakui dua sisi yang bertentangan itu ada di dalam
islam sendiri. Selama ini diketahui, sebagaimana juga sudah terungkap pada poin
pertama di atas, salah satu ekstrem islam adalah sikap negatif seperti sikap
permusuhan, kebencian, intoleransi dan radikalisme serta terorisme. Ini baru
satu ekstrem, yaitu sikap negatif. Secara logika, ekstrem lainnya tentulah
adalah sikap positif. Akan tetapi, seperti apa gambaran ekstremnya, sangatlah
tidak jelas.
Yang terjadi selama ini adalah justru ekstrem
yang negatif langsung dipertentangkan dengan sikap moderat. Dengan kata lain,
model islam moderat langsung menjadi lawan dari model islam negatif. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa sikap moderat atau sikap “pertengahan” adalah salah
satu bentuk ekstrem lain, yang bernilai positif. Jika memang demikian, maka
jelas itu bukanlah “pertengahan”, karena dikatakan “tengah” bila berada di dua
sisi, yang bertentangan atau berseberangan, yaitu negatif dan positif. Dengan
demikian, tafsiran “umat pertengahan” sebagai model islam moderat dirasakan
kurang tepat.
DEMIKIANLAH telaah singkat atas wahyu Allah dalam QS al-Baqarah: 143. Dari telaah singkat ini dapat disimpulkan bahwa wahyu Allah itu kurang jelas, sekalipun Allah sudah mengatakan bahwa wahyu-Nya jelas. Dengan demikian, ada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Allah mengatakan bahwa wahyu-Nya jelas dan mudah, namun nyatanya tidaklah demikian. Selain itu, tafsiran “umat pertengahan” sebagai model islam moderat sangatlah tidak tepat. Tafsiran ini bukannya tanpa masalah. Dengan menafsirkan kata “pertengahan” dengan moderat secara tidak langsung menyetujui adanya islam negatif dan positif, meski yang positif itu sendiri tidaklah jelas.
Komentar
Posting Komentar