KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL-BAQARAH AYAT 187
Dihalalkan
bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. (QS 2: 187)
Alqur’an merupakan kitab suci umat islam yang diyakini sebagai wahyu Allah yang secara langsung disampaikan kepada nabi Muhammad. Apa yang tertulis di dalamnya, termasuk titik komanya, adalah berasal dari Allah, tanpa campur tangan manusia. Karena itulah, umat islam memandang Alqur’an sebagai sesuatu yang suci, sebab ada Allah di dalamnya. Perlakuan terhadap Alqur’an pun jauh berbeda dengan kitab-kitab lainnya, yang memang buatan tangan manusia. Umat islam akan marah jika ada yang melecehkan Alqur’an, karena tindakan tersebut sama artinya dengan menghina Allah. Umat islam terpanggil untuk membela Allahnya. Dan Allah sendiri sudah menetapkan hukuman bagi mereka yang menghina diri-Nya, yaitu: “dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang” (QS al-Maidah: 33).
Allah menurunkan wahyu-Nya kepada Muhammad
agar bisa dijadikan pelajaran, tuntunan dan juga pedoman hidup yang harus
dilaksanakan. Karena itulah, Allah sudah mengatakan bahwa Alqur’an itu adalah keterangan,
petunjuk atau pelajaran yang mudah dan jelas (QS Ali Imran: 138; QS ad-Dukhan:
58; QS al-Qamar: 17). Selain itu, Alqur’an
juga dilihat sebagai pedoman atau petunjuk bagi umat islam (QS al-Jasiyah: 20).
Sebagai petunjuk dan pedoman inilah akhirnya lahir aturan-aturan islami, yang
biasa dikenal dengan istilah syariah islam. Setiap pemeluk islam wajib
melaksanakannya.
Berangkat dari uraian ini, dapatlah dipastikan
bahwa kutipan ayat Alqur’an
di atas merupakan perkataan Allah, yang bisa dijadikan pedoman bagi pemeluk
islam. Memang kutipan wahyu Allah dalam ayat 187 ini tidak lengkap dikutip.
Aslinya wahyu Allah dalam ayat 187 terdiri dari 9 kalimat, akan tetapi kutipan
di atas, yang merupakan kalimat pertama dari wahyu Allah, sudah dijadikan satu
pedoman bagi umat islam. Artinya, kutipan ayat di atas sudah bisa ditafsir atau
dipahami maknanya tanpa harus dikaitkan lagi dengan kalimat-kalimat lainnya
dalam ayat 187.
Sekalipun Allah sudah menyatakan bahwa
wahyu-Nya itu jelas, bukan lantas berarti tanpa harus ada upaya tafsir-menafsir.
Meski demikian, Allah sudah membuatnya mudah sehingga umat islam tak perlu
pusing tujuh keliling. Demikian halnya kutipan ayat di atas. Ada satu kata yang
mau tidak mau harus ditafsir sehingga umat islam memahami isi atau pesan dari
kalimat tersebut. Kata itu adalah “bercampur”. Dapat dipastikan bahwa para
ulama islam sepakat kata itu dimaknai dengan bersetubuh atau melakukan aktivitas
suami istri (bersenggama). Karena itulah, kalimat pertama dalam wahyu Allah ini
dipahami bahwa Allah membolehkan suami istri melakukan hubungan seksual pada
malam hari puasa.
Wahyu Allah ini bisa dimaknai secara negatif:
dilarang melakukan hubungan seksual pada siang hari puasa. Dalam aturan islam,
ulama-ulama kemudian menambah pemahaman untuk menegaskan wahyu Allah ini.
Penambahan itu terkait dengan definisi “malam”. Umumnya para ulama
mengaitkannya dengan wahyu Allah dalam kalimat kelima pada ayat yang sama.
Secara sederhana kata “malam”, dimana suami istri boleh melakukan hubungan
seksual, dipahami dengan saat buka
hingga menjelang sahur.
Apa yang menarik dari wahyu Allah ini?
Yang menarik dari kutipan wahyu Allah di atas
adalah sikap kompromi Allah terhadap umat islam terkait urusan seksual. Dalam
masalah seksual sepertinya Allah mengalah kepada umat-Nya, sekalipun itu pada
masa puasa. Seharusnya Allah melarang melakukan hubungan seksual selama bulan
puasa sebagai bentuk pengekangan diri atau pengendalian hawa nafsu. Akan
tetapi, di sini ada toleransi.
Menjadi pertanyaan, kenapa Allah mengalah
pada umat dalam urusan seksual? Kenapa Allah tidak langsung menegaskan selama
bulan puasa (30 hari) umat islam dilarang juga berhubungan seksual?
Jika membaca Alqur’an, banyak ditemui adanya sikap kompromi
Allah terkait urusan seksual. Ini mau menunjukkan bahwa masalah seksual
merupakan kebutuhan hidup setiap orang. Dan kebutuhan itu sangat besar dialami
oleh orang Arab. Dengan kata lain, kebutuhan seksual orang Arab sangat tinggi
sehingga sulit untuk dikekang. Karena itu, menjawab pertanyaan di atas
setidaknya ada satu kemungkinan, yaitu Allah takut umat meninggalkan-Nya dan
beralih ke Allah yang lain. Jadi, ketakutan ditinggalkan umat membuat Allah mengalah
dalam urusan seksual, sehingga sekalipun dalam masa puasa, dimana idealnya umat
mengekang hawa nafsu, Allah tetap mengizinkan perbuatan tersebut dilakukan.
Bagi orang waras dan masih punya akal sehat,
tentulah kemungkinan di atas sedikit meninggalkan persoalan. Memang logika
kemungkinannya masuk di akal, akan tetapi menjadi tidak masuk akal ketika
dikaitkan dengan Allah. Mereka akan bertanya, bagaimana mungkin Allah takut dan
tunduk pada umat-Nya? Bukankah seharusnya umat yang mesti tunduk pada Allah? Ketakutan
tersebut memberi isyarat bahwa Allah lemah.
Dari analisa kecil di atas, mereka yang waras dan punya akal sehat pastilah akan mengatakan bahwa wahyu ini bukanlah dari Allah. Dengan kata lain, kutipan ayat di atas bukan merupakan wahyu Allah. Haruslah dikatakan bahwa kutipan tersebut merupakan kata-kata Muhammad. Bukankah banyak ditemui dalam Alqur’an bahwa ayat-ayat Alqur’an merupakan karangan atau rekayasa Muhammad? Itu adalah perkataan Muhammad, namun diletakkan pada mulut Allah sehingga dikatakan wahyu Allah. Jadi, Muhammad-lah yang takut ditinggal pergi pengikutnya. Dia sadar bahwa para pengikutnya mempunyai dorongan seksual yang terbilang tinggi (bukan tidak mustahil ini merupakan penggambaran dirinya sendiri), sehingga ada potensi pembangkangan jika dorongan tersebut dikekang.
Komentar
Posting Komentar